Menuju konten utama

Cara Jitu Zidane Memaksimalkan Para Gelandang di Final UCL

Toni Kroos dan Luca Modric mempunyai peran penting dalam kemenangan Madrid di Ukraina

Cara Jitu Zidane Memaksimalkan Para Gelandang di Final UCL
Ekspresi Zinedine Zidane saat laga final Liga Champions antara Real Madrid dan Liverpool di Stadion Olimpiyskiy di Kiev, Ukraina, Sabtu, 26 Mei 2018. (AP Photo / Matthias Schrader)

tirto.id - Liverpool era Bob Paisley, Inter era Helenio Herrera, dan AC Milan era Arrigo Sacchi -- itulah daftar tim-tim hebat yang mencoba memenangi Liga Champions (saat itu Piala Champions) lebih dari dua kali berturut-turut. Semuanya gagal. Bayern Muenchen merupakan tim terakhir yang melakukannya dari 1974 hingga 1976.

Di era modern, ambisi membuat hattrick juara di Liga Champions terasa begitu jauh. Jangankan tiga kali berturut-turut, mempertahankan gelar Liga Champions saja terasa mustahil. Sejak berubah format pada 1992, tak ada satu pun manajer yang sanggup merengkuh gelar juara Liga Champions berturut-turut. Tidak Carlo Ancelotti, tidak Marcelo Lippi, tidak Alex Ferguson, tidak pula Pep Guardiola atau Jose Mourinho.

Namun Zinedine Zidane berhasil melakukannya. Bukan hanya dua kali berturut-turut, melainkan bahkan tiga kali berturut-turut. Kemenangan Madrid atas Liverpool, dengan skor 3-1, bukan hanya membuat Real Madrid kian tak tersentuh di Eropa, melainkan telah menahbiskan Zidane sebagai mitos.

Kisi-Kisi Taktik Zidane

Kemenangan itu memang dipermudah oleh dua blunder kiper Loris Karius. Namun, kemenangan tersebut sebetulnya bukan semata karena faktor Karius. Ada hal lain yang menonjol di balik kemenangan tersebut, yakni kemampuan Zidane mengatur taktik.

Untuk menghentikan Salah, Zidane memang menginstruksikan Marcelo agar lebih banyak bertahan pada menit-menit awal laga. Bahkan Marceloa kerap terlihat berdiri berdekatan dengan Sergio Ramos, bek tengah sebelah kiri Real Madrid, saat Salah sedang mencari ruang dengan bermain sedikit ke dalam.

Karena potensi Marcelo bisa sangat membantu, Zidane pun mengubah pendekatannya: mulai menit ke-10, Marcelo berani maju ke depan; ia bahkan menjadi pemain Real Madrid pertama yang melakukan tembakan tepat sasaran ke gawang Liverpool. Meski begitu, saat Marcelo maju, Zidane tetap mewaspadai Salah. Ia menginstruksikan Toni Kroos untuk bermain lebih bertahan, menjaga daerah yang ditinggalkan Marcelo.

Setelah Salah diganti karena cedera, Zidane kembali melakukan perubahan pendekatan taktiknya. Kroos dan Luka Modric mulai berani bermain lebih ke depan. Hal ini dapat dilihat dari sentuhan bola kedua pemain tersebut. Sebelum Salah ditarik, dari 55 sentuhan yang dilakukan Modric dan Kroos, 40 persen sentuhan dilakukan di daerah permainan sendiri.

Itu artinya, mereka memilih berhati-hati saat naik ke depan. Sedangkan sesudah Salah ditarik, dari 108 kali sentuhan yang dilakukan Kroos dan Modric, 60 persen atau 61 dari sentuhan tersebut dilakukan di daerah permain Liverpool.

Dari atribusi sentuhan ini, secara persentase perbedaan antara menyerang dan bertahan memang tak jauh beda. Tapi, mesti diingat, mayoritas sentuhan di area pertahanan Madrid dilakukan pada 10 menit akhir pertandingan, saat mereka sudah unggul 3-1.

Peran Kroos dan Modric Menghentikan Firmino

Gegenpressing yang selama ini dilekatkan pada Klopp berjalan efektif di Liverpool, khususnya oleh Firmino di barisan depan. Dalam konteks bertahan, Firmino adalah pemain paling sering melakukan pelanggaran. Dalam statistik yang dirilis StatBomb, aksi tekel dan pelanggaran yang dilakukan Firmino dilakukan di area lawan.

Di laga final, Firmino sama sekali tak terlihat perannya dalam gegenpressing. Ia sama sekali tidak melakukan tekel dan intersepsi. Selain itu, tiga pelanggaran yang dilakukannya juga bukan akibat pressing-nya terhadap pemain lawan.

Menariknya, Firmino ternyata juga tidak memberikan kontribusi maksimal saat timnya melakukan serangan. Ia sama sekali tak mampu menciptakan peluang dan hanya berhasil dua kali melakukan percobaan tembakan; itu pun berhasil diblok pemain lawan.

Infografik Salah Out Bale In

Toni Kroos dan Luka Modric lagi-lagi berperan penting di balik tidak maksimalnya penampilan Firmino. Setelah Salah diganti, Kroos dan Modric memang lebih sering ke depan, tetapi saat Madrid membangun serangan dari lini belakang atau Liverpool melancarkan serangan, mereka akan turun, berdiri hampir sejajar dengan Casimero, dan sedikit berada di depan garis pertahanan Madrid.

Saat mekakukan buid-up serangan, dengan posisi Modric dan Kroos lebih dekat dengan garis pertahan, pemain-pemain belakang bisa dengan mudah mengirimkan umpan ke depan. Pendekatan itu menyulitkan Firmino mengganggu pemain-pemain belakang Madrid.

Dengan posisi Modric dan Kroos yang lebih dekat dengan garis pertahanan, Firmino akan kesulitan mencari ruang, terutama di depan garis pertahan lawan. Ia tidak mampu memainkan peran sebagai false nine secara maksimal.

Gegenpressing Tidak Maksimal dan Bale Masuk

Tak berjalan lancar peran Firmino dalam sistem gegenpressing Liverpool berpengaruh terhadap sistem permainan tim secara keseluruhan. Daripada berhasil merebut bola dari pemain-pemain Madrid, gegenpressing justru lebih sering menghasilkan pelanggaran. Liverpool melakukan 18 kali pelanggaran dalam pertandingan tersebut, dan hanya dua pelanggaran yang terjadi di daerah pertahanan mereka sendiri.

Kemampuan Kroos dan Modric dalam melakukan umpan membuat Liverpool semakin kesulitan mencari jalan keluar. Madrid bahkan semakin leluasa bermain, dan Zidane pun memasukkan Bale agar serangan lebih mengancam. Uniknya, Bale dimainkan di samping Kroos dan Modric, mengubah formasi Madrid dari 4-4-2 berlian menjadi 4-1-3-2.

Bale sendiri memainkan peran unik. Daripada bermain di sisi sebelah kanan lini serang Madrid, ia sering bergerak bebas di belakang Ronaldo dan Benzema. Hasilnya, selain berhasil mencetak gol salto dari sisi kiri pertahan Liverpool, Bale juga mampu mempermudah akses umpan Kroos dan Modric ke area sepertiga akhir. Serangan Madrid menjadi lebih hidup. Mereka pun berhasil mencetak satu gol tambahan melalui sepakan keras Bale dari kotak penalti.

Seluruh perubahan yang dilakukan Zidane di laga final memperlihatkan betapa ia bukan hanya memahami situasi di lapangan dengan baik, tetapi juga mampu merespons dengan cara yang tepat.

Ia bukanlah sosokclap-your-hands coach”, sindiran bagi pelatih yang dinilai hanya bisa bertepuk tangan di pinggir lapangan untuk menyemangati pemain. Istilah itu dinisbatkan kepada pelatih yang dinilai tak memiliki kemampuan dan pengetahuan strategi serta taktik; dan Zidane semula dianggap demikian.

Pilihannya untuk menggunakan formasi 4-4-2 berlian, atau mencadangkan Bale bukan hanya dalam laga ini tapi juga dalam dua musim terakhir, dibayar tuntas dengan trofi. Isco memang tidak bermain gemilang di laga final, tetapi secara keseluruhan sepanjang musim, ia bermain baik dan membuat siapa pun tak lagi mengingat James Rodriguez.

Kinerja Modric dan Kroos, dan jangan lupakan cara Zidane memaksimalkan Casemiro yang sempat dipinjamkan ke Porto, memperlihatkan ia tahu bagaimana bekerja di lini tengah.

Bukankah Zidane, dulunya, adalah pemain tengah terbaik di antara yang terbaik?

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan & Renalto Setiawan

tirto.id - Sepakbola
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan & Renalto Setiawan
Editor: Zen RS