tirto.id - Dalam temuan KontraS, terdapat 60 kasus persekusi yang telah terjadi di Indonesia sejak Oktober 2016-Juni 2017 dengan kasus paling banyak terjadi di Jakarta dan Jawa Barat.
"Daerah paling banyak itu adalah Jawa Barat dan DKI Jakarta, apalagi setelah disusul aksi bela Islam," kata staf Divisi Advokasi Pembelaan HAM KontraS Rivanlee Anandar saat berbincang dengan Tirto di kantor KontraS, Senen, Jakarta, Kamis (15/6/2017).
Dalam 3 tahun terakhir, perkara persekusi pun meningkat cukup tajam. Diduga, penanganan perkara persekusi yang setengah-setengah juga menjadi pemicu persekusi tidak selesai dengan baik.
Dalam riset KontraS, perkara berujar dan berpendapat sejak Oktober 2016 hingga Juni 2017 mengalami naik turun. Tiga tren terbesar persekusi selama Oktober 2016-Juni 2017 berupa pelarangan (24 kasus), intimidasi (21 kasus), dan pembubaran paksa (19 kasus).
Korban persekusi dari Oktober 2016-Juni 2017 mayoritas dialami oleh kelompok. Mereka menemukan ada 30 peristiwa dialami oleh kelompok, 13 peristiwa dialami individu, 20 peristiwa dialami oleh jemaah, dan 14 korban peristiwa oleh komunitas.
Sementara itu, pelaku persekusi diduga dilakukan oleh ormas sebanyak 40 peristiwa, warga 26 peristiwa, polisi 11 peristiwa, dan pemerintah 9 peristiwa.
Rivan mengaku, korban persekusi yang muncul selama periode tersebut mayoritas akibat perbedaan pandangan politik atau minoritas di masyarakat. Ia mengatakan, korban-korban kebanyakan diminta untuk menghapus postingan dan konten di media sosial sesuai keinginan pelaku persekusi. Pelaku persekusi pun tidak dilakukan individu atau kelompok kecil, tetapi kelompok besar seperti ormas.
"Nggak pernah pelaku tunggal, tapi pelaku kelompok dari ormas-ormas besar. Paling kenceng ormas keagamaan," kata Rivan.
Dalam temuan KontraS, kasus persekusi yang terjadi tahun 2014 sudah ada 162 kasus, tahun 2015 ada 238 kasus, dan tahun 2016 sekitar 342 kasus. Kasus ini pun terus meningkat pasca pilkada DKI Jakarta. Diduga, ada peraturan yang membuat jumlah perkara meningkat.
"Kecenderungannya meningkat tiap tahun itu karena mungkin karena ada peraturan undang-undangan yang masih ada seperti Perpres 65 terus ada SKB 3 menteri," kata Rivan.
Koordinator KontraS Yati Andriyani menilai, pemerintah belum berkomitmen penuh dalam penyelesaian perkara persekusi. Menurut Yati, pemerintah masih bersifat reaksioner dalam menyelesaikan permasalahan persekusi.
"Melindungi secara sistematis dan berkelanjutan, itu belum, tetapi mengambil tindakan reaktif itu sudah dilakukan," ujar Yati di kantor KontraS, Senen, Jakarta, Kamis (15/6/2017).
Yati berpendapat, ada dua permasalahan yang menjadi pertimbangan mereka menilai penanganan persekusi setengah-setengah. Pertama, mereka melihat dari kebijakan pemerintah. Ia menyatakan pemerintah masih memberlakukan aturan-aturan yang mengarah kepada persekusi.
Sebagai contoh, menurut Yati, pasal 156 tentang penistaan agama, kebijakan pelarangan beragama kepada Ahmadiyah di Depok, Jawa Barat, serta pelarangan beribadah bagi orang Syiah di Sampang, Madura sebagai bentuk persekusi yang dilakukan pemerintah.
Dalam kasus Ahmadiyah, pemerintah diduga ikut andil dalam mempersekusi jemaat Ahmadiyah yang ingin beribadah dengan menyegel masjid. Sementara itu, dalam kasus Sampang, negara diduga telah mempersekusi warga dengan melarang mereka kembali ke kampung halaman. Padahal, negara seharusnya melindungi rakyat dari tindak persekusi.
Editor: Maya Saputri