tirto.id - Kekesalan pengguna angkutan udara terhadap harga tiket pesawat yang melambung sejak awal tahun ini tampaknya sudah di ubun-ubun. Tagar #PecatBudiKarya tiba-tiba muncul, dan sempat menjadi trending topicnomor 1 di Indonesia pada Selasa, 7 Mei 2019.
Beragam komentar dari warganet terhadap tagar di media sosial tersebut. Akun @arafahemir misalnya, adalah salah satu yang mendukung tagar itu. Ia mencuit, “Usually tiket mks-jkt 600-700k but now its 1,5m yang paling murah #PecatBudiKarya yes please!”
Lalu ada lagi, akun @Cramolle yang juga mendukung tagar #PecatBudiKarya. Menariknya, ia juga menghubung-hubungkan tagar tersebut dengan belanja online, “Demi online shopping #PecatBudiKarya.”
Namun ada juga yang pesimistis. “Apakah dengan #PecatBudiKarya harga tiket domestik dan internasional akan murah ??,” tulis akun @jayadialwi. Yang pasti, mayoritas warganet mengeluhkan harga tiket pesawat yang mahal.
Keluhan masyarakat juga bisa dilihat dari kemunculan petisi yang berjudul “Turunkan Harga Tiket Pesawat Domestik Indonesia”. Sebanyak 1,06 juta orang sudah menandatangani petisi ini—dibuat pada Januari lalu—dan masih terus bertambah.
Bukan tanpa sebab, warganet meminta Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dipecat. Pasalnya, Kementerian Perhubungan seperti tidak kuasa menahan harga tiket angkutan udara yang kian mahal.
Janji menurunkan harga tiket juga tidak kunjung terealisasi, meskipun sudah menerbitkan dua regulasi baru terkait tarif pesawat pada Maret 2019, yakni Peraturan Menteri Perhubungan No. 20/2019 dan Keputusan Menteri Perhubungan No. 72/2019.
Belakangan, Menhub justru meminta maskapai dan masyarakat dapat saling pengertian soal harga tiket pesawat yang sulit turun. Dia berharap masyarakat dan maskapai bisa sama-sama senang soal harga tiket.
“Garuda, Lion, Sriwijaya harus mendengar apa yang disampaikan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat juga jangan minta tarif batas bawah semua. Kasihan. Jadi ini saling pengertian,” kata Menhub dikutip dari Antara.
Namun, imbauan Menhub ternyata belum bisa menurunkan harga tiket, bahkan justru terus naik. Misal, harga tiket Lion Air rute Jakarta-Denpasar pada 1 Februari 2019 dipatok sebesar Rp895.000, berdasarkan harga dari Traveloka. Namun pada 13 Mei 2019, harga tiket naik menjadi Rp996.200,. Padahal, kondisinya sama-sama belum peak season.
Tiket Pesawat Jadi Urusan Nasional
Polemik harga tiket pesawat yang tidak kunjung reda pada akhirnya membuat Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution turun tangan. Ia lantas menggelar rapat koordinasi kebijakan tiket pesawat udara.
Dalam rakor yang digelar pada Senin (6/5/2019) itu dihadiri sejumlah pejabat di antaranya seperti Menhub, Menteri BUMN Rini Soemarno, Deputi Jasa Kementerian BUMN Gatot Trihargo dan Dirjen Perhubungan Udara Polana B. Pramesti.
Dari hasil rapat tersebut, Kemenhub diinstruksikan untuk mengatur kembali tarif batas atas dan batas bawah tiket pesawat agar lebih terjangkau. Kemenhub bahkan diberi batas waktu sekitar 7 hari untuk segera merealisasikan itu.
“Kami akan evaluasi tarif batas atas. Saya diberi waktu dalam sepekan untuk menerapkan tarif batas atas baru untuk penerbangan ekonomi,” kata Menhub dikutip dari Antara.
Isu harga tiket pesawat memang bukan lagi menjadi persoalan yang kecil, akan tetapi sudah mencakup urusan nasional. Sebab, harga tiket pesawat yang mahal juga turut memengaruhi geliat bisnis masyarakat, mulai dari bisnis kurir, pariwisata, hotel, agen travel, dan lain sebagainya.
Sejumlah pelaku usaha juga beberapa kali protes ke pemerintah. Misal, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani. Ia mengaku bisnis pariwisata menjadi terganggu dengan harga tiket pesawat yang melambung.
“Yang paling kena pengaruhnya itu penginapan dan jasa travel. Harga tiket pesawat tinggi menyebabkan okupansi turun,” klaim Hariyadi dikutip dari Kompas.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Rudiana juga sepakat dengan Hariyadi. Menurutnya, penjualan tiket di agen perjalanan turun cukup tajam sejak awal tahun ini. Rata-rata turun 5-12 persen. Bahkan ada yang sampai 20 persen.
“Sudah harga tiket pesawat enggak turun-turun, plus ada kebijakan bagasi berbayar. Orang-orang jadi pada enggak ingin pergi [melancong]. Bisnis agen perjalanan seperti mati suri,” tuturnya kepada Tirto.
Apa yang dikatakan Astindo dan PHRI ada benarnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penumpang pesawat domestik Januari-Maret 2019 turun 18 persen, menjadi 18,3 juta orang dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 22,2 juta orang.
Penurunan jumlah penumpang pesawat ini juga terjadi untuk pertama kalinya dalam 5 tahun terakhir ini. Tren ini berbanding terbalik ketimbang 5 tahun yang lalu, di mana pada kuartal pertama rata-rata naik 13 persen setiap tahunnya.
Masih dari data BPS, pertumbuhan kunjungan wisman kuartal I/2019 juga naik tipis sebesar 4,37 persen menjadi 3,82 juta wisman dari 3,66 juta wisman. Padahal, rata-rata pertumbuhan kunjungan wisman kuartal pertama dalam 5 tahun terakhir ini sekitar 13 persen.
Dari data tersebut, isu harga tiket pesawat tentu harus segara dicari jalan keluarnya. Apalagi beberapa tahun belakangan ini, pemerintah fokus meningkatkan sektor pariwisata, dan nilai investasi yang masuk ke sektor pariwisata juga tidak kecil.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi di industri pariwisata dalam periode 2013-2017 rata-rata naik 20 persen/tahun. Khusus 2017, nilainya sudah menembus US$1,7 miliar atau naik 31 persen dari 2016.
Bagaimana Nasib Maskapai ?
Menhub sebenarnya bisa saja menurunkan harga tiket pesawat sesuai dengan keinginan para pemakai jasa angkutan udara dengan cara menurunkan tarif batas atas maskapai penerbangan, sebagaimana diatur di peraturan menteri. Hanya saja, hal itu tidak bisa dilakukan sembarangan. Pasalnya, naik turunnya patokan tarif jasa angkutan udara berpotensi memengaruhi kelangsungan usaha maskapai, termasuk berpotensi memengaruhi keselamatan penerbangan.
Menurunkan tarif batas atas jasa angkutan udara juga perlu dipertimbangkan masak-masak mengingat keuangan maskapai juga sedang berdarah-darah. Maskapai PT Garuda Indonesia Tbk. misalnya. Dalam dua tahun terakhir ini, kinerja keuangan Garuda tercatat negatif. Pada 2017, Garuda rugi US$213 juta. Tahun berikutnya, Garuda meraup laba US$5,02 juta meskipun capaian itu menimbulkan polemik.
Namun kinerja maskapai mulai membaik sepanjang kuartal pertama tahun ini seiring dengan harga tiket yang menanjak. Pada kuartal I/2019, Garuda berhasil meraup laba bersih sebesar US$20 juta dari sebelumnya merugi sebesar US$64 juta pada periode yang sama.
“Kalau misalnya tarif batas atas diturunkan, kami akan mengikuti aturan dari regulator. Tapi, kami harap pemerintah tetap mempertimbangkan kelangsungan bisnis maskapai,” tutur VP Corporate Secretary Garuda M. Ikhsan Rosan kepada Tirto.
Keuangan maskapai PT AirAsia Indonesia Tbk. juga terpantau negatif. Dalam tiga tahun terakhir ini, maskapai bertarif rendah ini belum sekalipun memperoleh laba. Tahun 2018, maskapai mencatatkan rugi Rp907 miliar (PDF).
Pada kuartal I/2019, kinerja AirAsia juga membaik. Penjualan AirAsia Indonesia tumbuh 58 persen menjadi Rp1,33 triliun dari sebelumnya Rp844 miliar. Meski begitu, AirAsia masih tercatat merugi, yakni sebesar Rp94 miliar.
Meski masih merugi, AirAsia justru menilai wacana tarif batas atas tidak akan menjadi persoalan bagi bisnis AirAsia Indonesia. Hal itu dikarenakan AirAsia Indonesia selama ini tidak bermain di tarif batas atas.
“Kami tidak melihat kebijakan ini sebagai sesuatu yang perlu dikhawatirkan, karena harga tiket kami termasuk yang paling terjangkau,” ujar Dendy Kurniawan, Direktur Utama PT AirAsia Indonesia Tbk. kepada Tirto.
Dalam laman resmi AirAsia Indonesia, harga tiket maskapai bertarif rendah ini lebih murah ketimbang maskapai lainnya. Untuk rute Jakarta-Denpasar pada 13 Mei 2019 saja, AirAsia menawarkan harga tiket termurah sebesar Rp683.384,.
Sementara maskapai bertarif rendah lainnya, Lion Air pada waktu yang sama menawarkan harga tiket termurah sebesar Rp996.200,. Adapun, Citilink menawarkan harga tiket termurah sebesar Rp1,57 juta, berdasarkan harga dari Traveloka.
Direktur Riset CORE Piter Abdullah menilai penurunan tarif jasa angkutan udara belum tentu akan menyelesaikan persoalan harga tiket pesawat yang mahal lantaran penyebab mahalnya tiket pesawat juga belum jelas.
“Kalau menurut saya harus dijelaskan dulu dan disampaikan kepada publik apa yang jadi masalah naiknya begitu kencang. Kalau main patokan batas atas bawah saja itu enggak memberi solusi,” ujarnya kepada Tirto.
Menurut Piter, menurunkan tarif jasa angkutan udara justru berpotensi memperburuk kondisi industri penerbangan saat ini. “Kalau pemerintah hanya memaksa menurunkan tarif pesawat tanpa solusi, ya sama saja membunuh itu sendiri,” tuturnya.
Bagi warga dan pelaku usaha, harga tiket pesawat saat ini sangat memberatkan. Menurunkan patokan tarif batas atas tentu bisa meringankan beban mereka. Namun di lain pihak, kondisi industri penerbangan juga belum pulih. Menurunkan tarif batas atas, terutama saat akan mendekati peak season, memiliki potensi memperburuk kondisi mereka. Sungguh dilema.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti