tirto.id - “Anak saya pendarahan otak. Pas diurusin e-KTP dan BPJS, anak saya sudah tidak tertolong,” ujar Yanto Herdianto.
Yanto ialah salah seorang Ahmadi—sebutan bagi pengikut Ahmadiyah—yang tinggal di Manislor, Kuningan, Jawa Barat. Ia tidak bisa menikah di sana sebab Kantor Urusan Agama setempat menolak melayani pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menikah.
Lantaran diskriminasi dalam hal administrasi tersebut, Yanto mengajak calon istrinya ke Jakarta untuk mengubah tempat domisili. Setelah mendapat KTP Jakarta, keduanya menikah di Jakarta.
Yanto mengistilahkannya "numpang nikah" di Jakarta. Usai menikah, pasangan ini kembali ke Manislor.
Beberapa bulan lalu, anaknya yang berumur 3 bulan sakit dan membutuhkan pertolongan cepat. Biar mendapatkan layanan dan fasilitas kesehatan yang memadai, Yanto mengurus BPJS. Mau tak mau ia harus pindah domisili lebih dulu dari Jakarta ke Kuningan.
“Ternyata data saya tidak ada di Disdukcapil Kuningan. Saya cek, data saya juga tidak ada di Disdukcapil Jakarta,” ucapnya kepada reporter Tirto di Jakarta, Senin kemarin (19/6).
Setelah sekitar 6 jam mengurus e-KTP, keluarganya memberi kabar bahwa anaknya meninggal.
“Akta anak saya juga keluar setelah anak enggak ada...,” tuturnya.
Dessy Aries Sandy Pratiwi, muslimah Ahmadiyah dari Manislor, menegaskan bahwa negara sudah jauh hari melucuti hak konstitusional jemaah Ahmadiyah. Apa yang dialami Yanto adalah imbas dari diskriminasi para pejabat setempat menolak melayani warga Ahmadiyah mengurus e-KTP.
Sejauh ini ada sekitar 1.400 anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Manislor yang belum mendapat e-KTP.
“Itu dari tahun 2012 sampai sekarang,” katanya, Senin kemarin.
Pada 2014, ujar Dessy, e-KTP warga muslim Ahmadiyah Manislor sebenarnya rampung dicetak. Namun, setiap ada Ahmadi yang akan mengambilnya, pejabat lokal memintanya harus menandatangani surat pernyataan bermaterai.
Ia menunjukkan formulir kosong surat tersebut. Isinya nama, tempat dan tanggal lahir, Nomor Induk Kependudukan, agama, jenis kelamin, pekerjaan, dan alamat.
Di bawah kolom rincian informasi pribadi tersebut, terdapat tulisan:
“Saya anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), menyatakan diri penganut agama Islam, sebagai buktinya saya bersedia untuk membaca dua kalimat syahadat di hadapan petugas dan dua saksi dengan sungguh-sungguh.”
Tulisan macam itu beserta kalimat syahadat berbahasa Arab dan Indonesia. Lalu ada tanda tangan petugas, saksi I, dan saksi II.
“Di surat itu ada poin, setelah bikin surat pernyataan itu, kami akan dibina (permohonan mendapat bimbingan). Itu yang membuat kami keberatan untuk melakukan pernyataan itu,” tutur Dessy.
“Mengapa hanya terjadi pada warga Ahmadiyah saja?”
“Permasalahan akidah dan kepercayaan bagi kami adalah masalah hati nurani.”
Pada 2015, Bupati Kuningan Utje Choeriah Hamid Suganda merilis tiga kali surat larangan terhadap kegiatan keagamaan Ahmadiyah, yakni pada bulan Januari, Maret, dan November.
Pada 30 Maret 2015, Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Kuningan mengeluarkan surat kepada Bupati Kuningan yang melarang muslim JAI mencantumkan 'Islam' di kolom agama di KTP. MUI menyarankan agar diberi tanda strip (-) saja.
MUI Kuningan meminta agar bupati Kuningan mendata ulang kependudukan warga Desa Manislor. Surat ini ditandatangani Ketua Umum MUI Kuningan Abdul Aziz Ambar Nawawi dan Sekretaris Umum Muhamad Nurdin.
Utje meninggal pada April 2016. Jabatannya digantikan oleh wakilnya Acep Purnama.
“Sekarang, kan, pergantian bupati karena sudah almarhum, tapi surat itu belum dicabut,” ujarnya.
Dessy mengalami ditolak oleh sebuah bank di Kuningan saat hendak membuka buku tabungan karena ia tak memiliki KTP.
Selain diskriminasi administratif, muslim Ahmadiyah di Indonesia mengalami pengusiran dari kampung halaman mereka seperti terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang kini mengungsi di sebuah tempat penampungan selama 10 tahun terakhir. Selain itu kasus penyegelan masjid seperti di Depok, yang sudah ketujuh kali selama enam tahun terakhir.
“Saat kami lagi tarawih, ada mobil Avanza datang. Di mobil, mereka seperti mau foto pakai smartphone. Ada mengaku dari Komnas HAM, namanya Agus Susanto. Ada yang mengaku salah alamat,” ujar Farid Mahfud, mubalig Masjid Al HIdayah di Depok tersebut.
Kasus mencolok adalah pembunuhan terhadap tiga Ahmadi di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011. Para pelaku hanya divonis 3-6 bulan penjara. Sesudah peristiwa mematikan ini, alih-alih pemerintah pusat mencabut aturan anti-Ahmadiyah (termasuk SKB 3 menteri 2008), para kepala daerah bergiliran merilis larangan terhadap kegiatan Ahmadiyah.
Pesimis Berharap kepada Jokowi
Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute menegaskan, susah berharap agar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tegas melindungi muslim Ahmadiyah.
Ia mencontohkan masalah Masjid Al Hidayah yang didirikan JAI di Depok yang disegel Wali Kota Depok Mohamad Idris. Pemerintahan Jokowi tak mampu menangkal intoleransi di tingkatan daerah. Bahkan menurutnya, Kementerian Agama pun tak memiliki taring.
“Pemerintah pusat sama sekali tidak bisa menyelesaikan masalah. Kalau kita bilang masalah agama urusan pemerintah pusat, dari dulu itu sudah dilecehkan,” ujar Naipospos di Jakarta, Senin kemarin.
Naipospos menilai, gelombang persekusi atau pengganyangan terhadap Ahmadiyah sejak 2002 ketika Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, yang mempropagandakan anti-Ahmadiyah, melakukan diskusi di Masjid Istiqlal.
“Sejak itu terjadi tekanan, sifatnya ceramah-ceramah yang menganjurkan kebencian, ceramah yang mendiskreditkan Ahmadiyah,” tuturnya, menambahkan bahwa mayoritas diskriminasi terhadap muslim Ahmadiyah terpusat di Jawa Barat.
“Kenapa di Jawa Barat?" ujar Naipospos, "karena bertalian erat dengan kelompok-kelompok intoleran dan radikal."
Peneliti Dhea Dahlia dari Komnas Perempuan menegaskan bahwa Jawa Barat menjadi pusat diskriminasi anti-Ahmadiyah karena ada 13 kebijakan daerah yang melegalkan pengganyangan terhadap muslim Ahmadiyah.
Dahlia menjelaskan, dari penelitian Komnas Perempuan selama 15 tahun, ada 9 dampak diskriminasi terhadap muslimah Ahmadiyah.
Pertama, Perempuan Ahmadiyah mendapat intimidasi verbal. Kedua, seperti kasus di Lombok, perempuan Ahmadiyah mengalami penurunan status kesehatan seksual saat hamil. Mereka dipaksa tinggal di Wisma Transito tanpa fasilitas kesehatan yang memadai.
“Kekerasan seksual juga kami temukan di NTB, diancam untuk diperkosa. Bahkan payudaranya diancam mau ditusuk,” kata Dahlia.
Anak perempuan menerima diskriminasi terutama di sekolah tempat perundungan dari teman maupun guru terlontar terhadap anak-anak Ahmadi. Selain itu, perempuan yang sudah menikah digugat status perkawinannya.
“Perkawinannya dianggap tidak sah. Sebab Ahmadiyah dianggap bukan Islam sehingga diceraikan,” ujarnya.
Aminudin Syarif dari Setara Institute, dalam riset terbaru,"Protection of Ahmadiyya in Indonesia; Policy tools to reduce radicalization against Ahmadiyya," mengungkapkan bahwa 58,75 persen keluarga muslim Ahmadiyah telah mengalami diskriminasi dalam 5 tahun terakhir.
Penelitian bekerjasama Fahmina Institute dan Farsight tersebut digelar pada Mei 2016 hingga Maret 2017. Ada 400 responden, masing-masing mewakili kepala keluarga muslim Ahmadiyah dari Tasikmalaya, Depok, Sukabumi, Kuningan, dan Bogor.
Mayoritas diskriminasi dari riset itu terkait pendaftaran pernikahan ke KUA dan diskriminasi saat mengurus layanan kependudukan.
Selain itu, ada 35 persen responden mengatakan mengalami kekerasan dalam 5 tahun terakhir. Kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kebencian yang diungkapkan secara lisan.
Terlepas dari pengalaman ini, komunitas Ahmadiyah hidup berdampingan bersama tetangga dan lingkungan sekitar. Tingkat interaksi antara Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah juga tinggi. Yang lebih penting, mereka merasa diterima dalam interaksi sosial.
Di sisi lain, dalam kebanyakan kasus, pelaku yang telah menyerang anggota Ahmadiyah atau tempat ibadah berasal dari luar desa.
Sebagian besar muslim Ahmadiyah menganggap Front Pembela Islam (FPI) sebagai kelompok utama yang mempromosikan intoleransi, disusul MUI.
"Di beberapa desa di Sukabumi, mereka (muslim Ahmadiyah) memiliki tantangan dengan surat nikah atau lisensi penguburan," tulis Aminudin dalam laporan risetnya.
Muslim Ahmadiyah di satu desa di Tasikmalaya, misalnya, dilarang menikah secara resmi melalui KUA. Mereka diperbolehkan menikah dengan pengecualian: melafalkan kalimat syahadat.
"Hal semacam itu menunjukkan pejabat pemerintah melakukan praktik diskriminasi terhadap anggota masyarakat Ahmadiyah. Mereka menolak hak penuh anggota jemaah Ahmadiyah menerima layanan publik," lanjut Aminudin.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana