tirto.id - Sebuah film dokumenter obskur tiba-tiba mengemuka pada 2020 ketika seorang blogger bernama Jason Kottke membuat ulasan di blog pribadinya. Film itu merupakan dokumenter pendek berdurasi 24 menit berjudul La télévision, oeil de demain (Televisi, mata masa depan). Kendati bergenre dokumenter, bagian kedua film itu sebetulnya layak disebut sebagai film "fiksi ilmiah".
Bagian kedua dari La télévision, oeil de demain menunjukkan bagaimana manusia masa depan berinteraksi dengan gawai yang senantiasa melekat di tangan mereka. Manusia-manusia itu berjalan dengan kepala tertunduk hingga akhirnya saling bertabrakan, bahkan menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
La télévision, oeil de demain menjadi istimewa dalam perbincangan mengenai bagaimana manusia modern menggunakan ponsel pintar karena prediksinya yang begitu akurat. Bayangkan saja, film tersebut dirilis pada tahun 1947, tahun saat televisi berwarna belum eksis dan komputer tercanggih masih seukuran lemari pakaian, tetapi ia bisa memperkirakan bagaimana hebatnya candu gawai pintar bagi manusia.
Prediksi yang ditunjukkan La télévision, oeil de demain itu sudah acap terbukti. Namun, yang belum bisa diselami film tersebut adalah seberapa parah kerusakan pada otak yang diakibatkan oleh over konsumsi konten, terutama di media sosial.
Dalam era hiperkonektivitas, hidup tanpa gawai adalah perkara mustahil bagi manusia modern. Semua aspek kehidupan kita ada di sana.
Lewat gawai, kita bisa menghubungi orang-orang tercinta, mendengarkan lagu-lagu kesukaan, menonton film-film favorit, mencari pekerjaan (baru), memesan makanan, mencari tumpangan, bahkan melakukan transaksi perbankan. Semuanya tersedia dalam satu perangkat, maka tidak mengherankan apabila ada yang menyebut gawai atau ponsel pintar sebagai "organ tubuh eksternal".
Perangkat bernama ponsel pintar ini sangat memudahkan hidup manusia modern. Namun, sisi gelap dari teknologi ini tak bisa dinafikan begitu saja. Overkonsumsi konten media sosial merupakan salah satu bagian dari sisi gelap tersebut. Dan belakangan, overkonsumsi media sosial memunculkan sebuah istilah bernama brain rot yang baru-baru ini dinobatkan oleh Oxford menjadi Word of the Year 2024.
Brain rot secara harfiah bisa diartikan sebagai "kerusakan otak". Namun, jika didefinisikan secara lebih spesifik, brain rot adalah dampak negatif kepada psikologi manusia yang diakibatkan oleh terlalu sering mengonsumsi konten digital berkualitas rendah.
Istilah ini memang terdengar seperti penyakit yang muncul pada kisah-kisah berlatar distopia, tetapi realitasnya brain rot sudah ada dan kemungkinan bakal menjangkiti lebih banyak orang.
Ada banyak hal yang bisa menyebabkan brain rot, dan celakanya, faktor-faktor penyebab kerusakan ini lumayan sulit dihindari. Mulai dari menggulirkan konten media sosial secara terus menerus, menonton video-video pendek di YouTube Shorts, Instagram Reels, atau TikTok tanpa jeda, mengonsumsi meme dan menggunakan slang internet secara berlebihan, sampai doomscrolling (membaca atau mengonsumsi konten berita negatif secara kontinyu dalam waktu lama).
Pada zaman di mana "ketahanan konten" adalah kunci keberlangsungan hidup berbagai jenama, kreator, seniman, bahkan politikus sekalipun, pada akhirnya brain rot bukan lagi menjadi sebuah risiko, melainkan konsekuensi tak terelakkan.
Tanpa menjadi online secara kronis (chronically online), sering kali seseorang bakal kehilangan info-info terbaru yang bisa berdampak pada relasi sosial mereka di kehidupan nyata, sehingga pada akhirnya, tak ada satu pun pengguna internet yang bisa luput dari konsumsi konten berkualitas rendah.
Brain rot merupakan cerminan dari kegagalan sebagian besar manusia menjinakkan teknologi. Secara inheren, teknologi mestinya menjadi alat bagi manusia untuk meningkatkan kualitas hidup.
Memang ada sebagian orang yang mampu menaklukkan permainan absurd ini, tetapi keberhasilan orang-orang ini membutuhkan individu-individu yang akhirnya terjerumus sebagai konsumen, atau dalam hal ini, korban. Korban-korban inilah yang kemudian terjangkit brain rot.
Mulanya, brain rot digunakan secara ironis oleh generasi pengguna internet yang lebih muda untuk menyebut konten tak bermutu, yang entah bagaimana, bisa dipandang keren oleh mereka. Contoh terbaiknya adalah rangkaian cerita Skibidi Toilet yang benar-benar membuat logika serasa tak ada lagi gunanya.
Pada 2024, menurut Oxford, penggunaan istilah brain rot mengalami lonjakan hingga 230 persen dibanding periode sebelumnya. Kendati mulanya hanya digunakan secara ironis untuk menertawakan diri sendiri, brain rot belakangan juga memantik sejumlah pertanyaan: Separah apa, sih, efek brain rot ini?
Nicholas Carr, dalam The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains, menguliti bagaimana konten-konten di internet seperti memprogram ulang bagaimana otak manusia bekerja.
Konten-konten itu, tulis Carr, membuat manusia lebih mahir membaca cepat tetapi kurang piawai berpikir mendalam. Kapasitas intelektual yang diperlukan untuk membaca novel, memecahkan masalah kompleks, atau mengejar kegiatan kreatif semakin tergeser oleh kepuasan instan dari likes, meme, dan video viral.
Celakanya pula, overkonsumsi begitu sulit dihindari karena pada dasarnya platform digital dirancang untuk membuat manusia tenggelam di dalamnya lewat berbagai keterlibatan yang kemudian menuntun algoritma untuk terus memberikan apa yang disukai seseorang.
Ini menciptakan lingkaran setan seperti dalam kasus kecanduan judi, di mana "hadiah" yang kita terima seperti likes atau unggahan sesuai keinginan membuat manusia kesulitan keluar dari dalamnya.
Imbasnya, banyak manusia modern yang kesulitan memisahkan antara bekerja, waktu luang, dan istirahat karena semua kegiatan itu dihabiskan dengan menatap layar.
Layarnya bisa layar apa pun, mulai dari tablet, laptop, televisi, sampai ponsel pintar karena sekarang semuanya serba terintegrasi. Karena ini pula keheningan menjadi sesuatu yang cenderung ditakuti. Padahal, keheningan adalah kebutuhan manusiawi, terutama mendekati waktu saat kita mesti beristirahat.
Untuk keluar dari jerat kebiasaan ini, pertama-tama kita mesti mengakui bahwa kita memang sudah kecanduan. Artinya, kita mesti berani menghadapi kenyataan bahwa kebiasaan digital kita tidak seaman kelihatannya, baik waktu yang terbuang untuk scrolling tanpa tujuan, atau dampaknya terhadap kesehatan mental.
Langkah selanjutnya, kita harus belajar menetapkan batasan dengan perangkat kita. Ini bisa berarti menentukan waktu tertentu dalam sehari untuk benar-benar bebas dari tatapan layar, mematikan notifikasi yang tidak penting, atau menetapkan zona bebas teknologi di rumah. Batasan-batasan ini krusial untuk mendapatkan kembali ruang yang diperlukan untuk melakukan refleksi atau beristirahat.
Lalu, yang tak kalah penting adalah menyaring konten yang dikonsumsi. Daripada membiarkan algoritma menentukan pola konsumsi digital, kita bisa mengambil peran aktif dengan mencari materi yang sekiranya bakal memiliki manfaat.
Kita bisa memilih untuk berlangganan publikasi yang menggugah pemikiran, mengikuti kreator yang menginspirasi, atau meluangkan waktu untuk konten panjang seperti buku dan dokumenter. Dengan memprioritaskan kualitas daripada kuantitas, kita dapat melawan stagnasi intelektual akibat brain rot.
Langkah terakhir adalah dengan kembali ke dunia nyata. Beraktivitas di luar rumah, menghabiskan waktu dengan orang lain, menekuni hobi, dan menikmati alam sekitar bisa jadi alternatif yang jauh lebih baik ketimbang terus-menerus menggulirkan layar gawai. Dengan menciptakan kebiasaan baru, kita bisa keluar dari pola yang pada akhirnya hanya akan mencelakakan.
Pendek kata, manusia mesti melakukan rekalibrasi atas relasinya dengan teknologi dan perjuangan ini sebenarnya bersifat kolektif. Masyarakat, secara keseluruhan, mesti berani bersuara terutama dalam menuntut transparansi dari para raksasa teknologi. Desain algoritma, misalnya, perlu dibuka lebar-lebar supaya para penyandang kuasa dalam teknologi bisa lebih bertanggung jawab.
Ini, tentu saja, bukanlah perlawanan terhadap teknologi itu sendiri, melainkan terhadap pemanfaatannya, yang di satu sisi sangat menguntungkan sebagian kecil orang, tetapi di sisi lain menimbulkan kerusakan dalam skala masif.
Dengan mencari titik keseimbangan yang tepat, harmoni antara manusia dan teknologi akan tercipta untuk sebaik-baiknya masa depan.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi