Menuju konten utama

Menjadi Masokis Bersama Karius, Menjadi Sisifus Bersama Klopp

Bagaimana nasib buruk bekerja atas Loris Karius dan/atau Klopp?

Menjadi Masokis Bersama Karius, Menjadi Sisifus Bersama Klopp
Reaksi penjaga gawang Liverpool Loris Karius beberapa saat setelah wasit membunyikan peluit panjang dalam pertandingan final Liga Champions 2018 antara Real Madrid melawan Liverpool di Stadion Olimpiyskiy, Kiev, Ukraina (26/5/18). AP Photo/Darko Vojinovic

tirto.id - Dalam Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte yang terbit pada 1852, Karl Marx menulis: History repeats, first as tragedy, then as farce. 166 tahun kemudian, di final Liga Champions 2018, ungkapan Marx tersebut ditafsirkan dengan semena-mena oleh kiper Liverpool Loris Karius lewat dua blunder fatal. Maka kutipan Marx pun berubah: blunder berulang, pertama sebagai tragedi, kemudian menjadi lelucon.

Penampilan Karius kala Liverpool menghadapi Real Madrid di Kiev Olympic Stadium, Ukraina (Minggu 27/05/2018) memang kelewat buruk. Ia dua kali membuat error lead to goal yang menyebabkan The Reds harus kebobolan dua kali. Blunder pertama, menit 51: bola lemparannya dapat dipotong oleh Karim Benzema sehingga bola malah bergulir ke gawang sendiri. Blunder kedua, menit 83: sepakan keras Gareth Bale dari jarak 40 yard yang mengarah ke badannya gagal diantisipasi dengan sempurna. Whoscored hanya memberinya nilai 4,42.

Karius memang juga melakukan dua penyelamatan gemilang pada menit 61 saat menepis tendangan Isco dari jarak dekat dan menahan sepakan Benzema pada menit 81. Akan tetapi, bagi kiper, satu blunder saja sebetulnya sudah memalukan, terlebih di laga krusial seperti final Liga Champions. Sementara yang terjadi: Karius justru melampaui itu semua.

Setelah laga usai, Karius yang tak lagi dapat membendung perasaan bersalah menangis sesengukan. Dengan langkah gontai dan dada yang sudah pasti sesak tak karuan, ia berjalan seorang diri ke arah tribun dan meminta maaf kepada kerumunan suporter Liverpool seraya membungkukkan badan. Air matanya makin berlinang.

Tampak dalam kamera, seorang pemain Liverpool lain mendatangi Karius dan memeluknya. "You’ll never walk alone, mate. Never," mungkin begitu bisik si pemain tadi. Tapi penderitaan, sebagaimana nasib getir, adalah kesunyian masing-masing. Selamanya Karius akan mengenang malam jahanam di Kiev dengan mata yang berkaca-kaca.

"Saya tak dapat merasakan apa pun sekarang. Hari ini saya membuat tim saya kalah dan saya sangat menyesal untuk semua orang - untuk tim, seluruh pihak klub - atas segala kesalahan yang fatal tersebut," kata Karius di Liverpool Echo.

"Tak banyak yang dapat saya katakan sekarang. Tentu semua orang berusaha menenangkan saya, tapi ada saat menjadi hening karena semua orang merasa kecewa."

"Jika saya dapat memutar waktu, saya akan melakukannya. Saya meminta maaf kepada tim. Saya tahu saya telah membuat mereka sedih. Rasanya terlampau menyayat, tapi beginilah jalan hidup seorang penjaga gawang. Kamu harus segera kembali bangkit."

Menjadi Masokis dan Egois untuk Kiper

"Jika saya dapat memutar waktu..." sesal Karius.

Ada salah satu konsep menarik dalam terminologi paradoks waktu: Predestination paradox. Inti dari paradoks tersebut kurang lebih menjelaskan betapa segala sesuatu sesungguhnya telah ditakdirkan (predestined) oleh sejarah dan tak dapat diubah. Predestined paradox didesain untuk menciptakan kejadian yang sama sebagaimana seharusnya.

Melalui definisi tersebut, seandainya Karius merupakan seorang time traveler yang dapat berkelana ke masa lampau, ia akan tetap akan ditakdirkan mengulang dua blunder tersebut.

Penjaga gawang, seperti yang pernah dialami sekaligus ditulis Albert Camus, adalah seseorang yang soliter. Ia bermastautin sendirian di ujung lapangan, jauh dari permainan. Ketika timnya mencetak gol, ia merayakannya sambil berlarian seorang diri ke sana ke mari. Namun di saat gawangnya kebobolan, ia pula yang langsung menjadi sasaran makian.

Bagi Gianluigi Buffon, untuk menjadi penjaga gawang seseorang harus masokis dan egois sekaligus. "Pada akhirnya, Anda perlu untuk sedikit masokis ketika menjadi penjaga gawang. Masokis dan egois dengan sama baiknya. Masokis karena Anda tahu bahwa satu-satunya hal penting di dunia adalah gawang Anda akan kemasukan gol. Dan Anda juga tahu bahwa hal itu tidak memberikanmu kebahagiaan."

Dalam Soccer in Sun and Shadow, Eduardo Galeano pernah menulis bahwa satu-satunya hal yang dapat dilakukan seorang penjaga gawang untuk menghibur diri adalah memakai kostum warna-warni. Seperti Jorge Campos, kiper legendaris Mexico bertubuh mungil yang suka menjahit kostum kipernya sendiri dengan tambalan kain bercorak norak di sana-sini.

Hanya saja, tadi malam, tak mungkin ada hiburan untuk Karius. Ia telah menunaikan syarat masokis dari Buffon dengan setelak-telaknya. Jika dua blunder yang dibuat oleh Karius dianggap kurang menyayat, ingat-ingatlah kegetiran lain saat Bale merobek gawangnya lewat salto yang begitu magis atau tangis Mohamad Salah saat harus ditarik keluar lapangan karena cedera dan berkemungkinan absen bermain untuk membela Mesir di Piala Dunia.

Kiper dan Nasib Getir: Moacir Barbosa

Tangisan Karius sedikit banyak mengingatkan kepada Moacir Barbosa, kiper pertama Brazil berkulit hitam. Kala Brazil tumbang oleh Uruguay, pada partai final Piala Dunia 1950, di kandang sendiri, di Stadion Maracana yang agung dan beraura itu, Barbosa didakwa sebagai kambing hitam. Ia dianggap bersalah karena tak mampu mencegah tembakan Juan Alberto Schiaffino (menit 66) dan Alcides Ghiggia (menit 79).

Mario Zagallo, salah seorang legenda Brazil lain, bahkan pernah mengusir Barbosa saat ia berkunjung ke kamp pelatihan timnas tahun 1994. Bayangkan, 44 tahun berlalu dan dakwaan itu masih menempel di jidatnya. Namun di antara semua kepedihan yang dirasakan Barbosa, ada satu momen yang membuatnya begitu lungkruh.

Suatu hari, sekitar 20 tahun setelah Piala Dunia 1950 tersebut, Barbosa berpapasan dengan seorang ibu dan anaknya di sebuah pasar. Ibu itu mendelik sinis, seperti seseorang yang melihat bangkai tikus di jalanan. Sejurus kemudian, ia mengatakan kepada anaknya sambil menunjuk Barbosa : "Lihatlah dia, Nak. Dia orang yang membuat Brazil menangis."

Beberapa bulan sebelum ajal menjemput, Barbosa mengaku sedih karena orang-orang masih mengenang hal tersebut. "Orang lupa bahwa pada Piala Dunia 1974 dan 1978 kita dihina amat buruk. Dan bagaimana rasa malu itu bertambah saat dikalahkan Prancis di Piala Dunia 1998. Tetapi kenapa orang-orang tak pernah lupa dan lebih suka berbicara tentang 1950?"

"Di Brazil, hukuman paling tinggi untuk tiap kejahatan adalah 30 tahun," kata Barbosa suatu ketika. "Saya telah menjalani hukuman sepanjang 50 tahun untuk kejahatan yang tak pernah saya lakukan. Setelah ia membayar kesalahannya, ia akan dimaafkan. Tapi saya tak pernah dimaafkan."

Barbosa meninggal pada 7 April 2000. Dan perkataannya pun benar: Ia tak pernah, tak akan pernah mendapat keadilan.

Infografik Loris Karius

Simpati di Antara Caci Maki untuk Karius

Tak lama setelah laga usai, laman untuk Karius di Wikipedia berbahasa Indonesia sempat diacak-acak. Di laman tersebut tertulis: 'Loris Karius adalah seorang stand up comedy berkewarganegaraan Jerman yang bermain untuk klub Liverpool, biasa bermain pada posisi sebagai penjaga gawang.'

Beberapa menit berselang, kalimat itu sudah berganti lagi menjadi: "Loris Karius adalah pemotong rumput berkewarganegaraan Jerman yang bermain untuk klub Real Madrid, biasa bermain pada posisi penjaga gawang walaupun tidak bisa menangkap dan melempar dengan baik."

Ledekan tersebut hanyalah sedikit dari sekian ribu cacian lain untuk Karius yang seliweran di lini masa media sosial, baik berupa meme atau cuitan belaka. Seorang suporter Liverpool terkemuka, Andrew Beasley, salah satunya. Lewat akunnya, @basstunedtored, ia melemparkan cuitan::

"Good lord. Karius has done so much right tonight. Except when he really really really really really really really really really really really really really really really really really really really really really really really really hasn't."

Banyak orang yang menganga tak percaya melihat dua blunder yang dilakukan Karius. Oliver Kahn, kiper legendaris Jerman, salah satunya: "Saya kehilangan kata-kata. Dari sudut pandang penjaga gawang, saya tak ingat pernah mengalami sesuatu yang lebih brutal dibandingkan dengan yang terjadi di final kali ini. Malam seperti ini bisa merusak karier pemain."

Sementara Jordan Henderson, sebagai kapten Liverpool, menolak menyalahkan Karius dan memberikan pembelaannya: "Ini bukan kesalahan yang dibuat oleh Loris Karius, kita mencapai final sebagai tim dan kalah juga sebagai tim. Ini tentang semua orang yang ada di sini."

Dukungan dan simpati lain untuk Karius juga datang dari Napoli. Melalui akun Twitter resmi mereka, @sscnapoli, klub Italia tersebut menyatakan dukungan: "Jangan bersedih, Karius. Malam yang buruk dapat menimpa siapa

pun. Seorang juara harus berani. Peluk erat dari Napoli."

Jurgen Klopp menyebut kesalahan Karius sebagai sesuatu yang memalukan dan tak sepantasnya terjadi di laga puncak sekelas final Liga Champions. Tapi ia pun juga turut menyesal dengan apa yang menimpa anak buahnya tersebut.

"Apa yang dapat saya katakan? Loris sudah paham, semua orang juga. Sungguh memalukan hal itu terjadi di laga seperti ini, setelah musim seperti ini. Saya turut menyesal untuknya. Dia anak yang hebat," ujar Klopp.

Dua blunder Karius tadi malam membuat Klopp tampak seperti Sisifus, manusia setengah dewa yang dihukum Zeus harus mengangkut batu berat ke puncak gunung, dan tiap kali sampai di sana, batu itu akan berguling kembali ke bawah. Maka ia pun harus turun untuk mengangkutnya lagi. Mengulangnya terus menerus, lagi dan lagi dan lagi.

Bersama Dortmund, Klopp mengalahkan Bayern Munich di final DFB Pokal musim 2011/2012. Enam tahun kemudian, dari 2013-2018, baik bersama Dortmund maupun Liverpool, ia melewati enam laga final yang lain. Semuanya berakhir dengan kekalahan.

Bersama Liverpool, Klopp telah tiga kali menderita kekalahan di partai final. Selain final tadi malam, dua yang pertama terjadi pada 2015/2016: The Reds kalah di final Piala Liga Inggris melawan Manchester City dan tumbang pula di final Liga Europa dari Sevilla. Ketika menangani Borussia Dortmund, ia juga gagal membawa timnya juara di final Liga Champions musim 2012/2013 setelah takluk dari Bayern Muenchen.

Apakah Klopp akan terus mengalami kutukan dalam laga final? Atau malah lebih buruk: ia akan kembali bertemu Karius lain di masa depan. Dalam mitologi Yunani kuno, hukuman Sisifus tak pernah berakhir.

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Zen RS