tirto.id - IMDb menjelaskan inti cerita Moonlight (2016) lewat sebaris kalimat: sebuah drama tentang hubungan antar manusia dan pencarian atas identitas diri, diwakili oleh seorang tokoh berkulit hitam yang mengarungi kerasnya hidup di Miami, AS.
Narasi yang biasa-biasa saja. Tapi dalam dunia sinema, penonton bisa dibikin terkesima oleh banyak hal: kualitas gambar, akting aktor dan aktrisnya, hingga musik pengiring yang berdenyut membangun suasana. Kebetulan, Moonlight mampu memenuhi aspek-aspek tersebut. Menariknya lagi, film yang ditulis dan disutradarai oleh Bary Jenkins itu mendulang nilai dan rating di atas rata-rata.
Simak penuturan David Rooney dari The Hollywood Reporter yang mengapresiasi Moonlight, terutama akting para pemain dan kualitas sinematografinya, sebagai film yang “cair dan menggoda, dituturkan dengan rekaman gambar yang memukau dan penuh gairah”.
Pujian juga datang dari jurnalis Time Out New York, Joshua Rothkopf, yang memberi Moonlight lima bintang penuh. “(Film ini) tak diragukan lagi adalah alasan mengapa kita pergi ke bioskop: untuk memahami, untuk lebih dekat, untuk merindu, dan berharap atas karya-karya lainnya,” katanya.
Moonlight baru diputar di bioskop pada awal September, namun beragam pujian dari para kritikus dan penonton awam membuat film yang dibintangi oleh Trevante Rhodes ini sedang berada di jalur panas menuju Oscar 2017. Pihak yang bertanggung jawab atas ini semua adalah A24, sebuah studio film independen yang bermarkas di New York, jauh dari gemerlapnya industri film Hollywood di tepi barat pantai Los Angeles.
Tiga bulan sejak rilis resminya, IMDb mencatat hampir 60 ulasan atas pesona Moonlight yang muaranya sama: cita rasa unik yang dibawa A24. Sophia Coppola memahami hal ini. Anak dari sineas legendaris Francis Ford Coppola itu di tahun 2013 lalu memberikan kejutan ke publik dengan memilih A24 sebagai distributor film terbarunya, The Bling Ring. Pertimbangan Sophia tak meleset. The Bling Ring berhasil mengikuti kesuksesan film independen yang dirilis A24 sebelumnya, Spring Breakers (2012).
Gaya marketing A24 memang beda. Alih-alih membayar mahal untuk mengiklan di media massa atau yang lainnya (billboard, poster, dsb), A24 bergerilya di Facebook untuk mempopulerkan Spring Breakers. Postingannya yang unik disukai lebih dari 20.000 orang. Saat dirilis, film dengan biaya produksi sebesar $5 juta itu sudah menjadi semacam “kesadaran budaya” di internet.
Twitter membincangkannya sejak beberapa minggu sebelumnya, dan jumlah likers di Facebook naik dari 600.000 menjadi 1,1 juta. Bandingkan dengan pemenang Oscar yang diproduksi Fox Searchlight, Birdman, yang hanya mendapat 289.000 like. Hingga akhir pemutarannya di 1.379 bioskop di seluruh AS, A24 mengantongi laba kotor sebanyak $14,12 juta. Spring Breakers masuk di urutan kelima film paling laris yang diproduksi dan didistribusikan oleh A24.
Meski tak mendapat keuntungan sebanyak Spirng Breakers, sebagai film independen The Bling Ring tetap mendapat laba kotor yang cukup besar, yaitu sebesar $5,84 juta. Kesuksesan dua film itu hanyalah jalan pembuka dari era keemasan A24 yang diraih pada dua tahun setelahnya, yakni di tahun 2015 dan 2016. Para pengamat bersepakat, di tahun-tahun mendatang A24 juga masih membawa jalan terang bagi industri film independen AS dan diprediksi akan mengispirasi lebih banyak sineas independen lain di negara-negara lain.
Marketing Istimewa
A24 baru dibentuk pada tahun 2012 atau 4 tahun lalu. Jika dibandingkan dengan studio film lain yang sudah mapan seperti Warner Bross atau Universal Pictures, A24 bukan lah apa-apa. Namun, visi yang berbeda menjadikan A24 mampu meraih pangsa pasar yang kokoh dalam kurun waktu yang singkat.
Dibanding rumah produksi lain, A24 mampu membentuk ekosistem penggemar yang loyal, dan sebagian bahkan membentuk kultus tersendiri. Untuk Spring Breakers misal. Meski ratingnya biasa-biasa saja, komunitas fans yang mengkultuskan film dengan aktor utama James Franco itu tersebar di banyak tempat. Demikian juga untuk Enemy (2013). Film yang dibintangi aktor tampan Jake Gyllenhaal itu menjaring banyak penggemar setia yang masih memperdebatkan makna ceritanya hingga hari ini.
“Penonton selalu ada untuk film-film kami. Sementara itu kami mencoba menciptakan platform yang sebelumnya tak ada, dan kami memang memfokuskan diri untuk film-film berbiaya rendah atau menangah namun memiliki kualitas bagus, dan kami yakin akan laris jika membawanya ke tingkat nasional—bahkan internasional. Seleksi kualitas, itulah yang kami lakukan,” kata sang pendiri, David Fenkel, sebagaimana dikutip LA Times.
Sophia Coppola menyepakati apa yang diungkapkan Fenkel. Kepintaran marketing A24, menurutnya, terlihat dari bagaimana studio mampu meraih penonton dari usia muda sekaligus juga dari usia dewasa. Mereka menggapai kedua kubu: pecinta film berbasis seni sekaligus penggemar film awam pada umumnya. Mereka, lanjut Sophia, merekka juga paham betul bagaimana media sosial bekerja. Sebuah pendekatan yang “benar-benar cerdas”, ujar Sophia.
Pendek kata, A24 berhasil membuat penggemar setianya sebagai agen marketing itu sendiri. A24 tak serta-merta mengikuti gaya bisnis Hollywood. Jika Hoolywood memfokuskan diri dengan membuat seragkaian blockbuster yang dibintangi aktor dan aktris kelas wahid, A24 mengkompromikannya dengan gaya sinema art-house yang diadopsi dari Eropa. A24 sadar, bahwa jika ingin bersaing dengan raksasa industri AS itu, mereka harus memenangkan pertarungan dari segi kualitas sinema. Bukan sekedar promosi “wah” semata.
Pelajaran Berharga
Penulis dan konsultan naskah film John Bucher pada Oktober lalu pernah memaparkan opininya di laman LA Screenwriter, berisi tentang hal-hal positif dari studio A24 yang bisa dicontoh oleh rumah produksi lainnya. John sepakat bahwa satu hal yang membuat A24 besar adalah konsistensinya selama 4 tahun ini dalam menyajikan film dengan mutu di atas rata-rata.
“Saat para penonton melihat logo A24 di traler Youtube atau saat sudah duduk di ruangan bisokop, ada semacam perasaan bahwa mereka akan melihat sebuah film bagus. Film yang senilai dengan harga tiketnya. Kesetiaan macam itu kini jarang ditemui di AS,” kata John.
John terkesan dengan banyaknya metafora yang secara kuat terpantul dari lapisan-lapisan dalam narasi film karya studio A24. Poin utamanya adalah bagaimana mendongeng dengan baik. Sebab bagi A24, cerita yang baik akan menjadi tulang punggung film yang mampu menyentuh hati para penonton. Di film American Honey (2916) misal, karakter remaja perempuan AS ditampilkan jauh dari stereotip pada umumnya: ganjen dan tak punya identitas yang original. American Honey justru menampilkan karakter yang berlawanan dan mengandung “human interest” yang kuat.
Hubungan yang humanis, adalah hal positif lain yang dibawa A24, dan amat terlihat di film Ex Machina (2015). Film A24 terlaris yang menghasilkan keuntungan sebesar $25,42 juta itu dikenang dalam benak penonton pada uniknya hubungan antara tokoh Caleb dan Ava. Film yang menyajikan hubungan antara manusia dan robot Artificial Intelegence (AI) memang sudah banyak, namun bagi John tak ada yang bisa sebagus Caleb dan Ava.
A24 dalam pandangan John juga bisa menjadi unik sebab berani menawarkan dialog-dialog yang yang menarik dan universal. Cerita yang dibawa akhirnya bisa dimengerti oleh penonton awam sekalipun, dan ini penting dalam konsep marketing. Mereka juga tak ragu untuk menampilkan tokoh yang “jelek” dan “tak sempurna”. Sebab menurut John, dalam ketidaksempurnaan itulah film-film A24 bisa terasa realistis—tentu didukung dengan kualitas akting yang mumpuni dari aktor/aktris yang bersangkutan.
Terakhir, A24 memiliki dunia dan karakter-karakter aneh—namun entah mengapa tetap menawan, demikian tutur John. Ia mencontohkan betapa absurdnya cerita dan tokoh di film The Lobster (2016) dan Swiss Army Man (2016). Meski jauh dari normalitas, mengapa kedua film bisa tetap sukses di pasaran?
“Barangkali karena itulah kekhasan dari A24: bisa menciptakan dunia dengan jalan pikiran dan alur ceritanya sendiri. Ya, keduanya memang aneh. Namun keduanya juga berhasil mengeksplorasi nasib kemanusiaan kita kala sedang menjauhi segala perangkat digital dengan sangat baik. Sesuatu yang menjadi kegelisahan penonton hingga detik ini. Sebuah pendekatan yang jarang dilakukan oleh studio film lainnya,” pungkas John menutup tulisannya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti