Menuju konten utama

Dakwaan Dibacakan, Setya Novanto Tak Bisa Hindari Proses Peradilan

Sidang praperadilan seharusnya tidak dilanjutkan, dosen hukum pidana UGM, Muhammad Fatahillah.

Dakwaan Dibacakan, Setya Novanto Tak Bisa Hindari Proses Peradilan
Setya Novanto menjalani sidang perdana sebagai terdakwa dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (13/12/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya membacakan surat dakwaan korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Rabu (13/12/2017). Dengan dibacakannya surat dakwaan ini, secara otomatis praperadilan politikus Golkar yang dikenal “licin” itu gugur.

Dosen Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Muhammad Fatahillah mengatakan, sidang praperadilan Setya Novanto yang rencananya digelar pada Kamis (14/12/2017) dengan agenda pembacaan putusan secara otomatis tidak bisa dilanjutkan.

“Seharusnya tidak [dilanjutkan] karena sudah gugur,” kata Fatahillah kepada Tirto, Rabu malam (13/12/2017).

Fatahillah berkata, Pasal 82 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) secara tegas menyatakan bahwa sidang praperadilan gugur ketika pokok perkaranya sudah mulai diperiksa. Artinya, dengan dibacakannya surat dakwaan kasus korupsi e-KTP itu, maka upaya Novanto untuk lepas dari jerat hukum melalui praperadilan gagal.

Hal tersebut, kata Fatahillah, diperkuat dengan Putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015 yang mempersempit definisi “perkara mulai diperiksa” menjadi perkara telah dilimpahkan dan sidang pertama pokok perkara atas nama terdakwa telah dimulai.

Menurut Fatahillah, upaya hukum yang bisa ditempuh Setya Novanto hanya mengikuti proses peradilan di Pengadilan Tipikor Jakarta. “Lebih tepatnya adalah sekarang sudah masuk persidangan pokoknya, sehingga perkara [Novanto] diperiksa langsung oleh Pengadilan Tipikor,” kata Fatahillah.

Dalam sidang praperadilan yang berlangsung Rabu (13/12/2017) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hakim tunggal Kusno memutuskan tetap akan menggelar sidang lanjutan dengan agenda kesimpulan dan putusan pada Kamis (14/12/2017).

“Kita tunda besok pagi jam 09.00 WIB. Untuk kesimpulan dan kita lanjutkan putusan jam 14.00 WIB," kata Hakim Kusno di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (13/12/2017). Kusno menutup sidang setelah menyatakan dirinya sudah melihat isi cuplikan video sidang perdana kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor.

Upaya Novanto Menunda Sidang Dakwaan

Sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan dengan terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12/2017), sempat dua kali diskors. Novanto berusaha menunda sidang pembacaan dakwaan dengan alasan sakit.

Akan tetapi, Hakim Yanto sebagai Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor memutuskan tetap melanjutkan sidang perdana tersebut setelah melakukan bermusyawarah dengan mempertimbangkan keterangan dokter yang memeriksa Novanto. Pemeriksaan dokter ini dilakukan lantaran Novanto mengaku sakit saat hendak menjalani sidang perdana.

Sebelum memulai persidangan, Hakim Yanto memperingatkan Setya Novanto untuk mendengarkan pembacaan surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Peringatan tersebut disampaikan lantaran Novanto selalu diam dan seolah tidak mendengar setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya.

“Saya peringatkan kepada saudara, sebelum JPU membacakan surat dakwaan agar saudara memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di persidangan,” kata Hakim Yanto di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Rabu sore (13/12/2017).

Peringatan tersebut dilakukan karena Novanto nyaris selalu menjawab pertanyaan dengan suara pelan, mengaku tidak mendengar, dan terus menunduk. Novanto bahkan berkali-kali diam saat majelis hakim mengajukan pertanyaan terkait pemeriksaan identitas. Gara-gara sikap ini, Hakim Yanto mempersilakan rekannya buat bertanya.

Tak hanya Hakim Yanto, sikap Novanto selama duduk di kursi terdakwa juga membuat Jaksa Irene Putri menuding Ketua Umum Partai Golkar itu berbohong. “Terdakwa mengaku sakit namun berdasarkan pemeriksaan dokter kami [KPK] terdakwa tak dinyatakan sakit," kata JPU KPK, Irene Putri saat sidang berjalan.

Menurut Irene, Novanto sempat mengaku menderita diare dan bolak-balik ke kamar kecil hingga 20 kali pada Selasa (12/12/2017) malam lalu. Namun, pernyataan itu dianggap tidak sesuai dengan kesaksian penjaga rumah tahanan.

"Dari laporan pengawal di rutan terdakwa sepanjang malam hanya dua kali ke toilet, pada pukul 11.00 dan 02.30. Terdakwa juga tidur cukup nyenyak sejak pukul 08.00," katanya.

Terkait kondisi kesehatan Novanto, Majelis Hakim kemudian memanggil dokter KPK Johanes Hutabarat, dan tiga dokter lain dari Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) untuk ditanyai perihal hasil pemeriksaan kesehatan terhadap Novanto sebelum ia dibawa ke persidangan.

“Kami tadi juga dilaporkan KPK semua kondisi pagi bagus, semuanya bagus, denyut nadi, tekanan darah. Artinya kami juga, saya tadi sepakat bahwa beliau ini layak untuk hadir pada saat ini,” kata salah satu dokter di hadapan persidangan.

Saat hendak kembali memanggil dokter untuk memberi penjelasan di hadapan persidangan, Novanto terlihat meminta izin pada Majelis Hakim untuk ke kamar kecil. Setelah ia kembali, Majelis Hakim mengulang pertanyaan, dan Novanto baru menjawab dengan terbata-bata.

Namun, alasan Novanto sakit tidak membuat Majelis Hakim Pengadilan Tipikor percaya begitu saja. Meskipun sidang sempat diskors dua kali, Hakim Yanto kemudian memutuskan untuk melanjutkan sidang dakwaan setelah mempertimbangkan keterangan dokter yang memeriksa Novanto.

Dengan dibacakannya surat dakwaan tersebut, Setya Novanto tidak akan dapat menjadikan praperadilan sebagai upaya meloloskan diri dari jerat kasus korupsi e-KTP.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani