tirto.id - Nasib malang merundung Agustinus Anamesa alias Engki, warga Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pria 25 tahun itu menjadi korban penyiksaan dan penembakan anggota Polres Sumba Barat atas dugaan pencurian motor.
Agustinus ditangkap sembilan orang polisi pada Kamis malam, 28 Agustus 2018, saat tengah menyaksikan pameran di Waibapuk, Sumba Barat. Sejumlah polisi yang bergerak atas arahan Kanit Buser Polres Sumba Barat Brigpol Dekris Matta itu, menyeretnya ke kantor polisi.
Di sana ia ditelanjangi dan dipukuli berkali-kali hingga pingsan. Puncaknya adalah penembakan yang diarahkan ke kaki kanannya. Paman Agustinus, Oktavianus Naolan, menyebut timah panas yang dimuntahkan polisi bersarang tepat di bawah dengkul keponakannya.
Kini bagian kulit kaki Agustinus bengkak dan legam seperti terkena luka bakar. Sementara daging pada bagian betis terkoyak hingga tulang kakinya terlihat. Berdasarkan penjelasan rekam medis dari Rumah Sakit Karitas Weetebula, Sumba Barat, kaki kanan Agustinus harus segera diamputasi.
Hingga kini, Agustinus hanya bisa berdiam diri di rumahnya di Desa Dedepada, Wawea Timur, Sumba Barat Daya. Ia tak kunjung dibawa ke rumah sakit karena keluarganya tak memiliki cukup biaya.
Tak ada kompensasi sama sekali dari pihak kepolisian, dari Polres Sumba Barat maupun Polda Nusa Tenggara Timur. Saat Agustinus terkulai di bangsal rumah sakit, Oktavianus menyampaikan keadaannya kepada Tirto, "Kapolda hanya datang untuk tanya-tanya, wawancara. Sudah itu dorang tidak ada lagi."
Keluarga Agustinus geram. Padahal adanya sidang etik kepolisian terhadap anggota polisi menunjukkan bahwa Agustinus tak bersalah atau setidaknya terjadi kesalahan prosedur yang menyebabkan luka parah di kaki Agustinus.
Menurut Oktavianus, sejak awal kasus yang dituduhkan kepada keponakannya itu tidak jelas. Pihak kepolisian pernah menyatakan kepada keluarganya bahwa anak tersebut diduga terlibat pencurian motor dan pencurian hewan ternak.
Namun, di hadapan media, Kapolres Sumba Barat justru menyampaikan kasus yang menyeret Agustinus adalah dugaan perkelahian. Kasus tersebut sebelumnya dituduhkan kepada Yonatan Engge, kakak kandung Agustinus.
"Kakaknya tidak memungkiri hal itu dan saat persidangan dia mengakui hal itu. Masalah hukum ini dorang tetap vonis kakaknya. Bukan adiknya. Kakaknya sudah divonis penjara 3 tahun, setelah itu adiknya disiksa," terangnya.
Sidang Etik Tertutup
Sidang etik yang disebut Oktavianus merupakan tidak lanjut dari laporan pengacara Agustinus, Petrus Loli, pada 3 September 2018. Laporan itu baru dibalas dengan surat panggilan Agustinus untuk dimintai keterangan sebagai saksi, pada 9 Oktober, pekan lalu.
Dalam surat bernomor SPG/180/X/HUK.12.10/2018/Provost itu tertulis bahwa Polres Sumba akan menggelar sidang atas pelanggaran disiplin dan atau etik sejumlah anggota kepolisian. Maka, dua hari setelahnya Petrus berangkat ke Polres Sumba Barat pukul 09.00, seperti tertera dalam surat.
Petrus berangkat mewakili Agustinus, karena Agustinus yang bekerja sehari-hari sebagai petani itu tidak dapat memenuhi panggilan karena luka parah di kakinya. Tapi, ternyata sidang berlangsung tertutup.
"Sidang baru mulai sekitar jam dua siang. Padahal saya datang dari pukul 09.00 [WITA]. itu ternyata tertutup (sidangnya)," kata Petrus kepada Tirto, Sabtu (20/10/2018).
Berdasarkan keterangan yang ia dapatkan dari kepolisian, baru satu anggota polisi yang disidang pada hari itu, yakni Brigpol Dekris Mata.
