Menuju konten utama

Demo Pro & Kontra Anies Sama-Sama Jadikan Banjir Komoditas Politik

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai tindakan massa, baik yang pro maupun yang kontra Anies Baswedan hanya menjadikan banjir sebagai komoditas politik.

Demo Pro & Kontra Anies Sama-Sama Jadikan Banjir Komoditas Politik
Massa Aksi Jakarta Bergerak melakukan unjuk rasa di depan Gedung Balai Kota DKI untuk menuntut Anies Mundur karena tak becus mengurus Banjir dan lainnya, selasa (14/1/2020). tirto.id/Riyan Setiawan

tirto.id - Sejumlah massa aksi melakukan demonstrasi menuntut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mundur dari jabatannya. Alasannya, Anies dinilai tak mampu mengatasi permasalahan banjir yang ada di ibu kota.

Beberapa pentolan dari aksi kontra Anies itu adalah politikus PDIP Dewi Tanjung, pegiat media sosial Permadi Arya atau kerap disapa Abu Janda, dan Koordinator Jakarta Bergerak Siska Rumondor.

Siska Rumondor merupakan pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok (Ahoker). Pada Pilpres 2019, Siska juga menyatakan dukungannya kepada Joko Widodo (Jokowi).

Dia bersama ratusan massa mengaku menuntut agar Anies Baswedan mundur dari jabatan gubernur DKI, karena tidak becus mengurus permasalahan banjir.

“Bagaimana terlihat pencegahan pada saat terjadinya bencana dan penanggulangannya. Di situ kami melihat 'Aduh kenapa begini penanganannya?' Walapun kami tahu musibah selalu datang," kata dia di depan Gedung Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Selasa (14/1/2020).

Ia menilai, bentuk ketidakbecusan kinerja Anies bukan hanya dalam permasalahan banjir saja. Akan tetapi, juga tercermin dalam kebijakan Anies lainnya. Ia mencontohkan pelebaran jalan trotoar, pembuatan jalur sepeda, dan kemacetan.

Menurut Siska, Anies hanya mementingkan kelompok tertentu saja dalam membuat kebijakan di ibu kota.

Selama ini, Siska menilai semua janji-janji Anies hanya retorika belaka. Sehingga kinerja yang dilakukan Anies tidak membawa kesejahteraan bagi warga DKI Jakarta.

Pada waktu yang bersamaan, terdapat juga sejumlah massa tandingan dari Kebangkitan Jawara dan Pengacara (Bang Japar) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Fahira Idris untuk mendukung, mengawal, dan menjaga gubernur DKI itu dari massa kontra Anies.

"Saya melihat bencana banjir ini sudah dijadikan komoditas oleh orang-orang yang selama ini kerjanya memang mendegradasi Pemprov DKI dan Gubernur Anies, tanpa mau memahami fakta yang jelas," kata Fahira kepada reporter Tirto, Rabu (15/1/2020).

Pada aksi yang digelar Selasa lalu, Fahira mengklaim terdapat 300 anggota Bang Japar yang ikut mengamankan Gubernur Anies. Lalu dibantu juga dari organisasi masyarakat (ormas) lainnya.

Dia mengaku kehadiran dirinya bersama massa pro Anies tidak akan bentrok dengan massa kontra Anies.

“Justru kami turut menjaga potensi bentrok bersama para aparat,” klaim dia.

Unjuk rasa menuntut Anies mundur memang sempat ricuh. Ketika itu dari dalam Gedung Balai Kota DKI, massa Bang Japar menyoraki demonstran Jakarta Bergerak. Begitu pun sebaliknya.

Melihat situasi yang tak kondusif setelah berorasi sekitar 15 menit, massa aksi Jakarta Bergerak kemudian berkumpul dan melanjutkan aksinya menuju patung kuda Monas, Jakarta Pusat.

Banjir Dijadikan Komoditas Politik

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai tindakan yang dilakukan massa, baik yang massa pro maupun yang kontra Anies hanya menjadikan bencana banjir sebagai komoditas politik.

“Iya sangat jelas dan sangat clear ketika banjir dijadikan komoditas politik. Misalnya mulai serangan di medsos, terus aksi di dunia nyata, ini termasuk politisasi banjir,” kata Ujang kepada reporter Tirto, Rabu (15/1/2020).

Menurut Ujang, aksi yang dilakukan oleh massa kontra Anies lantaran permasalahan Pilgub 2017 yang belum tuntas.

Selain itu, kata Ujang, aksi yang dilakukan massa yang kontra juga merupakan skenario untuk menjatuhkan citra Anies. Sebab, ia menilai mantan mendikbud era Jokowi-JK itu berpotensi sebagai calon presiden pada Pilpres 2024.

“Ini bagian dari skenario, jadi sebelum Anies berkembang, harus dibunuh dulu karakternya lewat banjir. Ini celah Anies untuk dijatuhkan oleh lawan-lawan politiknya. Ini yang memunculkan proses politisasi," ucap Ujang.

Ujang melihat politisasi banjir hanya terjadi di DKI Jakarta. Seharusnya, kata Ujang, jika mereka tidak terima dengan adanya banjir, lebih baik menggugat ke wali kotanya masing-masing.

Oleh karena itu, menurut Ujang, politisasi banjir yang dilakukan bukanlah perilaku yang baik. Apalagi banjir yang terjadi di DKI Jakarta sejak awal tahun 2020 mengakibatkan kerugian bagi warga, baik secara fisik maupun materiil.

“Harusnya kalau mau secara objektif mengkritik cara penanganannya. Jangan sampai dipolitisi, tapi substansi penanganan banjirnya tidak selesai,” kata Ujang.

Ujang juga mengkritisi spanduk dari massa pro Anies yang bertuliskan “Anda Tidak Suka dengan Anies Baswedan. Silahkan Pindah ke Provinsi Lain.”

Menurut Ujang, tulisan itu provokatif dan tidak baik. Sebab, kata Ujang, warga yang berdomisili di Jakarta berhak tinggal di ibu kota meskipun mengkritisi kebijakan Anies atau tidak mendukung Anies pada Pilgub DKI 2017.

"Jakarta milik semua warga Jakarta. Jadi siapapun yang mengkritik [Anies], ya tidak harus angkat kaki dari Jakarta," kata Ujang.

Lagi pula berdasarkan Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, peristiwa banjir kemarin terjadi lantaran curah hujan pada 2020 terjadi anomali dan tertinggi.

Berdasarkan data yang dihimpun dari beberapa titik pengukuran didapat per 1 Januari 2020, intensitas curah hujan tercatat 377 mm/hari di Stasiun BMKG TNI AU Halim, 335 mm/hari di Stasiun BMKG Taman Mini, dan 259 mm/hari di Stasiun BMKG Jatiasih.

Sementara intensitas curah hujan pada 2007 dengan 340 mm/hari. Pada 2008, intensitas curah hujan maksimal terlihat di angka 250 mm/hari dan 277 mm/hari di tahun 2015.

Sementara itu, pengamat tata kota Yayat Supriatna mengatakan meskipun banjir kiriman dari luar Jakarta, tapi Anies sebagai gubernur juga berkewajiban untuk mengantisipasinya.

“Apa pun yang harus dikerjakan untuk mengurangi risiko banjir, apa yang harus dikerjakan agar banjir tidak menjadi parah [di Jakarta]. Uang ada, petugas ada, kenapa tidak dilaksanakan?," kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (15/1/2020).

Menurut dia, jika program normalisasi maupun naturalisasi dikerjakan oleh Anies, banjir yang terjadi di Jakarta kemarin dapat diantisipasi dan daerah yang terkena dampak bisa berkurang. Namun, ia menyayangkan program itu hingga saat ini masih mandek.

"Kalau sudah seperti ini harus dievaluasi. Apa yang kurang diperbaiki, apa yang tidak selesai dievaluasi," tutur dia.

Baca juga artikel terkait BANJIR JAKARTA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz