tirto.id - Derita kembali menimpa jemaat Ahmadiyah di Lombok. Kali ini terjadi penyerangan dan perusakan rumah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kec. Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Penyerangan dilakukan sebanyak tiga kali: Sabtu siang dan malam (19/5/2018), serta Minggu pagi (20/5/2018).
Berdasarkan keterangan yang didapat Tirto dari Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana, penyerangan dan perusakan pertama terjadi pada Sabtu siang sekitar pukul 11.00 WITA oleh sekelompok massa dari daerah yang sama. Enam rumah mengalami perusakan dan 24 orang dari tujuh kepala keluarga diusir dari tempat tinggalnya. Selain itu, empat buah sepeda motor dan peralatan rumah tangga hancur.
Tiga jam setelah kejadian, 24 orang yang menjadi korban dievakuasi oleh polisi ke Kantor Polres Lombok Timur. Hingga artikel ini ditulis (Minggu malam), mereka masih menginap di sana.
Meski telah mendapatkan penjagaan dari kepolisian, menurut Yendra, penyerangan dan perusakan kedua tetap terjadi pada pukul 21.00 WITA di hari dan lokasi yang sama. Akibatnya satu rumah kembali hancur. Bahkan, penyerangan ketiga kembali terjadi pada Minggu pagi sekitar pukul 06.30 WITA yang mengakibatkan 1 rumah hancur.
Yendra menyebut tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu, baik luka-luka maupun meninggal dunia. Ia mensinyalir karena para penyerang memang hanya mengincar bangunan rumah.
“Kelompok massa berasal dari daerah yang sama, [mereka] melakukan penyerangan dan perusakan karena sikap kebencian dan intoleransi pada paham keagamaan yang berbeda,” kata Yendra kepada Tirto, Minggu (20/5/2018).
Menurut Yendra, kejadian ini sebetulnya sudah terindikasi pada Maret 2018 dan dipertegas dengan perusakan dan penyerangan di desa lainnya pada 9 Mei 2018. Motif dan kejadiannya pun sama, yakni berdasarkan intoleransi pada ajaran Ahmadiyah yang berujung pada pengusiran dan pemaksaan agar keluar dari JAI.
Kejadian itu, kaya Yendra, sudah dilaporkan kepada aparat dan telah ditindaklanjuti dengan upaya rekonsiliasi yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan kepolisian setempat. Namun, penyerangan lanjutan justru tetap terjadi.
Mengenai hal ini, Kapolres Kabupaten Lombok Timur AKBP Eka Fathur Rahman menyatakan kepolisian telah berusaha melakukan pencegahan sejak perusakan dan penyerangan pada 9 Mei lalu. Namun, menurutnya, upaya tersebut belum rampung dan sudah terjadi penyerangan beruntun sejak Sabtu hingga Minggu.
“Kami sekarang masih rapat dengan pemerintah daerah untuk penyerangan ini. Ini, kan, Ahmadiyah bukan sepenuhnya kewenangan polisi. Ini ada pemda dan stakeholder untuk melindungi paham minoritas,” kata Eka kepada Tirto.
Sayangnya, saat ditanya perihal kronologi kejadian, termasuk penyerangan kedua dan ketiga yang terjadi di hadapan aparat keamanan, Eka belum mau menjawab. Ia menyatakan akan mengirimkan kronologis setelah rapat dengan pemda dan stakeholder lainnya rampung.
“Nanti, Bro. Sekalian lengkap kami kirim press release-nya.Yang penting kami fokus menjaga keamanan masyarakat agar tidak ada korban dan upaya rehabilitasi ke depan, urusan perusakan belakangan lah,” kata Eka.
Minggu sore, kata Eka, pihaknya dengan Satpol PP dan TNI akan melakukan pembersihan terhadap puing-puing yang berserakan di tempat bekas penyerangan.
Kemunduran Rekonsiliasi
Direktur Said Aqil Siraj Institute sekaligus mantan komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat menilai kejadian saat ini cukup mengagetkan. Sebab, menurutnya, selama ini Komnas HAM, Pemprov NTB, Komnas Perempuan, dan Wantimpres telah melakukan upaya rekonsiliasi terhadap jemaat Ahmadiyah yang menjadi korban penyerangan di masa lalu. Termasuk memulihkan hak-hak warga negara mereka, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan jaminan sosial.
“Kami sangat prihatin dengan kejadian ini. Ini adalah sebuah bentuk kemunduran dari proses rekonsiliasi yang sudah terbangun selama ini,” kata Imdad kepada Tirto.
Imdad meminta Pemda Lombok Timur, kepolisian dan Pemprov NTB agar berkoordinasi dengan Komnas HAM dalam mengusut kasus ini serta mengembalikan iklim damai di NTB yang selama ini sudah sempat terjalin. Terutama sesuai dengan keputusan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang telah disepakati bersama antara pihak JAI dan pemerintah.
Menurut Imdad, dalam SKB tersebut terdapat tiga poin pokok yang telah disepakati. Pertama, memberikan jaminan perlindungan kepada warga Ahmadiyah untuk menjalankan agamanya. Kedua, untuk tidak diganggu dan tidak melakukan kekerasan. Dan bagi siapa saja yang melakukan kekerasan akan ditindak oleh pemerintah dan aparat kepolisian. Ketiga, para jemaat Ahmadiyah tidak boleh menyebarkan ajarannya keluar.
Perkara terakhir, menurut Imdad, memang belum sempurna karena masih mengeksklusi Ahmadiyah. Namun, menurutnya, hal itu masih menjadi solusi terbaik sampai saat ini di tengah masyarakat yang masih rentan dan belum sadar toleransi sepenuhnya.
“Dan itu sudah diterima teman-teman Ahmadiyah. Mereka tidak menyebarkan keluar. Maka, tidak ada alasan mereka dapat kekerasan seperti itu,” kata Imdad.
Dalam konteks ini, kata Imdad, peran Kementerian Agama sangat diperlukan dalam upaya rekonsiliasi. Menurutnya, Kementerian Agama harus lebih rajin melakukan penyuluhan terhadap para pemuka agama lokal agar tidak menghadapi perbedaan lewat jalur kekerasan.
Sementara Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan pihaknya mengutuk keras terhadap kejadian ini. Sebab, menurutnya, ini bukan kali pertama terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya di Lombok.
“Yang jelas kami mengutuk keras penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur. Karena ini bukan yang pertama dan jelas menyerang HAM,” kata Beka kepada Tirto.
Jemaat Ahmadiyah di Lombok memang bukan kali ini saja mendapat penyerangan. Pada 3 Agustus 2013, BBC menulis bahwa penyerangan kali pertama terjadi pada 1999. Saat itu jemaat Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat, diserang oleh sekelompok orang yang menginginkan mereka keluar dari keyakinannya. Akibatnya, satu orang meninggal dunia, sebuah masjid Ahmadiyah dibakar, dan semua jemaat Ahmadiyah di sana diusir.
Kemudian, pada 2001 giliran jemaat Ahmadiyah Pancor, Lombok Timur, yang menjadi korban penyerangan. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini, tapi seperti di Bayan, mereka semua diusir dari tempat tingalnya.
Para jemaat Ahmadiyah yang terusir tersebut kemudian terus berpindah-pindah mencari tempat tinggal. Mereka sempat membeli tanah di daerah Ketapang, tapi pada 2006 rumah mereka kembali dirusak oleh sekelompok massa. Mereka terusir kembali.
Mereka pada akhirnya ditampung oleh Pemerintah Provinsi NTB di Wisma Transito milik Pemprov, di Mataram, Lombok Barat. Pada 2010, Pemda Lombok Barat juga telah berencana merelokasi jemaat Ahmadiyah ke tempat yang lebih layak ke salah satu pulau, di Kecamatan Sekotong, dan telah menyediakan anggaran sebesar Rp710 juta. Namun, sampai saat ini hal itu belum terealisasi.
Beka menyatakan, serentetan kejadian tersebut menunjukkan telah terjadi perampasan terhadap tiga hak jemaat Ahmadiyah. Pertama, hak kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Kedua, hak atas rasa aman. Ketiga, hak bebas dari rasa takut.
“Untuk kejadian yang kali ini, kami sudah berkoordinasi dengan kawan-kawan yang mengadvokasi di sana dan meminta mereka untuk membuat pengaduan ke Komnas HAM besok [Senin]” kata Beka.
Setelah pengaduan diterima, kata Beka, pihaknya akan langsung melakukan penyelidikan terhadap fakta-fakta yang terjadi di lapangan dengan meminta keterangan korban, kepolisian dan Pemda Lombok Timur. Terutama terkait dugaan kelalaian kepolisian sehingga penyerangan kedua dan ketiga bisa terjadi setelah terdapat penjagaan.
“Kami akan meminta kepolisian dan pemda untuk mematuhi peraturan-peraturan yang sudah ada. Agar tidak mendiskriminasi laporan dari kawan-kawan Ahmadiyah. Karena mereka tetap WNI yang punya hak konstitusional seperti warga lainnya,” kata Beka.
Pemprov NTB Siap Usut Tuntas
Menanggapi desakan-desakan itu, Gubernur NTB, TGB Zainul Majdi menyatakan pihaknya akan mengusut tuntas penyerangan dan perusakan yang menimpa jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur. Sebab, menurutnya, hal ini bukan saja merusak perdamaian yang selama ini telah berusaha diwujudkan pemerintah, tapi juga melanggar hukum.
“Mereka, kan, sebetulnya selama ini sudah hidup damai, lalu kok tiba-tiba terprovokasi seperti itu, kan, pasti ada pemicunya. Kalau dilihat, pemicu sementara masih sangat sepele. Saya masih meragukan. Makanya saya minta untuk dicek oleh Bina Daerah di sini dan teman-teman kepolisian,” kata TGB kepada Tirto, pada Minggu.
TGB mengaku baru mendapat laporan kejadian tersebut disebabkan olok-olok di antara anak jemaat Ahmadiyah dan warga sekitar akibat perbedaan paham. Ia juga belum mendapat laporan terkait kelalaian kepolisian dan faktor lain yang jadi penyebab kejadian ini.
“Nanti saya coba cek. Karena saya tidak dapat laporan seperti itu [kelalaian kepolisian]. Jadi saya dalami. Intinya dari Pemprov dan Plt Bupati Lombok Timur saya tugaskan khusus yang pertama menyelamatkan jiwa, rehabilitasi fasilitas, dan ketiga mediasi,” kata TGB.
Seperti juga Imdad, TGB mengaku cukup kaget dengan kejadian ini. Pasalnya, saat ini tahap settlement terhadap jemaat Ahmadiyah yang jadi korban di masa lalu sudah pada tahap akhir. Menurut TGB, selama dirinya memimpin semua jemaat Ahmadiyah telah mendapat KTP dan sebagian besar telah dapat mengakses program bantuan pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan (PKH).
Bahkan TGB mengklaim Pemprov NTB bekerja sama dengan Kementerian PU dan Kantor Staf Kepresidenan (KSP) sudah mulai tahap pembangunan Rumah Susun (Rusun) untuk para jemaat Ahmadiyah yang saat ini menjadi pengungsi di Transito. Rencananya dalam waktu dekat mereka sudah dapat pindah ke sana.
TGB mengaku terkejut karena insiden terjadi bukan di wilayah yang selama ini kerap melahirkan konflik. Menurutnya selama ini di daerah tersebut belum pernah ada laporan tindak kekerasan atau indikasi yang mengarah ke sana.
“Jadi sekali lagi, kami akan melakukan pengecekan. Untuk saat ini sudah langsung ditangani dan mereka segera direhabilitasi, dan saya sudah meminta kepada dinas perumahan untuk membangun lagi rumah-rumah yang rusak,” kata TGB.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz