Menuju konten utama

Dilema Kenaikan PPN 11 Persen di Tengah Pemulihan Ekonomi Indonesia

Soal kenaikan PPN 11%, pemerintah dinilai menghadapi dilema. Sebab pada dasarnya, pajak mempunyai dua fungsi utama.

Dilema Kenaikan PPN 11 Persen di Tengah Pemulihan Ekonomi Indonesia
Gedung Direktorat Jenderal Pajak. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen meninggalkan tanya: dilanjut atau ditunda. Padahal, rencana kenaikan sudah digaungkan sejak akhir 2021, dan akan direalisasikan pada 1 April 2022 mendatang.

Namun faktanya, hingga kini pemerintah belum juga mengeluarkan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pemerintah hanya punya waktu setengah bulan meramu aturan turunan bila mau diimplementasikan sesuai jadwal.

“Ini tim sedang melakukan pembahasan, ketentuan aturan turunan dari UU HPP ini juga sedang difinalkan. Jadi kami belum tahu. Kita masih lihat perkembangan karena kami belum mendapatkan informasi dari tim itu,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor, saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, tim tersebut berperan untuk melakukan pembahasan dalam menyiapkan aturan turunan UU HPP. Mulai dari pelaksanaanya seperti apa, hingga melihat perkembangan dinamika terjadi saat ini, termasuk perkembangan harga komoditi di Indonesia.

“Di dalamnya pasti melakukan analisa terkait kondisi terkini perhitungan inflasi dan makro di BKF,” kata dia.

Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia, Ajib Hamdani menilai, posisi pemerintah saat ini tengah dilema. Sebab pada dasarnya, pajak mempunyai dua fungsi utama.

Pertama sebagai instrumen budgetair, yaitu pajak mempunyai fungsi mengumpulkan uang buat pundi-pundi negara. Dan kedua instrumen regulerend, yaitu membuat keseimbangan dan pengatur ekonomi masyarakat.

“Kedua fungsi pajak ini, dalam satu kondisi yang sama bisa bersifat kontradiktif. Sehingga pemerintah harus mempunyai kebijakan sebagai dasar untuk membuat regulasi yang presisi,” kata Ajib kepada Tirto, Kamis (17/3/2022).

Pada tahun ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah didesain untuk belanja sebesar Rp2.714,2 triliun, dengan potensi penerimaan pajak sebesar Rp1.265 triliun. Dengan instrumen UU Nomor 2 tahun 2020, pemerintah masih mempunyai kesempatan untuk membuat defisit APBN tahun 2022 ini melebihi 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Dengan instrumen ini, pemerintah mempunyai keleluasaan untuk mendesain defisit APBN 2022 sebesar Rp868 triliun, atau setara 4,85 persen PDB. Lewat struktur yang ada, kebijakan kenaikan tarif PPN ini diharapkan bisa menambal defisit.

Penerimaan PPN sepanjang tahun 2021 sebesar Rp551 triliun. Dengan asumsi tarif PPN mengalami penyesuaian menjadi 11 persen dan bisa diberlakukan pada 1 April nanti, maka potensi pundi-pundi kas negara bisa bertambah kisaran Rp41 triliun.

“Angka potensi tersebut didapat dari kenaikan selisih 10 persen selama sembilan bulan, asumsi secara ekonomi barang dan jasa kena pajak ceteris paribus sesuai kondisi tahun 2021. Angka yang sangat signifikan dalam menambah arus kas masuk," jelasnya.

Di sisi lain, pertimbangan kedua pemerintah untuk melanjutkan kenaikan tarif ini, adalah keberlanjutan regulasi dan kepastian hukum. Karena sejak awal UU HPP ini ditetapkan pada 2021, sudah dihitung secara seksama, tentang waktu pelaksanaan penyesuaian tarif PPN ini yaitu 1 April 2022.

Namun, secara kontradiktif, pajak juga mempunyai fungsi regulerend, untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi yang positif dan berkelanjutan. Setidaknya ada dua hal yang menjadi pertimbangan, pasal kenaikan tarif PPN ini untuk dilakukan penyesuaian waktu, atau ditunda.

Pertimbangan pertama, pemerintah secara agresif juga membuat target pertumbuhan ekonomi secara agregat tumbuh 5,2 persen. Sedangkan penopang lebih dari 57 persen PDB adalah sektor konsumsi.

“PPN ini adalah jenis pajak yang pembebanannya ditanggung dan dibayar oleh konsumen akhir. Sehingga akan memberikan tekanan terhadap kemampuan daya beli masyarakat," jelas dia.

Ajib melihat dalam masa peralihan pandemi menuju endemi seperti sekarang, sedang dibutuhkan semua instrumen pemerintah untuk terus memberikan dukungan iklim ekosistem ekonomi yang positif. Menaikkan tarif PPN dalam momentum sekarang, justru menjadi pilihan yang cenderung kurang pas.

Pertimbangan kedua adalah adanya potensi inflasi. Pemerintah membuat target inflasi hanya di angka 3 persen. Dalam perkembangan ekonomi terakhir, terjadi ketidakseimbangan supply dan demand untuk beberapa komoditas, yang secara psikologis akan memberikan dampak kenaikan harga.

“Secara kuantitatif, dengan tambahan tarif PPN menjadi 11 persen, inflasi bisa bertambah 0,4 persen secara agregat di akhir 2022," jelas dia.

Desakan Penundaan dari Kalangan Dunia Usaha

Di sisi lain, desakan penundaan kenaikan PPN ini juga terus disuarakan oleh pengusaha. Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta misalnya. Ia meminta pemerintah segera mengeluarkan kebijakan penundaan kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen.

“Pengusaha berharap pemerintah dapat menunda pemberlakuan kenaikan PPN sebesar 11 persen diawal April 2022 dengan memperhatikan realitas kondisi ekonomi nasional dan global yang saat ini penuh ketidakpastian," kata Ketua Umum DPD HIPPI DKI Jakarta, Sarman Simanjorang kepada Tirto, Kamis (10/3/2022).

Menurut Sarman, kenaikan PPN ini momentumnya tidak tepat dan kurang mendukung dari situasi dan kondisi ekonomi yang ada. Setidaknya ada lima alasan penundaan kenaikan PPN ini harus dilakukan.

Pertama, kondisi ekonomi nasional yang baru mulai bangkit dan belum stabil. Sebab, dalam situasi pandemi, pengusaha baru mulai bangkit. Di sisi lain, ekonomi masyarakat juga baru mulai tumbuh, sehingga daya beli masyarakat masih fluktuatif belum stabil.

Kedua, kondisi ekonomi global karena dampak pandemi COVID-19 belum pulih ditambah dampak perang Rusia-Ukraina yang memicu kenaikan harga minyak dunia. Saat ini harga minyak dunia menyentuh 130,50 dolar AS per barel yang akan berdampak pada kenaikan berbagai komoditas dunia dan harga BBM dalam negeri.

“Pokok pangan dengan bahan baku gandum juga berpotensi akan mengalami kenaikan karena terhentinya impor gandum dari Ukraina," ujarnya.

Ketiga, saat ini Indonesia tengah dihadapkan dengan gejolak kenaikan harga pokok pangan yang dimulai dari minyak goreng, kedelai, daging dan tidak tertutup kemungkinan kenaikan harga pokok pangan lainnya akan naik jika demand dan supply tidak seimbang.

"Dalam hal ini, pemerintah harus segera mengantisipasi mengingat kebutuhan masyarakat menjelang bulan puasa dan Idulfitri akan naik signifikan," katanya.

Keempat, dalam belasan hari ke depan akan memasuki Ramadan dan Idulfitri. Kenaikan harga pokok pangan sesuatu yang tidak bisa hindari. Sejauh kenaikan tersebut masih dalam kewajaran tentu tidak akan mengganggu daya beli masyarakat yang masih belum stabil.

“Artinya di sini, tanpa kenaikan PPN pun harga pokok pangan dan lainnya akan naik, apalagi jika PPN naik lagi tentu akan memberatkan masyarakat," ujarnya.

Terakhir, dalam UU Nomor 7 tahun 2021 terbuka pemerintah untuk menunda kenaikan PPN tersebut. Dalam Pasal 7 ayat (3) disebut tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Artinya kebijakan ini dapat menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang ada.

“Pemerintah harus hati-hati dan mempertimbangkan secara seksama dampak pemberlakuan kenaikan PPN ini. Jika dipaksakan akan semakin menekan laju daya beli masyarakat dan memicu inflasi dan akan menghambat percepatan pemulihan ekonomi nasional,” ucapnya.

Dewan Pembina Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan juga meminta pemerintah untuk menunda rencana kenaikan PPN pada awal April mendatang. Sebab, ia melihat daya beli masyarakat saat ini belum pulih pasca adanya Omicorn.

“Kalau bisa jangan naik dulu, kan, ini baru mau bangkit kemudian ada Omicron," jelas dia kepada Tirto, Senin (14/3/2022).

Sebagian besar masyarakat yang berbelanja ke mal dan pusat perbelanjaan adalah masyarakat kalangan menengah ke bawah yang saat ini perekonomiannya tengah tertekan.

Berbagai komoditas yang mengalami kenaikan membuat masyarakat semakin menahan belanja di tengah ketidakpastian perekonomian. Ini karena masyarakat telah memperbanyak dana darurat dan tabungan.

“Artinya tambah berat saja kan, jadi saya kira ini akan berpengaruh pada pembelian barang juga. Lebih baik tunggu dulu sampai daya belinya naik," terang dia.

Stefanus menjelaskan, para pengusaha retail juga akan tertekan dengan adanya kenaikan PPN menjadi 11 persen. Sebab daya beli masyarakat saat ini belum membaik, ia khawatir para pemilik usaha yang menyewa lapak di mal tidak kuat untuk membayar sewa toko dan memutuskan untuk tutup sambil munggu kondisi dan daya beli masyarakat kembali membaik.

“Jadi saya kira akan berat sekali, mal-mal juga lagi berat. Kelas atas juga orang yang berpenghasilan tinggi juga belum berani ke mal kan," jelasnya.

Dengan berbagai kondisi yang ada, menjadi keputusan yang tidak mudah bagi pemerintah. Apakah kenaikan tarif PPN sesuai UU HPP ini akan dilanjutkan pada 1 April ini, atau justru sebaiknya ditunda?

“Keputusan ada di tangan pemerintah. Kita sebagai warga negara, sekaligus pembayar pajak, akan menunggu aspek mana yang akan menjadi prioritas," kata Ajib mengakhiri.

Baca juga artikel terkait PPN 11 PERSEN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz