Menuju konten utama

Inisiator Revisi UU KPK adalah 6 Politikus Partai Pendukung Jokowi

Para inisiator revisi UU KPK dari partai pendukung pemerintah. Pengamat menyebut ada "kepentingan tertentu" di balik itu.

Inisiator Revisi UU KPK adalah 6 Politikus Partai Pendukung Jokowi
Pegawai KPK menggelar aksi unjuk rasa di kantor KPK, Jakarta, Jumat (6/9/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.

tirto.id - Dalam pidato kenegaraan di DPR pada 16 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengatakan: "Ukuran kinerja pemberantasan korupsi perlu diubah."

"Keberhasilan para penegak hukum," katanya, "bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya dari berapa orang yang dipenjarakan."

Jokowi menambahkan, "harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran... bisa dicegah, berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Ini perlu kita garis bawahi."

Dalam Rapat Paripurna yang hanya dihadiri 70-an anggota dewan pada Kamis (5/9/2019) kemarin, partai pendukung Jokowi setuju merevisi Undang-Undang 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan salah satu alasan kenapa peraturan ini perlu direvisi karena pemberantasan korupsi belum maksimal. Komisi Pemberantasan Korupsi, kata Masinton, selama ini tidak mengoptimalkan fungsi pencegahan dan lebih suka unjuk gigi lewat penindakan, termasuk Operasi Tangkap Tangan—selaras dengan pernyataan Jokowi.

"Kalau KPK hanya menindak, itu tidak akan menyelesaikan masalah korupsi," jelas Masinton di Kompleks Parlemen di Senayan, Jumat (6/9/2019) kemarin.

Masinton adalah satu dari enam politikus dari partai pemerintah yang mengusulkan revisi UU KPK. Ia mengakui menjadi pengusul revisi bersama rekannya Risa Mariska dari PDIP, Achmad Baidowi (anggota Komisi II dari Fraksi PPP), Ibnu Multazam (anggota Komisi IV dari Fraksi PKB), Saiful Bahri Ruray (anggota Komisi III dari Fraksi Golkar), dan Teuku Taufiqulhadi (anggota Komisi III dari Fraksi NasDem).

"Ada Pak Taufiqulhadi," kata Masinton.

"Pak Baidowi juga, ya?" tanya wartawan.

"Iya."

Masinton bilang usul ini pertama kali mencuat setelah Pemilihan Umum 2019. Ia mengaku membicarakan usulan revisi UU KPK dengan anggota lintas fraksi. Ia melakukan lobi-lobi dengan anggota dewan lain. Saat itu pembahasan baru sebatas dengan anggota dewan, belum dengan pihak pemerintah, klaim Masinton.

"Sebagai politisi, anggota DPR pasti saling komunikasi. Mana mungkin tiba-tiba?" ucapnya, diplomatis.

Usul revisi UU KPK lantas disampaikan ke Badan Legislasi, lembaga di DPR yang salah satu tugasnya memantau dan meninjau undang-undang. Masinton mengklaim Baleg sebenarnya sudah lama membahas ini. Rapatnya tertutup. Dalam periode ini, pemerintah sudah tahu dan setuju, ujarnya.

Salah satu rapat Baleg pada 3 September 2019, berbarengan pembahasan usulan revisi untuk Undang-Undang 2/ 2018 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD (UU MD3).

Pembahasan pada hari itu cukup alot, kata Masinton, memakan tiga jam.

Setelah disetujui dalam Rapat Paripurna, DPR akan mengebut revisi sebelum masa periode kerja berakhir pada 24 September mendatang. Anggota DPR periode sekarang berharap akan melakukan tes kepatutan dan kelayakan calon pimpinan KPK periode selanjutnya.

Melemahkan KPK

Wacana revisi UU KPK adalah barang lama meski baru benar-benar akan terjadi sekarang. DPR telah menginginkannya sejak 2010 pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), DPR sepakat revisi UU KPK termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 Prioritas pada 26 Januari 2016. Saat itu hanya Fraksi Gerindra yang menolak revisi, lalu Fraksi Demokrat dan PKS.

Upaya revisi UU KPK kembali redup hingga muncul lagi pada periode 2017: DPR membentuk panitia khusus (pansus) hak angket terhadap KPK; lalu muncul lagi sebagai salah satu rekomendasi.

"Ada kepentingan tertentu yang hendak diselendupkan. Itu berkaitan dengan terganggunya kepentingan elite pusat maupun daerah karena ada monitoring dari KPK," ujar Koordinator ICW Adnan Topan Husodo kepada Tirto. "Memang menunjukkan ada agenda tersembunyi, yang tujuannya membuat lembaga antikorupsi ini dibuat lebih moderat."

Setidaknya ada sembilan implikasi negatif jika revisi terkabul, menurut Ketua KPK Agus Rahardjo.

Ia adalah mengancam independensi KPK; membatasi penyadapan; sarat kepentingan politis lewat pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR; dan membatasi sumber Penyelidik dan Penyidik.

Selain itu, penuntutan perkara korupsi harus berdasarkan koordinasi dengan Kejaksaan Agung; perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria; memangkas kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan; menghilangkan kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan; dan memangkas kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN.

"Pembahasan Revisi UU KPK yang secara diam-diam ... menunjukkan DPR dan pemerintah tidak mau berkonsultasi dengan masyarakat yang diwakilinya," kesimpulan Agus.

Sementara Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menegaskan jika tujuan revisi UU KPK adalah memperkuat pemberantasan korupsi, yang harus direvisi adalah UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

"Di dalam UU Tipikor, masih banyak yang belum inline dengan Piagam PBB yang sudah kita ratifikasi," tegas Saut saat berorasi di aksi #SaveKPK di lobi Gedung Merah Putih KPK, Jumat (6/9/2019) kemarin.

Piagam PBB itu Konvensi PBB Antikorupsi tahun 2003 yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia lewat UU 7/2006. Beberapa yang belum diakomodasi dalam UU Tipikor adalah korupsi di sektor korporasi; perdagangan pengaruh; memperkaya diri secara tidak sah; perampasan aset; dan pelayanan publik.

Dengan segudang alasan itu, harapan anggota Wadah Pegawai KPK Henny Mustika Sari tak berlebihan: minta Presiden Jokowi menghentikan revisi UU KPK.

"Jangan sampai sejarah mencatat KPK mati pada masa Presiden Joko Widodo," kata Henny saat berorasi di Gedung Merah Putih.

Ribuan orang sudah meneken petisi mendesak Jokowi menolak revisi UU KPK. Juga KPK telah menyurati Jokowi. Isi surat itu sehimpun dengan desakan publik.

Revisi UU KPK tidak akan dibahas seandainya Jokowi tidak mengeluarkan surat presiden, kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti.

Lalu, apa pendapat Presiden Jokowi?

Dalam pernyataannya Kamis pekan ini di Pontianak, Jokowi mengaku belum mengetahui isi rancangan revisi UU KPK.

Jokowi berkata revisi UU KPK adalah "inisiatif DPR," seperti dikutipAntara. "Yang jelas KPK saat ini bekerja dengan baik. Saya belum bisa sampaikan apa-apa."

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino