Menuju konten utama

Polri Harus Ganti Rugi & Pidanakan Anggota yang Tembak Agustinus

5 anggota polisi yang diduga aniaya Agustinus sudah jalani sidang disiplin dan etik. Hasilnya, mereka dikenai sanksi teguran tertulis.

Kondisi Agustinus Anamesa (25), korban penembakan yang diduga dilakukan pihak Polres Sumba Barat. FOTO/Istimewa

tirto.id - Agustinus Anamesa alias Engki, warga Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi korban penyiksaan dan penembakan polisi. Pria 25 tahun itu ditangkap sembilan anggota Polres Sumba Barat, dalam komando Kanit Buser Polres Sumba Barat Brigadir Polisi Dekris Matta atas dugaan terlibat kasus pencurian motor.

Agustinus ditelanjangi, dipukuli, dan kaki kanannya ditembak peluru tajam, pada 28 Agustus 2018. Kini bagian kulit kaki Agustinus bengkak dan legam seperti terkena luka bakar. Sementara daging pada bagian betis terkoyak hingga tulang kakinya terlihat.

Berdasarkan hasil rekam medis dari RSUD Walkabubak, kaki kanan itu harus segera diamputasi. Namun karena keluarganya tidak memiliki biaya untuk berobat, Agustinus kini hanya bisa mengerang menahan sakit di rumahnya, dengan pengobatan yang mereka sebut sebagai "dukun".

Petrus Paila Lolu, pendamping hukum keluarga korban dari Yayasan Kajian dan Bantuan Hukum Sarnelli menjelaskan, pada 31 Agustus, orangtua Agustinus, Palawa Engge dipaksa menandatangani surat yang isinya: pernyataan pihak korban tidak akan meminta biaya perawatan sekaligus jaminan bahwa Agustinus tidak melarikan diri.

"Perkembangan terakhir, Agustinus kakinya harus diamputasi karena sudah membusuk. Nanti ini mau cek ke rumah sakit lagi," tegas Petrus saat dihubungi reporter Tirto, Senin (22/10/2018).

Kabid Humas Polda NTT Kombes Jules Abraham Abast menjelaskan, sejauh ini ada lima anggota polisi yang terlibat menyiksa dan menembak Agustinus. Mereka telah diproses dalam sidang disiplin dan etik internal kepolisian.

Hasilnya lima anggota polisi itu, termasuk Dekris Matta, hanya dikenai sanksi berupa teguran tertulis dari Polres Sumba Barat.

"Hukumannya teguran tertulis untuk lima-limanya. Sudah ada laporannya saya terima dari Kapolres," kata Jules kepada reporter Tirto, Minggu (21/10/2018).

Jules berdalih, penembakan itu terjadi karena Agustinus berusaha melarikan diri saat ditangkap. Penangkapan itu terjadi setelah Agustinus ditetapkan masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Agustinus dan kakaknya, Yonatan Engge, diduga terlibat pengeroyokan seorang bernama Malo Bulu.

Dalam hal ini, polisi tidak bisa menjelaskan secara penuh, Agustinus diburu atas dugaan pencurian atau pengeroyokan. Penyelesaian kasus Agustinus memang tidak jelas. Hingga hari ini, korban belum pernah dimintai keterangan oleh polisi. Pihak korban juga belum pernah menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) dari kepolisian.

Penyiksa Harus Ganti Rugi dan Dipidana

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menegaskan, tindakan petugas Polres Sumba Barat merupakan pelanggaran yang mengancam hak hidup orang. Menurut Beka, Polri harus mengusut tuntas hingga proses pidana pelaku penganiayaan dan penembakan itu.

"Enggak cukup menurut saya kalau hanya etik. Artinya ini kan bukan hanya pelanggaran etik saja tapi bagaimana kemudian kita melihat soal masa depan si Agustinus ini dan bagaimana keluarganya,” ujar Beka saat dihubungi reporter Tirto.

Beka berjanji segera mengunjungi Agustinus dan Polda NTT untuk mendorong proses pidana terhadap anggota Polres Sumba Barat. Dia sudah melihat foto kaki kanan Agustinus yang membusuk karena ditembak. Beka berujar tindakan polisi mengerikan dan di luar akal sehat.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/09/03/penembakan-agustinus--currentissue--rangga.jpg" width="860" alt="Infografik CI Penembakan Agustinus Anamesa" /

Sedangkan Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala menegaskan, beberapa anggota polisi tersebut melakukan kesalahan fatal terhadap Agustinus. Bila memang korban dan keluarga menghendaki, menurutnya para pelaku penyiksaan dan penembakan bisa dituntut melalui jalur pidana.

"Ya silakan diadukan saja. Jelas polisi salah," kata Adrianus saat dihubungi reporter Tirto.

Adrianus menilai pimpinan Polri perlu mengevaluasi jajarannya. Dia menambahkan, penyelesaian etik tidak serta-merta menyelesaikan laporan pidana yang ada. Apa pun sifat laporan pidananya, hukuman penjara atau ganti rugi, tentu tidak akan selesai hanya dengan hukuman etik saja.

"Ganti rugi dan etik tidak ada hubungan. Ganti rugi itu jalur pidana atau jalur kekeluargaan. Etik itu jalur kompetensi personil," tegasnya.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo menegaskan, terkait kasus Agustinus, Polri bekerja cukup lamban. Harusnya, kata Hasto, proses pidana bisa berjalan secara paralel tanpa harus menunggu masalah etik. Sebab korban dan kondisinya sudah jelas.

"Memang ini harusnya ada proses pidana. Bukan di Propam saja. Makanya ini sedang kami dorong," kata Hasto saat dihubungi reporter Tirto.

Sampai sekarang pihak kepolisian belum memberikan ganti rugi terhadap keluarga Agustinus. Hasto menilai dalam beberapa kasus yang lain, polisi kerap enggan memberikan ganti rugi atas dalih tak punya anggaran.

"Kepolisian ini saya lihat ada kecenderungan mereka malu karena kalau memberi ganti rugi kan mengakui kesalahan," tuturnya.

Mabes Polri Lepas Tangan

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menegaskan, penganiayaan terhadap Agustinus menunjukkan citra Polri yang brutal dan arogan. Setiap orang, kata Yati, memiliki hak untuk tidak disiksa yang tak dapat dikurangi.

"Jangankan terhadap orang yang belum terbukti bersalah, terhadap siapa pun yang terbukti bersalah, tidak boleh dilakukan tindakan penembakan secara sewenang-wenang dan penyiksaan seperti ini,” ujar Yati kepada reporter Tirto.

Yati berharap Mabes Polri dan Polda NTT segera melakukan investigasi dengan transparan dan independen.

"Jika Polri profesional, objektif, sudah seharusnya Mabes Polri dan atau Polda NTT mengaudit investigasi atas kasus ini. Propam harus bekerja. Jika terbukti terjadi pelanggaran prosedural dan pidana, proses internal dan pidana harus dilakukan," ujarnya.

Merespon desakan dari Kontras, Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan sejauh ini Mabes Polri belum berencana membentuk tim investigasi kasus Agustinus. Dia menilai kasus ini tak perlu melibatkan campur tangan Mabes Polri.

"Tim investigasi apa? Itu cukup Polda saja atau Polres," tegas Dedi saat dihubungi reporter Tirto.

Dia juga belum bisa memastikan, kapan Mabes Polri akan meminta Polres Sumba Barat atau Polda NTT membentuk tim investigasi. Sebab dia mengaku belum mengetahui perkembangan penyelidikan kasus Agustinus dari versi kepolisian.

"Ya nanti kalau sudah dapat update dulu dari Polda [NTT]," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PENEMBAKAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana