Menuju konten utama
Rusuh di Los Angeles

Federalisme AS Runtuh di Tengah Krisis Imigrasi

Kerusuhan di LA akibat operasi imigrasi memicu bentrok, penangkapan massal, dan konflik otoritas lokal dengan Trump, hal ini berdampak ke federalisme AS.

Federalisme AS Runtuh di Tengah Krisis Imigrasi
Polisi Los Angeles maju ke barikade darurat di tengah awan gas air mata saat bentrokan meletus dengan demonstran di sebelah Balai Kota selama protes menyusul operasi imigrasi federal, di Los Angeles, California pada 8 Juni 2025. Demonstran membakar mobil dan bentrok dengan pasukan keamanan di Los Angeles pada 8 Juni, saat polisi menjauhkan demonstran dari pasukan Garda Nasional yang dikirim Presiden Donald Trump ke jalan-jalan kota terbesar kedua di AS tersebut. (Photo by ETIENNE LAURENT / AFP)

tirto.id - Demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah di Los Angeles, California, Amerika Serikat (AS), berlangsung ricuh. Sudah lebih dari lima hari massa aksi menyampaikan aspirasinya, yang malah menjadi bentrok dengan penegak hukum.

Kerusuhan bermula dengan demonstrasi damai pada hari Jumat (6/6/2025), waktu setempat. Rangkaian protes mulanya dilakukan oleh warga kepada petugas Penegakan Bea Cukai dan Imigrasi (Immigration and Customs Enforcement, ICE) yang melakukan penggerebekan ke sejumlah warga. Agen federal menggerebek sejumlah tempat kerja di distrik mode dan area lainnya, menyebabkan ratusan orang, termasuk anak-anak, ditahan oleh agen ICE di Gedung Federal Edward Roybal di pusat kota LA.

Adapun penggerebekan dan penangkapan ini dilakukan oleh ICE dan Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (Department of Homeland Security, DHS), terkait dengan pelanggaran kebijakan imigrasi. Imigran yang tak punya izin resmi untuk tinggal di Negeri Paman Sam, juga menjadi target.

Para pengunjuk rasa melemparkan benda-benda ke arah petugas ICE dan berusaha menghalangi aparat untuk melakukan penangkapan. Para petugas menanggapi dengan upaya membubarkan kerumunan massa dengan menggunakan granat kejut dan semprotan merica. Massa aksi kemudian bergerak ke Gedung Federal, tempat para tahanan dibawa, dengan tuntutan penggerebekan diakhiri.

Singkat cerita, bentrok antara demonstran dan pihak bertugas terus berlanjut. Pada Minggu (8/6/2025), Presiden AS, Donald Trump, mengerahkan 2 ribu personel Garda Nasional untuk merespons protes di Los Angeles.

Pengerahan ribuan personel tersebut disetujui Trump dengan menandatangani memorandum untuk “mengatasi kekacauan hukum”, kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt dalam keterangan resminya. Bukannya menenangkan, suasana malah makin keruh.

Gubernur California, Gavin Newsom, mengatakan bahwa langkah pemerintah federal untuk mengambil alih Garda Nasional sebagai langkah provokatif dan hanya akan memperburuk ketegangan. Newsom mengatakan akan menuntut pemerintahan Trump karena menerjunkan pasukan Garda Nasional ke wilayahnya tanpa persetujuannya. Trump membalas dengan mengumumkan niat untuk menangkap Newsom.

Kerusuhan di Los Angeles

Demonstran bentrok dengan aparat penegak hukum di jalan-jalan sekitar gedung federal selama protes menyusul operasi imigrasi federal di Los Angeles, California, pada 8 Juni 2025. Demonstran membakar mobil dan bentrok dengan pasukan keamanan di Los Angeles pada 8 Juni, saat polisi menjauhkan pengunjuk rasa dari pasukan Garda Nasional yang dikirim Presiden Donald Trump ke jalan-jalan kota terbesar kedua di AS tersebut. (Photo by RINGO CHIU / AFP)

Ada Dua WNI Ditangkap dalam Operasi ICE & Pemberlakuan Jam Malam di Kota LA

DHS mengatakan mereka telah menangkap 118 imigran di Los Angeles, termasuk di dalamnya lima orang yang terkait organisasi kriminal.

Dari ratusan orang yang punya masalah keimigrasian ada dua orang waga negara Indonesia. ESS (perempuan,53) dan CT (laki-laki, 48) ditangkap oleh DHS pada Jumat (6/6/2025). Keduanya ditangkap karena sejumlah pelanggaran. ESS ditangkap imigrasi federal karena statusnya yang ilegal dan CT ditangkap karena memiliki catatan penyalahgunaan narkoba dan masuk ke Amerika Serikat secara ilegal.

Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, menyebut bahwa Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) telah berkoordinasi dengan DHS terkait pendampingan dua WNI.

"KJRI Los Angeles saat ini sedang berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk akses pendampingan kekonsuleran bagi kedua WNI tersebut," kata Judha dalam keterangan pers, Senin (9/6/2025).

Judha mengimbau kepada setiap masyarakat WNI untuk terus menjalin komunikasi dengan KJRI Los Angeles dan seluruh jalinan silaturahmi antara masyarakat Indonesia di wilayah tersebut. Terlebih, saat ini Los Angeles sedang ramai dengan sejumlah aksi demonstrasi yang menentang kesewenang-wenangan petugas imigrasi dan bea cukai di wilayah tersebut.

Perkembangan situasi dari CNN per 10 Juni 2025, Wali Kota Los Angeles Karen Bass mengumumkan pemberlakuan jam malam di beberapa bagian kota. Jam malam diberlakukan mulai dari pukul 20.00 sampai dengan 06.00 pagi.

Walikota Bass, menyebut bahwa area yang terdampak jam malam kurang lebih seluas 1 mil persegi. Seorang mantan Kapten Kepolisian, Ron Johnson, menyebut bahwa penerapan jam malam akan dapat memisahkan demonstran dengan agitator. “Demonstran yang secara legal memprotes akan akan punya waktu untuk pulang. Hanya para agitator yang tersisa. Sehingga akan memisahkan kerumunan dan ada kesempatan untuk kerja sama,” ucap dia kepada CNN.

Kepolisian Los Angeles menyebut akan menangkap siapapun yang terlibat perkumpulan massa tidak sah atau tindakan kriminal. “Jika anda tidak tinggal atau bekerja di pusat kota LA, hindari wilayah ini, Penegak hukum akan menangkap dan ditindaklanjuti secara hukum,” ucap Karen Bass melalui kanal resmi X-nya.

Departemen Kepolisian Los Angeles mengatakan Selasa malam bahwa mereka telah mulai melakukan "penangkapan massal." Sebelumnya, polisi mengatakan puluhan orang ditahan karena gagal membubarkan diri di area pertemuan yang melanggar hukum. Setidaknya 378 orang telah ditangkap selama empat hari terakhir, kata LAPD pada Selasa (10/6/2025).

Runtuhnya Norma Federalisme AS

Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama menilai bahwa langkah Presiden Trump menggunakan elemen militer untuk penanganan demonstran mengancam demokrasi AS.

Sebagai negara yang mengaku sebagai mercusuar demokrasi, menurut Virdika, AS justru melakukan tindakan yang biasa ditemui di negara otoriter elektoral. “Aturan hukum dibengkokan, oposisi dilemahkan, otonomi lokal diintervensi secara paksa,” tulis Virdika dalam keterangan yang Tirto terima, Rabu (11/6/2025).

Dia juga menyoroti sejumlah langkah lain dari pemerintah AS. Seruan penangkapan Gubernur Gavin Newsom adalah bentuk delegitimasi terhadap otonomi negara bagian. Sedang penempatan 2000 personil Garda Nasional dan 700 marinir ke Los Angeles, tanpa koordinasi dengan otoritas negara bagian merupakan indikasi militerisasi fungsi sipil.

Menurut data DHS, lebih dari 44.000 orang ditangkap dalam operasi imigrasi sejak awal 2025. Di antaranya adalah pemegang visa overstay, termasuk mahasiswa dan pekerja terampil. Sejak akhir 2024, terdapat 1.4 juta orang asing dalam daftar deportasi aktif termasuk 4.276 WNI. Mereka yang ditangkap tidak selalu karena pelanggaran hukum, melainkan memiliki riwayat demonstrasi dan aktivitas sipil masa lalu.

Virdika menyebut bahwa bahwa fenomena ini juga upaya konsolidasi kekuasaan oleh struktur presidensial Amerika Serikat. Sistem tersebut memberi ruang luas bagi presiden untuk mengendalikan aparat keamanan dan menetapkan kebijakan imigrasi secara sepihak. Trump tidak memanfaatkan celah tersebut untuk penegakan hukum melainkan dominasi politik.

Virdika juga megatakan narasi yang dibangun oleh Presiden Trump dinilai sangat dekat dengan rezim otoriter. Negara membentuk dikotomi antara warga sejati dan penyusup untuk legalisasi represi instrumen negara.

Trump juga menggambarkan imigran sebagai perampas pekerjaan, penyebab kekacauan, dan bahkan ancaman eksistensial. “Dalam logika ini keberadaan mereka tidak hanya tak diinginkan, tetapi juga dianggap membahayakan,” ucap Virdika.

Namun aksi Trump sebenarnya tidak didukung oleh data. Virdika mengutip studi PEW Research Center pada 2023, yang menyebut tingkat kriminalitas tidak terdokumentasi dan terbukti lebih rendah. “Dalam politik afektif, fakta tidak lagi mempunyai daya tawar. Narasi ketakutan lebih laku daripada data kebenaran” imbuh Virdika.

Lebih lanjut, menurut Dia, sikap pemerintah Indonesia, melalui KJRI, terlalu netral dalam menghadapi realitas yang politis. “Dalam kondisi ini, diplomasi konsuler yang hanya bersifat administratif tidak lagi cukup,” tuturnya.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN atau tulisan lainnya dari Faisal Bachri

tirto.id - News Plus
Reporter: Faisal Bachri
Penulis: Faisal Bachri
Editor: Alfons Yoshio Hartanto