Menuju konten utama

Hakim Berkali-kali Bertanya, Novanto Berkali-kali Menunda

Aksi tanya jawab hingga debat sengit antara Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, tim penasihat hukum, dan Hakim mengawali sidang.

Hakim Berkali-kali Bertanya, Novanto Berkali-kali Menunda
Tersangka korupsi proyek e-KTP Setya Novanto menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu, (13/12/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sidang pembacaan surat dakwaan terhadap terdakwa Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) sempat diskors Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (13/12/2017) siang. Aksi tanya jawab hingga debat sengit antara Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, tim penasihat hukum, dan hakim mengawali sidang itu. Sementara surat dakwaan belum juga dibacakan buat Ketua Umum Partai Golkar itu hingga sidang diskors pertama.

Ketua Majelis Hakim Yanto mengawali sidang dengan bertanya kepada Novanto. Pertanyaan pertama Yanto memastikan nama asli terdakwa.

“Nama lengkap saudara?” tanya Yanto tanpa dijawab Novanto di ruang sidang.

Sekitar lima detik kemudian, Yanto kembali bertanya: “Apakah saudara mendengarkan saya?”

Lagi-lagi Novanto tak menggubris. Pertanyaan di atas diulang hingga dua kali oleh Yanto. Hakim lalu bertanya keberadaan penasihat hukum di sidang lantaran hampir 10 detik Novanto diam dan tak memberi jawaban. Saat bertanya keberadaan tim penasihat hukum, Novanto kembali diam beberapa detik lalu menjawabb dengan nada lirih.

Yanto: “Didampingi penasihat hukum?”

Novanto menjawab lirih: “Iya, yang mulia.”

Hakim: “Sekali lagi, apakah saudara didampingi penasihat hukum?”

Novanto (lima detik kemudian): “Iya, yang mulia.”

Yanto kemudian memanggil dokter Johanes Hutabarat yang biasa bertugas di KPK buat meminta klarifikasi mengenai hasil pemeriksaan terhadap Novanto.

Johanes: “Betul [saya periksa terdakwa sebelum sidang].”

Yanto: “Waktu ada komunikasi menjawab dengan lancar?”

Johanes: “Menjawab dengan lancar.”

Setelah itu, Yanto bertanya ke JPU ihwal kondisi Novanto. Saat ditanya, Ketua Tim JPU Irene Putri menjelaskan bahwa dokter KPK sudah memeriksa terdakwa sebelum dibawa ke ruang sidang.

“Keluhan terdakwa, yang bersangkutan itu diare ke WC hingga 20 kali. Namun dari laporan pengawal rutan, terdakwa sepanjang malam hanya dua kali ke toilet pada pukul 23.00 WIB dan 02.30 WIB,” kata Irene.

Setelah mendengar penjelasan dokter KPK dan JPU, Yanto kembali menanyakan nama dan identitas diri terdakwa. Lagi-lagi, Novanto bungkam beberapa detik.

Melihat Novanto yang kembali diam, Yanto kemudian bertanya kepada Maqdir Ismail selaku ketua tim penasihat hukum Novanto. Maqdir berkata, ada perbedaan hasil pemeriksaan dokter pribadi dan dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ihwal kondisi kesehatan kliennya.

“Supaya polemik tak terjadi terus menerus, menurut hemat kami sangat layak agar klien kami diperiksa rumah sakit lain. Tapi kami tidak mendapat reaksi atas permohonan kami karena kami anggap kesehatan terdakwa menentukan apakah dapat dilakukan persidangan,” kata Maqdir.

Pernyataan Maqdir mengundang reaksi JPU. Irene pun berkata bahwa pemeriksaan juga sudah dilakukan tiga dokter dari RSCM yang tergabung di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terhadap terdakwa Novanto.

Yanto akhirnya memanggil tiga dokter yang disebutkan Irene. Ketiganya hadir di persidangan, dan ditanyai mengenai kemungkinan adanya perubahan kondisi badan seseorang yang drastis dalam waktu 5-6 jam.

“Dalam ilmu kesehatan dimungkinkan tidak dalam waktu 5-6 jam [kondisi orang] berubah drastis?” tanya Yanto.

“Bisa saja ada kelemahan di syaraf sebelah kanan dan tidak bisa jalan itu pertama. Kedua, kondisi psikisnya itu bisa mempengaruhi dari syaraf. Kalau dia tidak bisa berbicara, bisa saja sesuatu di otaknya, mestinya tidak bisa jalan. Tapi ini bisa jalan ke sini,” ujar seorang dokter.

Setelah meminta ketiga dokter kembali ke kursi pengunjung, Yanto kembali bertanya nama lengkap Novanto. Kali ini, Novanto bungkam seolah tak mendengar pertanyaan dari Majelis Hakim.

Aksi Novanto menyulut komentar jaksa Irene yang sedari awal mengamati sikap Novanto yang tampak mengulur waktu pembacaan surat dakwaan. Irene menuding Novanto melakukan kebohongan dengan tidak menjawab pertanyaan Majelis Hakim.

“Bagi kami ini salah satu kebohongan yang dilakukan terdakwa,” kata Irene.

Mendengar pernyataan tersebut, Maqdir angkat suara. Ia memohon kepada Majelis Hakim agar Novanto bisa diperiksa dokter lain.

“Kami mohon supaya diberi kesempatan untuk diperiksa dokter yang lain. KPK dan IDI, mereka punya perjanjian tersendiri terhadap pemeriksaan seseorang yang dianggap perlu diperiksa KPK,” katanya.

Setelah itu, Yanto hendak memanggil kembali tiga dokter dari RSCM. Saat hakim akan memanggil, Novanto yang dari tadi hanya sedikit bersuara tiba-tiba meminta izin kepada majelis hakim melalui penasihat hukum untuk pergi ke toilet. Saat meminta izin, suara Novanto tidak terlalu terdengar.

“Terdakwa mau ke toilet, sidang kita skors sebentar,” ucap Yanto.

Setelah kembali dari kamar kecil, Yanto kembali bertanya kepada Ketua DPR itu. Barulah Novanto menjawab, lagi-lagi dengan suara yang pelan.

Hakim: "Nama lengkap saudara, apakah betul Setya Novanto?"

Novanto dengan terbata-bata: "Ya, betul."

Hakim: "Tempat lahir Bandung?"

Novanto: "Di Jawa Timur."

Mantan Ketua Fraksi Golkar ini juga mengakui lahir pada 12 November 1955. Setelah itu, ketika ditanya kebenaran tempat tinggal dan agamanya, ia batuk-batuk. Saat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya ia tidak pernah batuk-batuk.

“Jadi saudara penuntut umum, karena dokternya lengkap dan kalau dari penasihat hukum kalau masih mau mengubungi (dokter) bisa untuk diperiksa ulang, apakah terdakwa betul-betul sakit atau seperti yang disampaikan dalam surat tadi, di sini ada ruangan bisa diperiksa. Jadi sidang diskors sampai selesai pemeriksaan,” kata Yanto.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih