Menuju konten utama

Buruh Tuntut Upah Minimum Naik hingga 10 Persen Tahun Depan

Buruh menuntut kenaikan upah sebesar 8 persen hingga 10 persen di tahun depan.

Buruh Tuntut Upah Minimum Naik hingga 10 Persen Tahun Depan
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal saat diwawancara awak media di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2024). Foto: tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyampaikan tuntutan para buruh yang menuntut kenaikan upah sebesar 8 persen hingga 10 persen di tahun depan.

Said menjelaskan, dasar perhitungan kenaikan upah disebabkan karena inflasi tahun 2025 yang diperkirakan mencapai 2,5 persen dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2 persen. Jika dijumlahkan, kata dia, maka inflasi dan pertumbuhan ekonomi menghasilkan angka 7,7 persen.

Selain itu, menurut Said, para buruh juga mengalami “nombok” akibat penambahan biaya hidup tanpa disertai kenaikan upah di 2024. Dia mencontohkan soal inflasi yang terjadi di kawasan industri Jabotabek yang tercatat 2,8 persen, sementara kenaikan upah hanya 1,58 persen.

Artinya, buruh harus nombok sekitar 1,3 persen (selisih antara inflasi 2,8 persen dan kenaikan upah 1,58 persen). Dengan demikian, angka 8 persen sangat logis, yaitu berasal dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi ditambah faktor "nombok" sebesar 1,3 persen.

Kemudian, disebut Said, faktor disparitas upah juga menjadi perhatian. Di sejumlah wilayah berbatasan, kesenjangan upah atau disparitas terbilang masih tinggi. Misalnya, upah di Karawang lebih tinggi dibandingkan di Purwakarta, dan upah di Purwakarta lebih tinggi dibandingkan di Subang. Untuk mengatasi kesenjangan ini, ditambahkan angka disparitas sebesar 2 persen.

“Berdasarkan analisis litbang Partai Buruh dan KSPI, tambahan ini menghasilkan kenaikan 10 persen, untuk mencegah kesenjangan yang semakin melebar,” ujar Said Iqbal dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (11/10/2024).

Lebih lanjut, Said mengatakan, KSPI dan Partai Buruh menolak penggunaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 dalam perhitungan upah minimum. KSPI menilai, konsep batas bawah dan batas atas dalam PP ini tidak masuk akal dan tidak ada dalam undang-undang sebelumnya, termasuk yang diatur dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Sehingga, kata dia, rumus yang dibuat BPS dan Kemenaker dianggap menyesatkan publik dan memperburuk kesejahteraan masyarakat.

Said Iqbal menegaskan, daya beli buruh telah menurun dalam lima tahun terakhir. Litbang KSPI dan Partai Buruh menemukan bahwa dalam periode tersebut, upah riil buruh turun 30 persen. Artinya, daya beli buruh juga menurun 30 persen.

Lalu, selama tiga tahun terakhir, kenaikan upah buruh berada pada angka nol persen, dan dalam dua tahun terakhir kenaikan upah berada di bawah angka inflasi, yang otomatis menggerus nilai upah riil buruh.

Hingga dalam lima bulan terakhir 2024, para buruh, petani, nelayan, dan pekerja lainnya di kalangan menengah ke bawah, merasakan terjadinya deflasi karena pendapatan yang stagnan, harga barang yang tetap naik, serta memperparah penurunan daya beli.

“Buruh meminta agar kenaikan upah minimum 2025 tidak dijadikan ajang main-main oleh Menteri Tenaga Kerja ad interim, serta birokrat Kemenaker di daerah. Kami mengimbau agar birokrat menunggu pemerintah baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menentukan kenaikan upah minimum. Jangan sampai aturan yang merugikan pekerja dikeluarkan, terutama sebelum 1 November,” tegasnya.

Selain itu, Said mengatakan, terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja yang akan segera diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, KSPI dan Partai Buruh meminta agar sejumlah poin utama yang mereka ajukan dalam uji materi dapat dikabulkan.

Poin pertama terkait penolakan upah murah yang menjadi penyebab penurunan daya beli akibat Omnibus Law. KSPI mengusulkan agar upah minimum dikembalikan ke mekanisme UU Nomor 13 Tahun 2003, dengan mempertimbangkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) atau perhitungan makroekonomi berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Kedua, terkait penghapusan outsourcing. Kemudian, penghapusan kemudahan PHK bagi perusahaan. Juga terkait dengan peningkatan nilai pesangon yang dianggap terlalu rendah.

Said menyebut, data Kemenaker menunjukkan bahwa lebih dari 52.000 pekerja mengalami PHK, sementara data Litbang KSPI menunjukkan angka mencapai 127.000 lebih.

Lalu terdapat pengajuan akan pembatasan penggunaan kontrak kerja yang tidak memiliki batas waktu dan membuat pekerja dalam status kontrak seumur hidup tanpa kepastian kerja. Dan terakhir soal peningkatan perlindungan terhadap pekerja perempuan selama cuti haid dan cuti melahirkan.

Lebih lanjut, Said juga menyoroti pengembalian hak cuti panjang setelah enam tahun bekerja yang telah dihapus oleh Omnibus Law. Dia menyebut, di negara-negara industri, hak cuti panjang masih diberikan, bahkan suami yang istrinya melahirkan pun berhak mendapatkan cuti.

“KSPI dan Partai Buruh berharap Mahkamah Konstitusi mengembalikan ketentuan ketenagakerjaan seperti yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, sambil menunggu pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait ketenagakerjaan demi menutup kekosongan hukum,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait BURUH atau tulisan lainnya dari Rahma Dwi Safitri

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Rahma Dwi Safitri
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Anggun P Situmorang