tirto.id - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai kualitas penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada 2018 memburuk. Hal ini merupakan kesimpulan dari catatan KontraS yang dirilis pada Hari HAM sedunia 2018.
Selain kasus pelanggaran HAM banyak muncul di tahun ini, KontraS juga menilai tak ada perbaikan signifikan di upaya pemerintah dalam menuntaskan masalah penegakan hak asasi manusia.
“Selama satu tahun ini, diskursus HAM tidak coba dibangun di kalangan pejabat negara, baik dari program maupun pernyataan,” kata peneliti KontraS Rivanlee Ananadar di Jakarta kepada reporter Tirto, Senin (10/12/2018).
Menurut Rivanlee, KontraS memberikan lima catatan utama terhadap penegakan HAM di Indonesia pada 2018 di sektor sipil dan politik. Pertama, KontraS mengkritik Polri soal kasus pembunuhan ekstrayudisial pada 2018. Menurut Rivanlee, KontraS mencatat 182 pembunuhan ekstrayudisial dengan model tembak mati di tempat yang menewaskan 236 orang terjadi pada 2018.
Kedua, KontraS menilai ruang kebebasan sipil makin sempit sebab represi ke hak berekspresi didukung negara. KontraS mencatat ada 89 kasus represi terhadap hak berekspresi pada Januari-Oktober 2018.
Di kasus-kasus itu, ada 3 pola berulang: pembatasan hak berkumpul memakai restriksi aparat penegak hukum yang tak terukur; pembatasan hak berkumpul diarahkan ke kelompok sipil yang sedang menggunakan hak konstitusinya untuk menyeimbangkan diskursus negara; dan ketiadaan mekanisme akuntabilitas negara yang memberi keadilan pada korban pembatasan kebebasan berkumpul.
Ketiga, soal vonis mati dan akuntabilitas penegakan hukum. Di catatan KontraS, 21 kasus vonis mati terjadi di Indonesia pada 2018. Lembaga ini juga menuding praktik peradilan dan kinerja aparat hukum di beberapa kasus terpidana mati kasus narkoba masih buruk.
Keempat, KontraS menyoroti maraknya persekusi dan penyerangan ke kelompok minoritas pada 2018. Di catatan KontraS, kasus terparah ialah penyerangan dan perusakan rumah milik 23 warga penganut Ahmadiyah di Dese Gereneng, Sakra Timur, Lombok Timur, NTB.
Kelima, praktik penyiksaan dan gagalnya sistem koreksi negara juga disoroti KontraS. Lembaga ini menilai, di tahun 2018, kasus penyiksaan terus terjadi dengan pelaku polisi, TNI dan petugas Lapas.
Sementara di sektor ekonomi, sosial, dan budaya, KontraS menyoroti kriminalisasi pada pembela HAM dan aktivis lingkungan yang terus terjadi. KontraS mencatat, ada 29 kasus kriminalisasi terkait sektor sumber daya alam yang naik ke tahap pengadilan pada 2018. Kriminalisasi juga mulai mengarah pada para saksi ahli, seperti yang sempat dialami 2 akademikus IPB: Bambang Hero dan Basuki Wasis.
Selain itu, okupasi sebagai model kepemilikan sewenang-wenang juga marak terjadi. Menurut KontraS, pada 2018, ada 65 kasus okupasi lahan melibatkan Perusahaan Swasta, Pemerintah Daerah, TNI, Polri, BUMN dan Masyarakat Sipil.
Terakhir, KontraS mengkritik kinerja Kemenkopolhukam dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pembentukan Tim Gabungan Terpadu untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dinilai tidak memperhatikan mekanisme akuntabilitas dan prinsip keadilan bagi korban. KontraS pun menganggap pengawasan eksternal terhadap penyelesaian kasus HAM masa lalu oleh pemerintah masih lemah.
Rivanlee menambahkan, penanganan HAM semakin buruk karena sikap para politikus. Pemerintah pun dianggap membuat langkah mundur dalam upaya penegakan HAM dengan pengesahan UU Ormas.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom