tirto.id - Disertasi Abdul Aziz, mahasiswa Doktoral Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, berjudul 'Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital' menjadi kontroversi dan bahan pemberitaan sejumlah media beberapa hari terakhir.
Beberapa media membuat berita dengan judul, di antaranya, "Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga: Seks di Luar Nikah Tak Langgar Syariat"; "Seks di Luar Nikah Tak Langgar Syariat Jadi Isi Disertasi Mahasiswa UIN".
Berdasarkan sejumlah pemberitaan media, pihak UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta membuat klarifikasi dengan mengadakan konferensi pers pada Jumat pekan lalu (30/8/2019); atau, dua hari setelah Abdul Aziz mempertahankan disertasinya di depan penguji.
Dalam surat undangan yang dipublikasikan pihak kampus dan ditandatangani Rektor UIN Yogya Yudian Wahyudi, ada dua judul pemberitaan yang dinilai mereka "agak menyimpang" sehingga perlu diklarifikasi.
Dua judul berita media daring yang disebutkan adalah "Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga: Seks di Luar Nikah Tak Langgar Syariat" dan "Disertasi: Hukum Islam Lindungi Seks di Luar Nikah".
Dari pantauan Tirto, judul berita yang terakhir itu tayang pada Jumat (30/8/2019) pukul 07.30, kemudian diubah judulnya pada pukul 14.15 menjadi "Disertasi Hubungan Intim Boleh Tanpa Nikah Lolos di UIN Yogya."
Pihak UIN Yogya menghadirkan ketua sidang, promotor, dan penguji disertasi Abdul Aziz untuk memberikan klarifikasi kepada media. Setidaknya ada tujuh orang yang hadir dan memberikan pernyataan.
Di antaranya Profesor Yudian Wahyudi sebagai Ketua Sidang sekaligus Rektor UIN Yogya; Profesor Khoirudin Nasution dan Sahiron selaku promotor; dan empat penguji, yakni Agus Moh. Najib, Samsul Hadi, Profesor Euis Nurlailawati, dan Amatul Qibtiyah.
'Berbahaya dan Bisa Meruntuhkan Negara'
Ketua Sidang penguji Yudian Wahyudi mengatakan jika konsep Milk Al-Yamin sebagaimana pandangan Muhammad Syahrur diterapkan di Indonesia, menurutnya, malah akan menghancurkan negara. Dalam pemikiran Syahrur, hubungan seks di luar pernikahan dengan batasan tertentu tidak melanggar syariat Islam.
Konsep itu, kata Yudian, berbahaya bila diterapkan di Indonesia karena akan menjadi legitimasi seks di luar pernikahan yang sah.
"Itu sangat berbahaya kalau dilegalkan, sebetulnya itu meruntuhkan negara dari dalam. Itu harus diingat karena [dengan konsep itu] kami harus merombak, meruntuhkan negara dengan cara melegalkan perkawinan yang tanpa syarat. Ini berarti negara akan hancur. Maka, kami menganggap ini persoalan serius," kata Yudian.
Menurutnya, negara pertama kali dibangun dari keluarga, sehingga jika Indonesia berlandaskan pendapat Profesor Teknik Sipil Emeritus di Universitas Damaskus itu, akan menimbulkan masalah sosial.
"Nanti dia ganti [pasangan hubungan seksual] lagi, ganti lagi. Nanti yang kena AIDS berapa? Nanti yang jadi anak terlantar berapa? Tidak bisa sekolah berapa?" katanya.
Promotor disertasi Khoiruddin Nasution menjelaskan konsep Milk Al-Yamin tidak bisa dilepaskan dari latar belakang yang menggagasnya. Syahrur, penggagasnya, adalah warga Suriah yang pernah menetap lama di Rusia, negara yang bebas dalam urusan pernikahan.
Syahrur mengkontekstualisasikan konsep Milk Al-Yamin dalam kehidupan kontemporer dengan beberapa perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis, seperti halnya terjadi di Eropa.
"Nikah-nikah sejenis ini sekarang umum dilakukan orang-orang Eropa, termasuk Rusia, di mana Syahrur hidup lama," kata Khoiruddin.
Pun nikah jenis seperti itu, katanya, juga telah ada dalam tradisi muslim dengan hukum yang kontroversial. Ada ulama yang membolehkan, ada pula yang mengharamkan.
Sebetulnya, kata Khoiruddin, Abdul Aziz dalam disertasinya mengkritik konsep Syahrur yang disebutnya memiliki bias-bias tersebut.
"Sayangnya, dalam abstrak, Abdul Aziz tidak menulis kritik tersebut. Malah menyebut konsep Syahrur sebagai teori baru dan dapat dijadikan justifikasi keabsahan hubungan seksual nonmarital," katanya.
Promotor lain, Sahiron, mengatakan penafsiran Syahrur terhadap ayat-ayat Alquran tentang Milk Al-Yamin itu cukup problematik. Problemnya, menurutnya, terletak pada subjektivitas penafsir.
"Subjektivitas penafsir yang berlebihan yang dipengaruhi oleh wawasan tentang tradisi, kultur, serta sistem hukum keluarga di negara-negara lain," katanya.
Subjektivitas yang berlebihan ini, kata Sahiron, memaksa ayat-ayat Alquran agar sesuai dengan pandangan penafsir, sehingga ayat-ayat tentang Milk Al-Yamin yang dulu ditafsirkan oleh ulama sebagai "budak" dipahami Syahrur sebagai "setiap orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual."
Kritik dari Penguji
Agus Najib, penguji disertasi Abdul Aziz, memberikan sejumlah kritik terhadap pemikiran Syahrur yang diteliti oleh Aziz. Salah satunya soal penyebutan Milk Al-Yamin, di dalam Alquran yang tidak hanya dikaitkan dengan budak perempuan tetapi juga budak laki-laki.
Namun, Syahrur hanya berfokus pada budak perempuan yang dimaknai secara kontemporer, sehingga, menurutnya, pembahasannya tidak komprehensif.
Syahrur menyebut hubungan nonmarital dengan sebutan akad komitmen, tetapi Syahrur, kata Najib, tidak mengemukakan syarat dan rukunnya (tidak menjelaskan detail aturan & tata cara pelaksanaannya).
Penguji lain, Euis Nurlaila, lebih menyoroti kealpaan penulis dalam menyematkan frasa "dalam perspektif Syahrur atau dalam kaca mata Syahrur".
"Sehingga yang terbaca dan terdengar adalah penulis mempunyai pandangan, melalui konsep Milk Al-Yamin, hubungan seksual di luar nikah itu sah dalam syariat Islam," katanya.
Penguji lain, Alimatul Qibtiyah, berpandangan pemikiran Syahrur terkait Milk Al-Yamin problematis, terutama jika dilihat dari perspektif kesetaraan gender. Pasalnya, hal itu tidak melihat dampak terhadap perempuan yang dinikahi dengan perkawinan yang sah.
Pun bagi perempuan yang dinikahi secara ilegal hanya untuk kepuasan seksual, tidak diperhatikan lebih jauh soal hak anak dan perempuan tersebut.
Untuk itu, sesuai kritik dan saran dari penguji, Ketua Sidang Penguji Yudian Wahyudi mengatakan draf disertasi yang diujikan pada 28 Agustus 2019 itu harus direvisi.
Dan, menurut Yudian, jika memang masyarakat menerima dan menerapkan pandangan Syahrur tentang Milk Al-Yamin, ia harus ditambah akad nikah, wali, saksi, dan mahar.
Konsekuensinya, jika itu diberlakukan di Indonesia, harus mendapatkan legitimasi dari ijtima. Artinya, dalam konteks Indonesia, ia perlu menerima usulan melalui Majelis Ulama Indonesia, lalu dikirim ke DPR agar disahkan menjadi undang-undang.
"Tanpa proses ini, pendapat Syahrur tidak dapat diberlakukan di Indonesia," kata Yudian.
Disertasi Mendapatkan Nilai Sangat Memuaskan
Di tengah kontroversi dan kritik-kritik itu, tim penguji memberi penilaian sangat memuaskan atas disertasi Abdul Aziz. Dosen UIN Surakarta itu berhasil mempertahankan disertasinya dan memperoleh gelar doktor.
Sahiron, promotor disertasi, menilai Abdul Aziz telah melakukan kerja penelitian dengan baik, salah satunya berhasil mendeskripsikan objek penelitian tentang pemikiran dan penafsiran Syahrur dengan membaca buku dan sumber lain.
Abdul Azi mampu mengeksplorasi dan mendeskripsikan pandangan Syahrur dengan baik, ujar Sahiron.
"Lalu dia [Aziz] sudah berusaha tidak sekadar eksplanatori tetapi juga analisis kritik. Mengkritik Muhammad Syahrul dari sisi linguistiknya, dari sisi pendekatan gender dan seterusnya sudah dilakukan, meskipun menurut saya belum sempurna," katanya.
"Secara akademik, dari deskripsi, analisis, sampai kritik, sudah masuk di dalamnya, meskipun tidak sampai cumlaude. Nilai disertasi kita gabungkan dengan nilai kuliahnya. Akumulasinya sangat memuaskan," tambahnya.
Abdul Aziz: Gelisah atas Kriminalisasi Zina
Abdul Aziz menjelaskan latar belakang ia mengkaji pandangan Syahrur soal seks di luar nikah karena ia melihat fenomena yang mengerikan atas kriminalisasi hubungan seksual nonmarital atau hubungan seksual konsensual.
"Contohnya perajaman di Aceh karena zina," kata Aziz kepada Tirto, pekan lalu.
Selain itu, ia menyebut contoh peristiwa di Ambon di mana ada seorang anggota Laskar Jihad yang dihukum mati karena dianggap zina. Hal ini, menurutnya, tidak lepas dari stigma hubungan seksual di luar pernikahan.
"Dari situlah saya merasa ada kegelisahan intelektual untuk mengangkat tema yang berkaitan dengan konsep seksualitas manusia. Betulkah sekejam itu hukuman bagi manusia yang melakukan hubungan seksual nonmarital?"
Secara normatif, hubungan seks di luar nikah dianggap dosa besar. Hal itu, menurutnya, karena doktrin hukum Islam bahwa hubungan seksual tanpa pernikahan adalah kejahatan.
Aziz mengatakan memang secara fikih, zina dilarang sejak lama. Tetapi, ia ingin meneliti lebih jauh dari sumber Alquran maupun assunah.
"Sumber stigmatisasi dari kriminalisasi hubungan seksual nonmarital adalah dari pelarangan hubungan dalam hukum Islam, itu dalam fikih. Lalu, saya mencoba mencari apakah betul dari sumber Alquran-assunah itu begitu?" katanya.
"Nah, saya temukan di konsep Milk Al-Yamin, Syahrur, ternyata ada peluang untuk menjustifikasi hubungan seksual nonmarital sesungguhnya boleh halal secara sumber hukum Islam, yaitu Alquran," tambahnya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri