Menuju konten utama

Food Estate Jokowi di Atas Hutan Lindung Dinilai Bakal Rusak Alam

Food estate dapat berdiri di atas hutan lindung. Aktivis lingkungan menilai ini akan mempercepat perusakan alam.

Food Estate Jokowi di Atas Hutan Lindung Dinilai Bakal Rusak Alam
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto meninjau lahan yang akan dijadikan Food Estate atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz)

tirto.id - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate (PDF) pada 2 November lalu. Food estate adalah salah satu program strategis nasional 2020-2024 yang dibuat untuk menjaga ketahanan nasional bidang pangan, mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, hingga perikanan.

Dalam siaran pers resmi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) menjelaskan hutan-hutan seperti apa saja yang dapat dikonversi menjadi food estate, atau bahasa hukumnya Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP).

Pertama, Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) (Pasal 6 Ayat 1). “Dengan syarat harus melewati kajian Tim Terpadu, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), menyelesaikan UKL UPL dalam rangka perlindungan lingkungan,” tulis mereka. Kedua, pasal 19, kawasan Hutan Lindung (HL) yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung, “yaitu kawasan HL yang terbuka/terdegradasi/sudah tidak ada tegakan hutan.” Areal KHKP nantinya tetap menjadi kawasan hutan.

Dalam pasal 3 ayat 2, permohonan konversi hanya bisa diajukan oleh menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, atau kepala badan otorita yang ditugaskan khusus oleh pemerintah. Dengan kata lain, bukan swasta.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati mengatakan peraturan ini “semakin menegaskan muka jahat program food estate.” “Pada prinsipnya, food estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, food estate merupakan konsep pertanian tanpa petani,” kata Yaya, sapaan akrabnya, dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Senin (16/11/2020).

Salah satu persoalan mendasar dari peraturan ini adalah akan terjadi deforestasi yang signifikan. “Dalam waktu 20 tahun belakangan, tercatat lebih dari 26 juta hektar kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan bisnis. Penerbitan Permen LHK 24/2020 akan membuka ruang penguasaan investasi melalui skema kolaborasi negara dan korporasi,” katanya. Jadi, ketetapan yang menyebut permohonan alih fungsi tidak dapat dilakukan swasta sebenarnya tidak bermakna.

Kritik juga disampaikan peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Sekar Banjaran. Kepada reporter Tirto, Selasa (17/11/2020), ia mengatakan hutan lindung sebagai KHKP sebenarnya menabrak putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai PP 104/2015 Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan pada 13 Desember 2019, yang mencabut aturan alih fungsi hutan lindung menjadi perkebunan.

Ketika itu Walhi sebagai penggugat menilai alih fungsi hutan lindung untuk kebun merupakan “kejahatan dan perilaku buruk konspirasi perkebunan khususnya kelapa sawit.” Kini, menurut Sekar, peraturan baru tersebut menunjukkan sikap sembrono pemerintah dalam mewujudkan proyek strategis nasional dan akan “berdampak besar menghancurkan lingkungan.”

Hal senada dikatakan Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas. Menurutnya, kepada reporter Tirto, Selasa, meskipun pasal 19 menitikberatkan pada hutan lindung yang tak lagi lindung, itu hanya akal-akalan pemerintah yang enggan “menjalankan fungsi perlindungannya.”

Ia menegaskan peralihan hutan lindung mempercepat krisis iklim. Ia ambil contoh hutan gambut yang memiliki fungsi pokok mencegah banjir, mengatur tata air, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Atas segala kekhawatiran tersebut, Sekar dari Elsam menyarankan pemerintah untuk membenahi permasalahan luas lahan sawah yang setiap tahun kian menurun, alih-alih membuka lahan baru. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 lalu luas lahan sawah 7,1 juta hektare, padahal tahun sebelumnya 7,75 juta hektare. “Artinya setiap tahun ada 0,65 juta hektare yang berkurang,” ujar Sekar.

Sementara data Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki area persawahan sebesar 7,74 juta hektare, tapi terkonsentrasi di Pulau Jawa, 44 persen.

Masalahnya, lewat Undang-Undang Cipta Kerja, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan “dapat dialihfungsikan” untuk proyek strategis nasional. Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API) Muhammad Nuruddin pernah mengatakan pasal tersebut membuat laju konversi lahan pangan dapat lebih cepat.

Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Agung Ady juga menyarankan pemerintah untuk mengaktifkan lahan tidur. Membuka lahan baru “merupakan langkah yang kurang tepat” karena membutuhkan waktu lama. Kepada reporter Tirto, Selasa, ia juga menilai proyek food estate “cenderung mengkambinghitamkan pandemi untuk memuluskan jalan mencetak sawah di lahan gambut.”

Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto menyanggah kekhawatiran itu dengan mengatakan peralihan lahan justru akan memulihkan kawasan hutan lindung dengan penanaman kombinasi: tanaman berkayu dengan tanaman pangan, tanaman hutan dengan hewan ternak, dan tanaman hutan dengan perikanan.

“Kombinasi-kombinasi di atas akan memperbaiki fungsi hutan lindung,” ujar Sigit dalam keterangan tertulis, Senin (16/11/2020).

Namun Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Abdul Hamid pesimistis dengan klaim tersebut. Menurutnya, “enggak dikasih program saja sudah rusak, tuh, yang lereng lereng.”

Terlepas dari dampak lingkungan, menurut Abdul, jangan sampai pula proyek food estate malah mematikan para petani konvensional.

Baca juga artikel terkait PROYEK FOOD ESTATE atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah & Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Selfie Miftahul Jannah & Alfian Putra Abdi
Penulis: Selfie Miftahul Jannah & Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino