tirto.id - Partai Buruh Jakarta bersama Perwakilan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (Perda KSPI) kembali menggelar unjuk rasa di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (24/11/2022).
KSPI berdemo setelah sidang dewan pengupahan DKI Jakarta pada Rabu (22/11/2022) menghasilkan banyak perbedaan pandangan dan rekomendasi dari masing-masing unsur terkait Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023.
Ketua Perda KSPI DKI Jakarta cum ketua Exco Partai Buruh DKI Jakarta, Winarso mendesak Penjabat Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono menaikkan UMP 2023 sebesar 13 persen.
"Kami berharap Plt Gubernur DKI Jakarta menggunakan dasar-dasar yang rasional, tidak menggunakan PP Nomor 36 tahun 2021, tapi PP Nomor 78 Tahun 2015 sehingga muncul angka UMP DKI Jakarta sebesar 13 persen," kata Winarso saat berunjuk rasa.
KSPI menolak penetapan UMP DKI Jakarta 2023 didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Mereka beralasan UU Cipta Kerja sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, PP 36/2021 sebagai aturan turunan dari UU Cipta Kerja tidak bisa digunakan sebagai acuan dalam penetapan UMP/UMK.
Kalangan buruh meminta formulasi penetapan upah menggunakan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam peraturan itu, kenaikan upah minimum besarnya dihitung dari nilai inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.
Kemudian dasar hukum kedua, pemerintah dapat mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) khusus untuk menetapkan UMP/UMK tahun 2023.
“Alasan kedua mengapa PP 36/2021 tidak bisa digunakan adalah akibat kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) dan upah tidak naik tiga tahun berturut-turut menyebabkan daya beli buruh turun 30 persen. Oleh karena itu, daya beli buruh yang turun tersebut harus dinaikkan dengan menghitung inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” kata Winarso.
Ketika menggunakan PP 36/2021, maka nilai kenaikan UMP/UMK berada di bawah inflasi. Winarso mengatakan kondisi itu akan membuat daya beli buruh akan makin terpuruk.
Alasan ketiga, lanjut Winarso, inflasi secara umum mencapai 6,5 persen. Oleh karena itu, ia menilai harus ada penyesuaian antara harga barang dan kenaikan upah.
“Kalau menggunakan PP 36, kenaikannya hanya 2-4 persen. Ini maunya Apindo. Mereka tidak punya akal sehat dan hati. Masak naik upah di bawah inflasi,” ujarnya.
Winarso menegaskan perhitungan pengupahan menggunakan PP 36/2021 yang dijadikan alasan pengusaha akan terjadi resesi global dan risiko 25 ribu buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) itu adalah cerita bohong. Karena berdasar data yang ada, ia menilai resesi tidak terjadi di Tanah Air.
“Resesi itu terjadi jika dalam dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonominya negatif. Sedangkan saat ini pertumbuhan ekonomi kita selalu positif,” jelasnya.
Winarso menyebut inflasi 6,5 persen adalah inflansi umum. Secara khusus, konsumsi yang kenaikannya signifikan adalah makanan yang naik 15 persen, sektor transportasi naik lebih dari 30 persen, serta sewa rumah sebesar 12,5 persen.
“Litbang Partai Buruh memprediksi pertumbuhan ekonomi bisa berkisar rata-rata 4-5 persen Januari-Desember 2022. Kalau inflasi 6,5 persen dan pertumbuhan ekonomi 4-5 persen, yang paling masuk akal angka kompromi kenaikan UMP/UMK adalah di atas 6,5 persen hingga 13 persen,” kata Winarso.
Dengan kata lain, kenaikan UMP mesti lebih tinggi dari angka inflansi dan ditambah dengan pertumbuhan ekonomi.
KSPI mengancam akan menggelar aksi bergelombang dan membesar, bahkan mogok nasional pada pertengahan Desember 2022 apabila Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono berkukuh menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021. Mogok kerja bakal diikuti oleh 5 juta buruh di seluruh provinsi Indonesia.
“Puluhan pabrik akan setop berproduksi, kalau Apindo dan Pemerintah memaksakan PP 36/2021," kata Winarso.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan