Menuju konten utama

Nestapa Agustinus dan Mengapa Kasus Salah Tangkap Terus Terjadi?

Di atas kertas prosedur penyidikan polisi bagus tapi ketidaktelitian, ketidaktertiban, dan ketergesaan bikin daftar korban salah tangkap makin panjang.

Nestapa Agustinus dan Mengapa Kasus Salah Tangkap Terus Terjadi?
Kondisi Agustinus Anamesa (25), korban penembakan yang diduga dilakukan pihak Polres Sumba Barat. FOTO/Istimewa

tirto.id - Agustinus Anamesa adalah nama paling baru—tapi mungkin bukan yang terakhir—korban salah tangkap aparat. Dia dituduh mencuri motor dan hewan ternak oleh Polres Sumba Barat.

Petani berusia 25 tahun ini sekarang terkulai lemah di rumahnya. Ketika ditangkap, ia disiksa dan bahkan ditembak di kaki kanan. Lukanya membusuk. Tulang keringnya terlihat jelas.

Engki, demikian ia biasa disapa, tak mendapat ganti rugi dari pihak kepolisian, meski aparat yang menangkapnya disidang etik dan dinyatakan bersalah. Sementara keluarga tak ada uang untuk bisa mengobatinya dengan layak.

Dia tak sendiri. Banyak kasus serupa terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu.

Dari tahun 2013 sampai 2017, LBH Jakarta menangani 12 kasus salah tangkap dengan total korban sebanyak 26. Semuanya disiksa, dan hanya dua kasus yang korbannya mendapat ganti rugi karena menang di praperadilan.

Sementara LBH Mawar Saron menyebut sepanjang 2010 sampai 2017 mereka menangani 12 kasus salah tangkap. Semuanya dinyatakan bebas, namun tak ada yang mendapat ganti rugi. Terakhir, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut dalam kurun 2011 hingga 2017 mereka menangani 14 kasus salah tangkap dengan total korban sebanyak 48.

Mekanisme yang Buruk

Apa yang terjadi? Mengapa kasus salah tangkap terus berulang? Menurut Kepala Divisi Pembela HAM Kontras Arif Nurfikri, akar masalahnya ada pada ketidaktelitian dan ketidaktertiban administrasi, meski pada dasarnya di atas kertas prosedur penyidikan polisi sudah bagus.

"Asal main cepat saja," katanya saat dihubungi wartawan Tirto Selasa (23/10/2018) siang.

Arif mengambil contoh kasus yang menimpa Yasli pada 2013 lalu. Yasli ditangkap berdasarkan Daftar Pencarian Orang (DPO) yang disebar oleh kepolisian. Setelah dilepaskan, Yasli ditangkap kembali dengan alasan dan bukti yang sama.

"Ini menunjukkan bahwa ada mekanisme pengawasan administratif yang tidak jelas," tambahnya.

Apa yang dikatakan Arif juga terjadi pada kasus Aris, Bihin, dan Heriyanto yang ditangkap pada 7 April 2012 atas tuduhan pencurian kendaraan bermotor.

Aris dan Heri dibekuk di Tangerang tanpa surat perintah penangkapan. Pada hari yang sama, polisi menggeledah rumah kontrakan Aris dan Bihin tanpa surat perintah penggeledahan dari pengadilan. Bihin, saat itu berada di kontrakan, dibekuk dan dibawa ke Polda Metro Jaya.

Salah seorang pejabat teras kepolisian mengakui bahwa mereka memang pernah salah tangkap. Bekas Kabareskrim Mabes Polri yang kini menjabat Wakapolri Ari Dono pada awal Mei lalu mengatakan bahwa salah tangkap bisa terjadi karena banyak hal.

Beberapa yang mungkin terjadi adalah pelapor salah memberikan identitas terduga pelaku atau bukti yang didapat berbeda.

"Bisa saja salah tangkap terjadi karena salah orang, salah identitas, bukti yang didapat beda. Namanya pekerjaan ada saja yang keliru. Dibilang wajar, tidak. Tapi saya akui memang ada," ujar Ari Dono pada awal Mei 2018 di Jakarta.

Ari Dono mengaku tak punya data berapa kali sebetulnya kasus salah tangkap pernah terjadi.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menegaskan bahwa kasus serupa tak boleh terulang kembali. Oleh karenanya ia meminta Kapolri Tito Karnavian untuk segera menindak tegas dan memastikan bahwa seluruh jajarannya—hingga pada struktur terbawah—tetap profesional.

Beberapa hal yang harus dilakukan oleh Tito, kata Asfin, adalah melakukan pembinaan, memperbaiki pendidikan, hingga memproses pidana pelaku salah tangkap.

"Jika tidak, masyarakat akan makin kehilangan kepercayaan," kata Asfin.

Baca juga artikel terkait PENEMBAKAN atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino