tirto.id - Nyaris seribu hektare hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Blok Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, rusak akibat praktik perambahan. Pelakunya berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pengusaha hingga oknum perwira polisi. Sebagian lagi merupakan warga sekitar yang membentuk kelompok tani.
Dari 971 hektare hutan TNGL Blok Tenggulun yang dirambah, lebih dari 300 hektare ditanami kelapa sawit. Seluas 711 hektare di antaranya sudah kembali dikuasai negara, termasuk 0,63 hektare dari perusahaan swasta berinisial PT SSR, serta 18,69 hektare kebun sawit milik lelaki berinisial AS. Kini, masih ada 260 hektare lagi yang belum diselamatkan.
“Macam-macam. Dari berbagai macam pihak, ada yang oknum, ada yang artinya bukan korporasi, tapi ada yang perorangan yang memiliki luas sawit yang luas, juga ada masyarakat sekitar,” ujar Kepala Balai Besar TNGL, Subhan, di tengah acara simbolisasi penebangan kebun sawit ilegal, di Blok Hutan Tenggulun, Kecamatan Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, Kamis (4/9/2025).
Gelombang perambahan hutan di Blok Tenggulun sudah terdeteksi sejak 2018. Frekuensinya melonjak pada 2020, saat terjadi pergeseran batas administrasi wilayah antara Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara dengan Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.
Momentum itu, ia sebut dimanfaatkan sekelompok pihak untuk menarik keuntungan pribadi. Dengan dalil sesat bahwa tidak ada TNGL di wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, mereka membabat hutan dan mengubahnya jadi kebun sawit, kebun karet, dan sebagainya. Menurut Subhan, sebagian pelaku bukan orang biasa. Ia menyebutnya mafia.
“Karena ada pergeseran batas, ada mafia yang memanfaatkan keadaan. Bahwa seolah-olah batas bergeser, artinya TNGL juga bergeser, tidak ada lagi di sini. Padahal TNGL tidak mengenal batas administrasi,” ujarnya.
Subhan tidak membeberkan secara jelas siapa mafia yang dimaksud. Namun, berdasarkan penelusuran Tirto, hancurnya hutan TNGL Blok Tenggulun diduga berkaitan dengan konglomerat berinisial RA alias A. Orang yang dimaksud merupakan pengusaha properti dan tempat hiburan malam tersohor di Kota Medan.
Gurita bisnis A menjalar melalui ACG, grup perusahaan yang pernah diseret-seret dalam kasus dugaan gratifikasi setelah ketahuan meminjamkan jet mewah kepada oknum pejabat di Sumatera Utara.
Selain tempat hiburan malam, nama A juga diduga terkait dengan dunia perjudian. Ia juga sempat disebut ada hubungan dengan Konsorsium 303, jaringan praktik judi online yang diduga melibatkan oknum perwira tinggi kepolisian.
A diduga merambah TNGL Blok Tenggulun melalui orang suruhannya, berinisial J. Bukan hanya menarik keuntungan dari praktik illegal logging, mereka juga menyulap hutan jadi kebun sawit seluas 300 hektare.

Guna melancarkan aksinya, A diduga bermain dengan banyak kaki. Ia diduga menyokong kelompok tani setempat untuk turut melakukan perambahan. Jumlah anggota kelompok tani ini nyaris mencapai seribu orang.
Di sisi lain, A juga diduga memanfaatkan relasinya di kalangan aparat. Ia diduga menyuap oknum perwira polisi setempat dengan imbalan lahan rambahan seluas sekitar 30 hektare di Blok Tenggulun. Lahan inilah yang ikut terjaring operasi gabungan pada penghujung 2024 lalu, empat bulan setelah Subhan ditunjuk menjabat Kepala Balai Besar TNGL.
“Selain tadi saya katakan ada mafia yang memanfaatkan keadaan, tentunya juga ada orang-orang yang memang tidak puas dengan lahan-lahan yang dia miliki sehingga terus menginginkan ada perluasan-perluasan, tambahan-tambahan, dari luasan sawit,” kata Subhan.
Pelaku Berpeluang Lolos Pidana
Dalam upaya penertiban hutan TNGL Blok Tenggulun, otoritas menerapkan asas ultimum remedium. Artinya, penerapan hukum pidana menjadi pilihan terakhir. Penertiban dikomandoi Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025.
Menurut Komandan Satgas PKH, Mayjen TNI Dody Triwinarto, pihaknya mengedepankan pendekatan persuasif dalam penyelesaian masalah di Blok Tenggulun. Jalur hukum pidana baru akan ditempuh jika pelaku menolak menyerahkan lahan yang dirambah.
“Kami dekati, kami ajak menyerahkan. Kalau dia tidak terima, dia tidak menyerahkan, baru ada pilihan sanksi hukum yang akan dilaporkan secara berjenjang. Karena yang penting fungsinya kembali, bukan pidananya kita kedepankan,” ujar Dody.
Penerapan asas ultimum remedium menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam menertibkan kawasan hutan lindung di Indonesia. Alasannya, kata Dody, karena pemerintah ingin menyelesaikan masalah, bukan mencari masalah.
“Yang penting masalah kita selesai. Jangan sampai kita menyelesaikan masalah dengan masalah baru,” katanya.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, berpendapat bahwa pengesampingan jalur pidana dalam proses penertiban hutan lindung tidak akan mengikis rasa keadilan. Sebab, mereka juga dipaksa melakukan reforestasi.
Tindakan ini, kata Dwi, sudah diterapkan terhadap sejumlah pelaku perambahan hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Sedangkan untuk di TNGL Blok Tenggulun, reforestasi dilakukan oleh sejumlah Non-Governmental Organization (NGO) mitra Balai Besar TNGL secara sukarela.
“Jadi ini bukan berarti tidak adil. Kenapa? Jadi pilihannya dalam beberapa kasus seperti di Riau, bukan berarti dipulihkan langsung orangnya itu bebas tanpa dosa, tidak. Kalau di Riau itu, dia (pelaku) yang dipaksa memulihkan,” ujarnya.
Meski mengedepankan jalur persuasif dan dialog, kata Dwi, tidak tertutup kemungkinan adanya oknum perambah TNGL Blok Tenggulun yang berpeluang diseret ke ranah pidana. Alasannya, yang bersangkutan sudah dua kali mangkir dari panggilan.
“Kayaknya ada di sini salah satu calon. Ini masih diusahakan Satgas PKH baik-baik. Kalau tidak mau juga dia, berarti nanti pidana lah dia ini. Tapi ini masih inisial, kalian jangan paksa-paksa kami buka kartu,” ujar Dwi.
Setelah tuntas ditertibkan, lanjut Dwi, ratusan hektare TNGL Blok Tenggulun akan ditanami dengan tumbuhan-tumbuhan yang menghasilkan sumber pakan bagi satwa. Tujuannya meminimalisir konflik dengan warga. Di sisi lain, pemerintah juga akan menanam pohon pinang di sepanjang perbatasan hutan.
“Karena ada konflik di sini, baik orang utan, harimau maupun gajah. Jadi kita juga lihat kriteria penanamannya, jenis tanamannya tentu kita sesuaikan dengan kebutuhan,” ujar Dwi.

Menurut Direktur Green Justice Indonesia, Panut Hadisiswoyo, kerusakan yang dialami hutan TNGL Blok Tenggulun tidak bisa diukur sebatas angka. Sebab, kawasan hutan ini merupakan habitat bagi tiga spesies kunci, yaitu harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), gajah Sumatra (Elephas maximus sumatrensis), dan orang utan Sumatra (Pongo abelii).
Ketiganya merupakan satwa endemik yang berstatus Critically Endangered atau kritis versi The International Union for Conservation of Nature (IUCN). Artinya, tiga spesies itu sangat terancam punah. Kondisi mereka semakin diperparah dengan hilangnya habitat akibat praktik perambahan.
“Itu masih satwa, belum lagi pohon-pohon hutan yang mungkin sudah hidup ratusan tahun tapi ditebang begitu saja oleh para pelaku. Tentu ini bukan masalah sepele. Mengembalikannya seperti semula juga tidak mudah,” ujar Panut kepada Tirto, Jumat (12/9/2025).
36.000 Ha Hutan TNGL Terdegradasi
Perambah hutan Blok Tenggulun adalah contoh tumor ganas yang sedang menggerogoti TNGL. Sekitar 36.000 hektare dari total luas 830.268,95 hektare hutan taman nasional, yang terdaftar sebagai warisan dunia versi United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tersebut, kini mengalami penurunan fungsi ekosistem atau degradasi.
Setidaknya 1.500 hektare atau 4 persen disulap menjadi kebun sawit. Selebihnya, gundul akibat ulah lain, seperti illegal logging dan permukiman. Sebagian pelaku merupakan korporasi swasta.
“Perlu kami sampaikan bahwa dari 830 ribu hektare TNGL, lebih kurang 36 ribu terdegradasi,” ujar Kepala Balai Besar TNGL, Subhan.
Menurut Subhan, masalah yang dialami TNGL begitu kompleks. Upaya penyelesaian bukan tidak pernah dilakukan. Namun cenderung parsial dan unilateral. Imbasnya, pencegahan praktik perambahan tidak berjalan efektif, begitu pula dengan penindakan hukumnya.
“Kami sudah melakukan berbagai macam upaya. Selama ini kami memang, ya, sendiri. Ada celah-celah yang tidak bisa diselesaikan dengan sendiri. Dengan kolaborasi ini mudah-mudahan bisa kami tuntaskan,” ujarnya.
Pendapat Subhan dikuatkan Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho. Menurutnya, upaya penertiban sudah berulang kali dilakukan. Sejak 2024 saja, petugas sudah enam kali menindak pelaku pembalakan liar di hutan TNGL Blok Tenggulun. Namun penyelesaian hukumnya cenderung tidak tuntas.
Hal itu, menurut Dwi, disebabkan keterbatasan Undang-Undang Kehutanan. Melalui Satgas PKH, ia berharap penindakan terhadap para pelaku sekarang bisa lebih efektif.
“Kalau kami melaksanakan sendiri, yang ada itu undang-undang kehutanan, banyak celah. Kalau sekarang dilaksanakan Satgas PKH, selain dikenakan undang-undang kehutanan, kalau ada korupsinya, bisa diambil, kalau ada gratifikasinya, diambil. Jadi dia tidak memiliki celah hukum untuk lepas,” ujar Dwi.

Menurut Komandan Satgas PKH, Mayjen TNI Dody Triwinarto, pemerintah menargetkan penertiban kebun sawit di kawasan hutan lindung di Indonesia seluas 5 juta hektare. Sejauh ini, sudah 3,1 juta hektare lahan hutan yang dikembalikan sesuai fungsinya, katanya.
“Namun target ini tentu ada klasifikasi. Ada yang sifatnya komersial tidak tertib, yang di HPT (Hutan Produksi Terbatas), tapi ada juga yang sifatnya dikembalikan pada fungsinya,” ujar Dody.
Khusus di wilayah TNGL Blok Tenggulun, kata Dody, praktik perambahan sudah terjadi sejak 7-8 tahun lalu. Dengan kapasitas yang dimiliki Satgas PKH, Dody optimistis masalah bisa diselesaikan dalam waktu dekat.
“Persoalan ini kan sudah lama, mungkin selama ini belum bisa kami tertibkan dengan tuntas. Harapannya tahun ini harus bisa dengan bersama-sama bergabung Satgas PKH. Jadi tidak ada alasan lagi tidak bisa selesai, harus dikembalikan ekosistemnya,” ujar Dody.
Kegagalan Negara Melindungi Hutan
Dalam laporan berjudul Sawit Ilegal dalam Kawasan Hutan: Karpet Merah Oligarki (2021), Greenpeace Indonesia merekam adanya 1.243 hektare kebun sawit di TNGL pada 2019. Artinya, terjadi perluasan lebih dari 260 hektare kurun enam tahun terakhir.
Menurut Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Rio Rompas, perambahan hutan masih terus terjadi akibat gagalnya penegakan hukum.
“Itu karena kegagalan penegakkan hukum. Jadi sebenarnya persoalan kerusakan hutan termasuk perambahan itu karena pemerintah selalu gagal menindak para perusak hutan,” ujar Rio kepada Tirto, Minggu (14/9/2025).
Berdasarkan data Greenpeace Indonesia, total kebun sawit di kawasan hutan Indonesia mencapai 3.118.804 hektare pada akhir 2019. Sebanyak 90.200 hektare berada di Hutan Konservasi dan 146.871 hektare di Hutan Lindung. Selebihnya ada di Hutan Produksi. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,55 juta hektare dikuasai oleh perusahaan berbadan hukum.
Hutan-hutan yang dirambah ini merupakan habitat penting bagi sejumlah spesies endemik langka. Antara lain 183.687 hektare habitat orang utan dan 148.839 hektare habitat harimau Sumatra. Secara spesifik, Sumatra dan Kalimantan menjadi dua pulau dengan persentase kebun sawit di kawasan hutan terluas. Masing-masing mencapai 61,5% dan 35,7%.

Pembentukan Satgas PKH, menurut Rio, sebenarnya langkah positif dalam upaya penertiban kebun sawit di kawasan hutan. Hanya saja, ia menyayangkan komposisi instrumen yang banyak diisi para perwira tinggi dari kalangan TNI. Bukan sekadar domain yang tidak tepat, Rio khawatir keterlibatan unsur TNI dalam penertiban kawasan hutan justru akan menimbulkan konflik kepentingan.
“Satgas PKH ini sebenarnya salah satu cara, cuma disayangkan di situ ada unsur melibatkan militer. Padahal itu bukan tugas militer. Kekhawatirannya ada konflik kepentingan,” ujarnya.
Selain keterlibatan unsur TNI, Rio juga mengkritik skema penertiban yang ditempuh Satgas PKH. Dalam banyak kasus, kebun-kebun sawit ilegal yang telah disita justru diserahkan ke PT Agrinas Palma Nusantara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam bidang perkebunan dan konsultansi konstruksi.
Langkah tersebut, menurut Rio, sangat keliru. Sebab, kawasan hutan yang sudah ditertibkan mestinya dipulihkan kembali sesuai fungsinya.
“Yang terjadi itu bukan dikembalikan kepada negara dan dipulihkan kembali, tapi dikelola oleh BUMN dan tidak melakukan pemulihan,” ujar Rio.
Di sisi lain, Rio mendorong Pemerintah RI berani mengambil langkah tegas terhadap para perusahaan besar yang terbukti memiliki kebun sawit di kawasan hutan. Pendekatan hukum pidana terhadap mereka diharap memberikan efek jera dan menjadi contoh bagi para perambah berskala kecil.
“Nah ini yang tidak dilakukan. Harusnya pemerintah pukul yang besar, sehingga memberikan efek jera,” ujar Rio.
Di samping memberikan efek jera, Rio juga meminta pemerintah agar transparan dalam menetapkan denda pelanggaran terhadap kalangan korporasi yang memiliki kebun sawit di kalangan hutan. Selama ini, nominal denda serta proses pembayaran cenderung tertutup, sehingga rentan ‘dimainkan’.
“Kalau penegakan itu tidak memberikan efek jera, tidak ditarik ke pidana, khususnya untuk perusahaan, ini akan berputar-putar di situ saja, terulang,” pungkas Rio.
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































