tirto.id - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima para aktivis Aksi Kamisan di Istana Merdeka pada Kamis (31/5) memunculkan satu pertanyaan: seberapa serius pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Tanah Air?
Pertanyaan itu muncul soal iktikad Jokowi dalam membicarakan kasus-kasus HAM baru muncul di akhir-akhir periode pemerintahannya. Di luar kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, kasus-kasus terkini juga menunggu penyelesaian.
Salah satu kasus yang banyak menuai sorotan tapi hingga sekarang belum diselesaikan adalah penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan pada 11 April 2017. Kasus ini sempat menjadi sorotan para peserta aksi Kamisan. Pada April lalu para peserta aksi mendesak Jokowi membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel. Namun, desakan yang sudah digemakan jauh sebelumnya oleh para aktivis antikorupsi tak pernah digubris oleh Jokowi. Usaha Komnas HAM memberikan rasa keadilan terhadap Novel juga belum mencapai titik terang.
Padahal, bagi banyak orang kasus Novel bukan perkara kriminal biasa. Meski Novel tidak terbunuh, tapi apa yang dialaminya adalah pelanggaran serius. Apalagi sebelum penyiraman dengan air keras terjadi, penyidik senior KPK itu pernah berkali-kali mengalami intimidasi, mulai dari ancaman pembunuhan sampai aksi tabrak lari.
Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan (mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas dalam tragedi Semanggi I) mengakui tidak ada pembahasan tentang kasus Novel dalam pertemuan dengan Jokowi, Kamis pekan lalu.
Menurutnya tatap muka antara Jokowi dan para pejuang HAM itu lebih difokuskan pada kasus-kasus HAM yang dijanjikan dalam Nawacita seperti: kerusuhan Mei 1998, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
"Kalau (kasus) terkini memang tidak ada. Karena Pak Jokowi, kan, baru menerima berkas dari kami keluarga korban, dan baru menerima masukan," ujarnya kepada Tirto.
Direktur YLBHI Asfinawati mengatakan mandeknya penyelesaian kasus Novel mengindikasikan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM hanya dijadikan alat politik untuk kekuasaan. Padahal tak boleh ada tebang pilih dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
"Kasus Novel itu kasus pelanggaran HAM. Kalau ada pemisahan (penanganan kasus) itu namanya tidak paham HAM," ujarnya. Apalagi, kata Asfin, "Kalau tidak salah pasca pertemuan ada pernyataan Jaksa Agung soal sulitnya menyelesaikan kasus masa lalu."
Asfina mengatakan Presiden Jokowi seharusnya berani mengambil sikap tegas untuk menyelesaikan kasus Novel. Kekhawatiran pembentukan TGPF bakal melemahkan peran kepolisian seharusnya bukan menjadi alasan.
"Jadi harus dipisahkan psikologi dengan fakta. Sudah berapa lama kepolisian diberi waktu. Dan semua orang juga tahu, semakin lama bukti semakin hilang. Artinya semakin sulit mengungkap," tuturnya.
Pengabaian atas tuntutan membentuk TGPF menurut Asfina hanya akan menempatkan mantan Gubernur DKI Jakarta itu dalam posisi melakukan pembiaran. "Dalam konsep HAM ada yang namanya melakukan pelanggaran HAM karena melakukan pembiaran," tegasnya.
Hal serupa disampaikan kuasa hukum Novel lainnya Haris Azhar. Mantan Koordinator Kontras ini menganggap mandeknya kasus Novel justru disebabkan oleh dua hal: Pertama, penyidik tidak mengelola bukti dan saksi secara optimal. Kedua, ada aktor besar yang menurutnya tidak ingin kasus ini diungkap.
Menurut Haris, pertemuan Jokowi dengan para korban pelanggaran HAM yang aktif dalam aksi Kamisan sekadar lips service. "Lihat aja hasil pertemuannya. Cuma akan mempelajari, kan? Kok di tahun keempat baru mau mempelajari. Dari dulu terus janjinya dia gimana?"
Haris pesimistis, Jokowi akan menyelesaikan persoalan-persoalan HAM, termasuk kasus Novel Baswedan. Sebab, pelaku-pelaku pelanggaran HAM justru berada di sekeliling kekuasan. Menurut Haris, dalam persoalan kasus Novel, Jokowi hanya akan mengulangi kesalahan yang pernah terjadi pada kasus Munir: tidak bisa bisa mengungkapkan siapa pelaku sebenarnya.
Anggota komisi III DPR Asrul Sani menilai, kasus novel Baswedan cukup ditindaklanjuti dengan kerja sama antara KPK dan Kepolisian. Menurutnya, fungsi TGPF justru akan mubazir seperti yang terjadi pada kasus Munir. "Nanti kalau enggak selesai menyalahi presiden lagi. Makannya lebih baik dimaksimalkan dulu koordinasi kepolisian dengan KPK," tuturnya.
Menurutnya, pemantauan terhadap kinerja Polri sebaiknya dilakukan dengan mengoptimalkan peran Ombudsman dan Kompolnas. Sehingga pembentukan TGPF tidak diperlukan. "Jadi tidak semua yang diminta masyarakat pegiat HAM itu harus dipenuhi," ujar Asrul.
Bivitri Susanti, masyarakat sipil yang tergabung dalam tim pemantau kasus Novel Baswedan, mengatakan Presiden Jokowi yang belum mau mengambil keputusan untuk membentuk TGPF dalam kasus novel tentu ada pertimbangnnya. Alasannya, kata dia, Jokowi masih mempercayai kepolisian untuk mengusut dalang di balik penyerangan Novel Baswedan.
"Dan menurut Pak Jokowi Kapolri musti jalan terus dengan penyelidikannya. Jadi dia tidak mau mengambil alih dulu," ujar Bivitri. Hal itu, kata dia, diungkapkan Jokowi saat mengelar dialog permasalahan Hukum Indonesia di Istana, sehari sebelum bertemu dengan para aktivis Kamisan.
Yang datang dalam pertemuan itu, ujar Bivitri, "orang (praktisi/pengamat) hukum semua. Mulai dari Prof. Mahfud MD sampai Prof. Maria dari Universitas Gadjah Mada."
Salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan itu juga menyampaikan bahwa pihak Istana masih menunggu informasi perkembangan kasus tersebut dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Hal ini lah yang membuat, pembentukan TGPF belum pernah dibahas oleh Pemerintah.
"Dia (Presiden) sempat bilang: 'kalau semuanya saya ambil alih padahal masih dikerjain nanti semuanya dikerjain sama Istana, dong. Jadi saya nunggu kabar dari Pak Tito dulu,' begitu katanya," tutur Bivitri.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Muhammad Akbar Wijaya