tirto.id - Revisi kilat keputusan mutasi jabatan sejumlah perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia (TNI) tak ayal mengundang tanda tanya. Mulanya, rotasi dan mutasi pada tubuh TNI itu tertuang dalam Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554/IV/2025 tertanggal 29 April 2025. Lewat keputusan itu, Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, merotasi dan memutasi 237 perwira tinggi (pati) TNI, yang terdiri dari 109 TNI AD, 64 TNI AL, dan 64 TNI AU.
Sehari berselang atau pada 30 April, Panglima TNI kembali menerbitkan Surat Keputusan Nomor 554a/IV/2025. Keputusan teranyar ini meralat Surat Keputusan 554. Panglima TNI membatalkan mutasi pada nomor urut 4-10 yang diduduki oleh tujuh perwira tinggi pemegang jabatan strategis.
Salah satunya Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I, Letjen Kunto Arief Wibowo, putra dari Wakil Presiden ke-6, Try Sutrisno, yang sebelumnya akan digantikan Laksamana Muda (Laksda) Hersan.
Letjen Kunto dalam keputusan sebelum revisi, seharusnya dimutasi menjadi Staf Khusus Kepala Staf TNI AD. Ia padahal baru saja menjabat posisi Pangkogabwilhan I selama empat bulan. Laksda Hersan, yang tadinya akan menggantikan Kunto sebagai Pangkogabwilhan I, saat ini menjabat Pangkoarmada III dan merupakan mantan ajudan Presiden Ke-7 RI, Joko Widodo, pada 2014-2016. Hersan juga sempat menjabat sebagai Sekretaris Militer Presiden Jokowi pada 2022-2023.
Pembatalan sejumlah mutasi dan rotasi perwira tinggi TNI–termasuk anak dari Try Sutrisno, Letjen Kunto–memantik spekulasi adanya unsur politik di baliknya. Pasalnya, keputusan mutasi dan rotasi di tubuh TNI terbit setelah gembar-gembor desakan memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dilakukan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Try Sutrisno menjadi salah satu pendukung gerakan tersebut. Forum ini berisi sebanyak 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menilai langkah revisi atau pembatalan keputusan mutasi dan rotasi terhadap tujuh perwira tinggi TNI memang sangat janggal. Ia berpendapat sangat sulit dibantah unsur politis di balik keputusan ini. Pasalnya, salah satu objek keputusan mutasi ini adalah anak dari Try Sutrisno.
“Letjen Kunto baru 4 bulan dilantik. Sehingga sulit ditampik kesan politik itu. Kalau kemudian kita cek pada aspek prosedural kan panjang itu prosesnya, tak dengan mudah dimutasi dan dengan mudah diralat,” kata Halili kepada wartawan Tirto, Senin (5/5/2025).
Mutasi, kata Halili, seharusnya dilakukan melalui proses panjang melalui pengkajian Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti). Wanjakti dilakukan sebelum daftar prajurit yang mendapat mutasi dan rotasi disetor ke Panglima TNI. Maka, Halili menilai sikap TNI merevisi surat keputusan mutasi dan rotasi mengindikasikan ada motif politik yang kuat.
Hingga saat ini, dari pihak Istana Presiden hingga Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, belum memberikan keterangan soal adakah peran Presiden Prabowo Subianto dalam revisi keputusan mutasi dan rotasi di tubuh TNI ini.
Namun, diberitakan sebelumnya, Istana Presiden tampaknya adem-ayem saja menanggapi desakan dari para purnawirawan TNI untuk memakzulkan Gibran dari posisi Wakil Presiden yang diduga sebagai pemicu mutasi di tubuh TNI. Hal ini sebagaimana pernyataan Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto. Ia menyatakan bahwa sejatinya Prabowo mencermati dan menghargai pernyataan sikap dari para purnawirawan sekaligus seniornya di TNI.
Namun demikian, Wiranto menekankan presiden kendati memiliki jabatan sebagai Panglima Tertinggi TNI, juga memiliki keterbatasan. Wiranto menyebut bahwa Prabowo tidak dapat memberikan respons atas usulan dari para purnawirawan TNI tersebut.
“Karena kita tahu beliau dan para purnawirawan satu almamater, satu perjuangan, satu pengabdian. Tentu punya sikap moral yang sama dengan jiwa Sapta Marga dan Sumpah Prajurit itu. Oleh karena itu, beliau memahami itu,” kata Wiranto di Istana Negara, Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Halili Hasan menilai, tidak mengherankan apabila publik melihat pembatalan mutasi dan rotasi sejumlah perwira tinggi TNI berkaitan dengan pernyataan sikap Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang salah satunya mendesak pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka. Peristiwa ini patut diperhatikan betul-betul oleh TNI, khususnya Panglima TNI, agar jangan berulang.
Kepercayaan publik kepada TNI akan semakin merosot jika mereka terombang-ambing oleh dinamika politik. TNI seharusnya hanya boleh tunduk pada sikap politik negara. Tugas dan fungsi TNI sesuai UU TNI yakni: melindungi kedaulatan dan keselamatan warga negara.
“Maka dinamika politik di luar itu tidak dengan mudahnya harus diserap oleh TNI sebagai bagian dari pemicu terjadinya mutasi,” terang Halili.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigadir Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan, alasan pembatalan mutasi dan rotasi Letjen Kunto Arief dan enam perwira lain karena masih dibutuhkan kemampuannya untuk menjabat di posisi sekarang. Masih ada sejumlah tugas yang harus diselesaikan oleh para pati tersebut usai dilakukan evaluasi.
Kristomei mengemukakan, rotasi di lingkungan TNI dilakukan untuk mengakomodir kebutuhan hingga tiga bulan ke depan, di mana sejumlah pati memasuki masa pensiun. Eks Kadispenad ini memastikan bahwa tidak ada alasan lain terkait mutasi Kunto.
"Perubahan ini hanya untuk mengakomodir, tapi Pak Kunto belum bisa bergeser karena harus menyelesaikan beberapa tugas. Bahwa mutasi ini tidak terkait dengan apapun di luar, tidak ada kaitannya,” kata Kristomei dalam konferensi pers secara daring, Jumat (2/5/2025).
Perubahan Kilat Bisa Ganggu Stabilitas
Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menjelaskan bahwa setiap keputusan mutasi dan promosi perwira tinggi lazimnya diterbitkan atas sepengetahuan atau persetujuan presiden sebagai panglima tertinggi. Terutama yang menyangkut posisi-posisi strategis, mengingat kenaikan pangkat dan pemberhentian perwira berpangkat kolonel sampai perwira tinggi bintang empat merupakan kewenangan presiden, sebagaimana diatur dalam pasal 43 dan pasal 59 UU Nomor 34/2004 tentang TNI.
Namun, penting untuk ditegaskan bahwa presiden tidak menyusun daftar prajurit yang akan dimutasi. Fahmi menyatakan, domain itu tetap menjadi kewenangan Panglima TNI bersama para Kepala Staf setiap matra.
Apabila melihat kilatnya keputusan mutasi diubah, kata Fahmi, patut diduga hal ini dilakukan setelah terjadi evaluasi atau perintah koreksi dari pucuk pimpinan. Dalam konteks keputusan panglima, tentunya koreksi dapat datang dari panglima tertinggi, yakni presiden.
Fahmi menilai, sangat penting bagi TNI memastikan bahwa setiap keputusan strategis dapat dikomunikasikan dengan jelas kepada publik untuk menjaga kepercayaan terhadap institusi. Pasalnya, tidak semua orang memahami prinsip fleksibilitas dalam keorganisasian TNI. Akibatnya, keputusan yang cepat berubah bisa dipandang sebagai kurang matangnya perencanaan dan hal itu dapat mempengaruhi stabilitas organisasi.
Dari sudut pandang profesionalisme dan tata kelola organisasi, revisi mendadak semacam ini dapat menimbulkan pertanyaan di kalangan publik dan bahkan di internal TNI sendiri.
Dalam dunia militer yang sangat dinamis, keputusan mengenai penempatan dan pergeseran prajurit, termasuk mutasi jabatan, bukanlah hal statis. Ia selalu bersifat dinamis dan fleksibel, bisa berubah bahkan di menit-menit akhir sesuai dengan perkembangan situasi, evaluasi terbaru, atau kebutuhan mendesak organisasi.
Karena itu, jelas Fahmi, setiap pengisian jabatan dan penempatan perwira tinggi seperti mutasi, promosi, demosi, termasuk penundaan maupun pembatalannya, memang bisa disesuaikan secara cepat berdasarkan kebutuhan organisasi, pertimbangan politik keamanan, atau evaluasi terakhir dari panglima tertinggi yakni presiden.
Ia menegaskan bahwa, TNI tidak hidup dalam ruang hampa. TNI bagian dari sistem kenegaraan yang lebih besar. Dalam konteks itu, perlu dibedakan secara tegas antara politik kekuasaan: yakni manuver aktor politik hanya untuk kepentingan elektoral atau kelompok. Dengan politik kenegaraan, yakni proses yang sah dan konstitusional dalam menjalankan pemerintahan, termasuk pembinaan institusi militer.
“Saya tentu tidak bisa berspekulasi apakah mutasi maupun pembatalannya benar-benar terkait dinamika politik belakangan ini [tuntutan purnawirawan TNI] atau tidak. Tapi wajar jika publik mempersepsikan bahwa ada dimensi politik di baliknya,” ujar Fahmi.
Sebelumnya, sejumlah purnawirawan TNI yang tergabung dalam Forum Purnawirawan Prajurit TNI membuat delapan tuntutan kepada Presiden Prabowo Subianto sebagai pernyataan sikap merespons kondisi pemerintahan terkini. Puncak dari desakan itu terjadi pada Kamis, 17 April 2025 lalu, saat mereka menggelar pertemuan besar di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Dari delapan tuntutan tersebut, salah satunya para purnawirawan TNI mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR. Pertimbangan ini dilakukan karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Putusan ini membuat Gibran melenggang menjadi peserta Pilpres 2024 menemani Prabowo Subianto.
Selain itu, desakan para purnawirawan TNI lainnya, yakni mengembalikan pemerintahan sesuai UUD 1945 sebelum amandemen; mendukung program kerja Kabinet Merah Putih kecuali kelanjutan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN); dan menghentikan proyek strategis nasional (PSN) PIK 2 hingga PSN Rempang serta kasus yang serupa dikarenakan sangat merugikan dan menindas masyarakat.
Selanjutnya, menghentikan tenaga kerja asing dari Cina; mendesak penertiban pengelolaan pertambangan; mereshuffle menteri saat ini yang diduga telah melakukan kejahatan korupsi dan mengambil tindakan tegas kepada para Pejabat dan Aparat Negara yang masih terikat dengan kepentingan Jokowi; serta mengembalikan Polri di bawah Kemendagri.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, melihat salah satu agenda tuntutan purnawirawan TNI yakni kembali ke UUD 1945 versi sebelum amandemen perlu disoroti. Tuntutan tersebut dinilai tidak relevan karena aturan konstitusional atau sistem ketatanegaraan saat ini sudah berkembang. Menurutnya, landasan konstitusi hasil amandemen kini sudah jauh lebih tegas mengatur penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia dan tata kelola kelembagaan negara.
Sementara di dalam UUD yang lama konstitusi tidak mengatur secara tegas hal tersebut. Maka jelas, kata Ardi, jika dikabulkan poin tuntutan itu akan membuat reformasi TNI kembali mundur ke belakang.
“Termasuk mengatur TNI yang dimandatkan khusus untuk fokus dalam hal pertahanan negara,” ucap Ardi kepada wartawan Tirto, Senin (5/5/2025).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang