tirto.id - Pasal 374 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berisi keterangan tindakan mengenai penggelapan barang. Selain itu, di dalam pasal tersebut juga disebutkan mengenai jangka waktu pemberian sanksi yang akan diterima tersangka.
Negara Indonesia merupakan negara hukum yang salah satu landasan hukum pidananya diatur oleh KUHP. Dengan begitu, semua perkara pidana yang terjadi pada masyarakat Indonesia akan berpedoman pada undang-undang tersebut.
Tindakan yang melanggar hukum pidana dianggap dapat menimbulkan masalah keamanan, kesejahteraan, ketenteraman, serta ketertiban umum. Oleh karena itu, KUHP hadir sebagai landasan penegakkan hukum.
Sejarah kelahiran KUHP sudah berjalan semenjak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Kala itu, namanya adalah WvSNI (Wetboek van strafrechtvoor Nederlancdsch Indie) dan baru berubah menjadi KUHP pada 26 Februari 1946.
Lebih resminya, KUHP disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Semenjak perubahan tersebut, berbagai aturan yang sudah tidak relevan dihapus dan denda pun diubah menjadi mata uang rupiah—awalnya gulden.
Semenjak saat itu, KUHP digunakan hingga saat ini oleh pemerintah Indonesia. Salah satu aturan hukum pidana yang termuat di dalamnya membicarakan tentang penggelapan dan hukuman yang dapat diterima jika seseorang melakukannya.
Lantas, bagaimana isi pasal 374 yang menerangkan hal tersebut?
Bunyi Pasal 374 KUHP Tentang Penggelapan dan Hukumannya
Dalam sistematika penulisan KUHP, terdapat tiga buku yang masing-masingnya mengatur hal berbeda. Pertama, mengatur aturan hukum yang dimulai dari pasal 1 sampai 103. Lalu, buku dua mengatur pasal 104-448. Terakhir, buku tiga yang mengatur pasal 489—569.
Berdasarkan ungkapan di atas, berarti pasal 374 yang mengatur hukuman bagi kasus penggelapan ada di buku kedua. Berikut ini isi pasal 374 KUHP:
“Penggelapan yang dilakukan oleh seseorang ketika memegang barang tersebut karena berhubungan dengan pekerjaannya, jabatannya, atau karena ia mendapatkan upah berupa uang ketika memegang barang, dihukum penjara dengan jangka waktu maksimal lima tahun.”
Menurut penjelasan di atas, orang yang menjadi tersangka kasus penggelapan adalah “orang yang memegang barang karena pekerjaannya”, “memegang barang karena jabatannya”, dan “orang yang memegang barang karena diberikan upah”.
Pengertian penggelapan di atas masih terlihat begitu abu-abu karena tidak melampirkan status barang yang dipegang. Berdasarkan catatan situs Badan Pembinaan Hukum Nasional, penggelapan yang dimaksud ini pelanggarannya hampir sama dengan kasus pencurian—yang diatur pasal 362 KUHP.
Namun, perbedaannya terletak pada kondisi atau status barang. Jika mencuri, sudah jelas bahwa barang tersebut diambil oleh seseorang untuk dimiliki oleh orang lain—adanya proses mengambil barang.
Sedangkan menggelapkan barang, benda tersebut sudah ada di orang tersebut dan didapatkannya tanpa mengambil. Lebih jelasnya, barang yang sudah dipegang orang itu dinyatakan hilang atau lenyap begitu saja.
Contohnya, kita dapat melihat kasus di mana ada seorang pria yang dititipkan barang oleh seorang perempuan. Pada suatu hari, perempuan menanyakan tentang keberadaan barang yang dipercayakannya kepada pria tersebut.
Namun, pria tersebut sengaja menyembunyikan barang tersebut agar dapat mendapatkan kuasa sebagai pemilik barangnya. Dengan begitu, pria itu sudah menggelapkan barang yang semulanya dititipkan oleh perempuan tersebut.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Dipna Videlia Putsanra