tirto.id - Adu gagasan cawapres Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno seolah menawarkan solusi baru untuk para pencari kerja di Indonesia. Namun, sebenarnya, tidak ada gagasan baru yang fundamental yang bisa berdampak besar pada nasib para pencari kerja.
Dalam debat ketiga Pilpres 2019, Ma'ruf Amin menawarkan gagasan kartu Pra-Kerja yang sebelumnya sudah digembar-gemborkan Presiden Joko Widodo. Kartu Pra-kerja pada dasarnya upaya memberikan akses kepada pencari kerja untuk mendapatkan pelatihan sehingga bisa bekerja.
“Oleh karenanya, untuk mendorong agar semangat untuk melakukan upaya peningkatan, kami sekali lagi mengeluarkan, akan mengeluarkan Kartu Pra Kerja, supaya memperoleh semangat, dan akan memberikan insentif honor antara 6 bulan sampai 1 tahun,” kata Ma'ruf saat debat cawapres di Hotel Sultan, 17 Maret 2019.
Sandiaga juga menyodorkan solusi serupa: menawarkan gagasan Rumah Siap Kerja untuk menjawab masalah para pencari kerja. Rumah Siap Kerja dibayangkan oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga menjadi "One Stop Services" bagi para pencari kerja. Wujudnya seperti "Co-Working Space" yang mempertemukan industri dengan pencari kerja. Ia memberikan pelatihan dan sarana olahraga.
“Tapi mengenai rumah siap kerja, di mana anak-anak muda bisa datang, di situ ada ada co-working space. Di situ ada tempat berolahraga, main tenis meja, bola basket, maupun kegiatan-kegiatan training,” ujar Sandiaga.
Gagasan inti dari Kartu Pra-Kerja dan Rumah Siap Kerja adalah akses pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pencari kerja agar bisa mendapatkan pekerjaan dan menghubungkan dengan industri. Gagasan ini sebenarnya sama seperti Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah yang sekarang ada.
BLK menyediakan pelatihan bagi warga atau pencari kerja yang ingin mendapatkan keterampilan untuk bekerja, menyediakan informasi lowongan pekerjaan, bahkan di beberapa daerah memfasilitasi pendaftaran dan seleksi kerja. Itu pula yang bakal dilakukan dengan kartu Pra-Kerja dan Rumah Siap Kerja.
Beban Anggaran
Alih-alih berupaya memaksimalkan kerja Balai Latihan Kerja dengan inovasi, dua cawapres itu lebih senang memunculkan barang baru.
Padahal dua gagasan itu hanya polesan gimmick yang justru berpotensi membebani anggaran negara. Kartu Pra-Kerja menggunakan gimmick insentif honor, Rumah Siap Kerja mengumbar gimmick Co-Working Space dan arena olahraga.
Konsekuensi gagasan kartu Pra-kerja yang memberikan honor antara 6 bulan sampai 1 tahun, negara harus menyiapkan bujet besar untuk itu. Juru Bicara TKN, Irma Chaniago, mengatakan rencananya bila Jokowi terpilih lagi pemerintah akan mensubsidi pencari kerja Rp1 juta per bulan.
“Kalau insentif itu ya wajar, yang namanya negara memberikan insentif pada rakyatnya yang sedang kesulitan mendapat pekerjaan, dikasih insentif, dikasih subsidi, kan, normal,” kata Chaniago.
Bila mengacu pada angka pengangguran tahun 2018 sebanyak 7 juta, minimal pemerintah harus menyediakan anggaran Rp7 triliun untuk subsidi satu bulan. Anggaran ini tentu akan membebani APBN.
Gagasan Rumah Siap Kerja dari Prabowo-Sandiaga juga tak kalah menghamburkan uang negara untuk kebutuhan yang sebenarnya sudah ada. BLK di masing-masing kabupaten dan kota sudah ada. Begitupun fasilitas olahraga yang biasanya sudah tersedia di GOR tingkat kabupaten dan kota. Bila harus membangun lagi dan menyatukan BLK dengan sarana olahraga, tentu biayanya tidak murah.
Misalnya, untuk membangun 1 lapangan basket saja membutuhkan biaya sekitar Rp150 juta. Itu belum termasuk membangun gedung untuk Co-Working Space. Ide ini sebenarnya tidak menjawab kebutuhan para pencari kerja, yang membutuhkan pekerjaan bukan ruangan bekerja. Gimmick ini justru mengaburkan tujuan utama, meningkatkan keterampilan agar bisa bekerja.
Problem Pemagangan Luput dari Perhatian Cawapres
Meningkatkan keterampilan atau kemampuan para pencari kerja sebenarnya bukan cuma dengan pelatihan di BLK. Ada pemagangan yang sudah dilakukan sejak 2009 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pemagangan yang dimaksud adalah apprenticeship (bukan internship) di mana peserta magang akan belajar dengan materi dan praktik langsung di lokasi kerja. Tujuannya sama: memberikan skill pada pencari kerja.
Sayangnya, soal magang tidak dielaborasi oleh dua cawapres. Ia sempat disinggung oleh Sandiaga, yang disebutnya salah satu cara untuk melakukan link and match.
“Perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN yang akan kita berikan insentif agar mereka menawarkan program magang dan co-op kepada para anak-anak muda yang datang di Rumah Siap Kerja,” ujar Sandi. Sayangnya, Sandi tidak merinci soal penerapan magang yang ia maksud.
Ma'ruf justru tidak membahas sama sekali soal magang. Padahal pada 2016, Jokowi mencanangkan program magang nasional setelah merevisi Permanaker tentang Pemagangan Dalam Negeri. Program ini masih berjalan sampai saat ini, tapi bolong di sana-sini. Beberapa bolong kebijakan itu soal standar uang saku, lama waktu magang, dan pengawasan yang tidak mumpuni.
Akibatnya praktik magang itu disalahgunakan oleh sejumlah perusahaan untuk mendapatkan buruh dengan upah murah. Beberapa pencari kerja terpaksa menjadi peserta magang bertahun-tahun.
Penyalahgunaan itu lantaran pengawasan tak berjalan oleh pemerintah melalui Dinas Ketenagakerjaan di tingkat provinsi. Hasilnya, niatan baik untuk meningkatkan keterampilan bekerja justru berakhir pada perbudakan murah tanpa jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, tanpa standar upah dan kontrak, yang berisiko pada sengketa tenaga kerja. Lagi-lagi yang dirugikan adalah pencari kerja.
Dari hasil debat kedua cawapres, belum ada ide baru yang bisa jadi solusi bagi pencari kerja. Hanya berupa gimmick untuk menjawab masalah pengangguran.
Editor: Fahri Salam