Parahnya lagi, polisi tidak mendengar sedikit pun kesaksian Agustinus. "Seharusnya mereka jemput supaya hadir, agar keterangannya jadi pertimbangan dalam sidang," ujar Petrus.
Saat dikonfirmasi, Kasi Propam Polres Sumba Barat Aiptu I Gusti Ngurah Agung Eka membenarkan sidang etik itu telah berlangsung pada 10 Oktober lalu. Namun, ia enggan menjawab berapa anggota yang telah diperiksa, termasuk mengapa Agustinus tidak dihadirkan.
"Nanti bisa konfirmasi langsung ke Bapak Kapolres. Langsung ke Kapolres saja. Yang jelas sudah disidang. Saya enggak berwenang," katanya, singkat.
Sementara itu Kapolres Sumba Barat AKBP Michael Irwan Thamsil hingga kini belum bisa dihubungi. Kabid Humas Polda NTT Kombes Pol Jules Abraham Abast belum bisa mengonfirmasi soal hasil sidang etik tersebut. Ia mengatakan, hingga saat ini belum ada laporan langsung dari Polres Sumba Barat ke Polda NTT. Menurut Jules, mendapatkan informasi langsung dari Polres Sumba Barat tidak mudah.
"Makannya saya bilang saya minta waktu karena ini enggak seperti di Jakarta. Ini kan di Polres Sumba Barat. Polres Sumba Barat itu dengan Kupang jauh. pesawatnya beda, pulaunya beda, jadi saya minta waktu untuk cek dulu untuk lebih jelasnya," kata Julas saat dihubungi Tirto.
Namun, sejauh ini Jules hanya mendapat kabar yang bias, "dengar-dengar memang kasus itu sudah disidangkan. Dan yang sudah diputus dengan hukuman."
Jules juga belum bisa memastikan soal kompensasi yang dituntut keluarga Agustinus atas luka parah di kaki Agustinus. "Kami belum tahu. Kita lihat dulu. Apakah itu diamputasi atau enggak, saya lihat dulu," imbuhnya.
Kekerasan Anggota Polisi
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara meminta kepolisian segara menyelesaikan peristiwa penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian Sumba Barat. Ia juga mengecam proses sidang etik yang tertutup yang digelar Polres Sumba Barat.
"Transparansi dari Kepolisian Republik Indonesia sehingga keadilan bagi korban bisa segera diperoleh. Pelaku dihukum dan korban harus mendapat kompensasi dan pemulihan yang layak," ujar Beka kepada Tirto.
Peristiwa yang dialami Agustinus, kata Beka, bukan hanya melanggar prinsip anti penyiksaan sebagaimana termaktub dalam Konvensi Anti Penyiksaan PBB. Namun, menambah daftar panjang kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Dalam catatan Komnas HAM, kepolisian merupakan pihak yang paling banyak diadukan selama tiga tahun terakhir. Meski kecenderungan aduannya menurun, "peristiwa ini menunjukkan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh polisi masih banyak."
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menegaskan kasus Agustinus ini kembali menunjukkan tindakan brutal dan arogansi anggota polisi. Menurut Yati, jangankan terhadap orang yang belum terbukti bersalah, terhadap siapapun yang terbukti bersalah, tidak boleh dilakukan tindakan penembakan secara sewenang-wenang dan penyiksaan.
"Hak untuk tidak disiksa adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun," kata Yati kepada Tirto.
Yati berujar Mabes Polri dan Polda NTT tidak boleh terburu-buru bersikap defensif terhadap kasus penyiksaan dan penembakan ini. Kontras mendesak agar Kompolnas segera bertindak secara langsung. Selain itu, Komnas HAM harus segera memberikan perlindungan bagi korban dan mendorong Polri mengambil sikap tegas atas kasus ini sekaligus memastikan hak korban terpenuhi.
"Jika Polri profesional, objektif, maka sudah seharusnya Mabes Polri dan atau Polda NTT melakukan audit investigasi atas kasus ini. Propam harus bekerja. Jika terbukti terjadi pelanggaran prosedural dan pidana, maka proses internal dan pidana harus dilakukan," ujarnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana