tirto.id - Bila Anda melewati Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, ada banyak sekali kabel bergelayutan, ruwet, semrawut, berantakan di sepanjang jalan. Parahnya, kabel-kabel kacau ini bisa terlihat di manapun, di dekat lokasi kerja Anda atau di lingkungan tempat tinggal Anda, di seantero Kota Jakarta. Saking banyak kabel pada setiap tiang, Anda hampir pasti sulit menghitungnya.
Tak cuma kabel yang melintang di sana-sini, tapi juga tiang-tiang saling bergerombol di setiap titik, kadang-kadang mengadang badan trotoar. Tinggi tiang listrik dan kabel ini ada yang 11 meter dan 7 meter. Ketika saya menjajal berjalan kaki di sebuah jalan di Mampang Prapatan, semudah Anda berjalan di lingkungan sendiri, belum lebar langkah saya sudah disambut enam tiang telematika dan di atasnya kabel-kabel tergulung seperti ban motor di udara. Puluhan kabel lain terlihat semrawut bersama kabel-kabel PLN.
Kondisi semrawut kabel-kabel di atas kepala kita ini dikonfirmasi oleh Dita Artsana, manajer komunikasi PLN Distribusi Jakarta Raya. Ia mengatakan tak semua kabel telematika yang terpasang di tiang listrik memiliki izin dari PLN.
"Jadi benar-benar enggak berizin. Memanfaatkan infrastruktur kita untuk pasang (kabelnya)," ujarnya kepada Tirto, Jakarta, pada awal November lalu.
Tapi, tak semua kabel dan tiang-tiang kecil yang bergerombol pada tiang PLN itu ilegal.
Ceritanya adalah monopoli bisnis. Perusahaan listrik negara melalui anak usahanya PT Indonesia Comnets Plus (ICON+) sebagai pemain lama dan penerang sebuah desa dan kota mengomersialkan tiang penyangga kabel ke swasta. Alhasil, hal ini menjadi salah satu penyumbang semrawutnya kabel di Jakarta. Dari perkampungan padat hingga kawasan elite yang jembar, warga tinggal bersama kabel-kabel yang semrawut.
Saat saya menginformasi jumlah perusahaan swasta yang menyewa tiang PLN, Tetty Indrawati dari ICON+ berkata tak bisa cek satu persatu, tapi memang "ada kerjasama meski saya kurang tahu berapa banyak jumlahnya."
Bisnis tiang kabel memang menggiurkan. Kasarnya, ICON+ bisa meraup untung dengan hanya mengandalkan infrastruktur tiang PLN. Misalnya mengutip laporan tahunan PT First Media Tbk. pada 2011 menyebut anak usaha Lippo Group dalam jasa layanan internet dan televisi kabel ini menyewa tiang tumpuan PLN wilayah Jakarta Raya, Tangerang, Jawa Timur, dan Bali selama 20 tahun dan 15 tahun sejak 1999 dan 2000 (PDF, hlm 57-58). Biaya sewanya per bulan antara Rp3.000-Rp3.500 per tiang, yang dibayarkan ke PLN.
Laporan tahunan dari anak usaha milik keluarga konglomerat Riady ini tak menyebutkan jumlah tiang yang disewa dari PLN. Bila berdasarkan data PLN Disjaya Desember 2017, tiang listrik tegangan rendah yang tersebar di Jakarta mencapai 500.190 batang. Artinya, jika ada satu perusahaan menyewa 500 ribu tiang PLN saja dengan harga sewa Rp3.000 per tiang, maka PLN bisa meraup Rp1,5 miliar per bulan. Ingat, patokan harga sewa per tiang ini cuma mengacu pada perjanjian kerja sama kedua perusahaan itu pada 2009.
Biaya sewa setiap tiang listrik PLN untuk perusahaan telematika ini bervariasi, tergantung daerahnya. Di Sulawesi Selatan, misalnya, ICONT+ menyewakan tiang listrik antara Rp4.000-5.000 per bulan ke perusahaan jasa internet pada 2011. Saat itu PLN hendak menaikkan harga sewa menjadi 3 kali lipat, yang ditentang oleh Asosiasi Pengusaha TV Kabel Indonesia setempat. Alasannya, menaikkan tarif sewa akan berimbas pada tarif langganan TV Kabel.
Bisnis Menggiurkan
Pesatnya pertumbuhan internet di Indonesia sebanding langkah bisnis perusahaan jasa penyedia internet memberikan servis cepat ke konsumen. Pada 2017, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyebut pengguna internet Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa, meningkat dibandingkan tahun 2016 sebesar 132,7 juta jiwa.
Besarnya permintaan internet menjadi salah satu faktor menjamurnya perusahaan telekomunikasi dengan segala infrastruktur tiang dan jaringan TV kabel, baik swasta maupun milik negara. Hal ini diungkapkan Agus Indroyono, Kepala Seksi Kelengkapan Prasarana Jalan dan Jaringan Utilitas dari Suku Dinas Bina Marga Jakarta Selatan.
"Kenapa mereka pasang tiang? Karena lebih mudah. Selain itu, pelanggan juga minta cepat," katanya di gedung Walikota Jakarta Selatan pada akhir Oktober lalu.
Menjamurnya tiang dan kabel, lagi-lagi, bisa Anda jumpai di mana pun—di sekitar tongkrongan, lokasi kerja, atau tempat tinggal Anda, sebagaimana ketika saya menghitung dalam jarak 1 km ada sekitar 30-an tiang tumpuan PLN dalam bisnis menggiurkan ini, yang sebagian besar disewakan untuk perusahaan telekomunikasi swasta. Ini belum termasuk tiang internet milik swasta yang jumlahnya variatif setiap titik. Minimal ada enam tiang dan paling banyak ada 13 tiang.
Tiang-tiang ini ada yang tegak, ada yang doyong, ada yang bersandar pada tiang sebelahnya. Selain itu, kabel-kabel serat optik terjuntai hingga bisa dijangkau tangan anak-anak. Pemandangan macam ini nyaris kita jumpai sehari-hari.
Meski infrastruktur tiang dan kabel semrawut, hal ini ini berbanding terbalik dengan manisnya kue di bisnis jaringan telematika. Laporan tahunan Indosat Ooredoo pada 2017, yang mayoritas sahamnya dikuasi perusahaan telekomunikasi Qatar, menyebutkan pendapatan operasional dari layanan multimedia interaktif, data, dan internet meningkat 9,4% dari Rp4,1 triliun pada 2016 menjadi Rp4,5 triliun pada 2017. Pendapatan ini diraih lewat anak perusahaan PT Indosat Mega Media (IM2) dan PT Aplikanusa Lintasarta (PDF, hlm. 64).
Andi Umar, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha TV Kabel Indonesia, mengatakan semrawutnya kabel serat fiber di Jakarta karena aturan mainnya bisa diakali. Sejak 1996, menurutnya, penguasaan bisnis jaringan telekomunikasi di Indonesia dikuasai para pemilik modal besar.
Ia berkata perusahaan-perusahaan yang punya kekuatan finansial bisa melawan kebijakan pemerintah supaya bisa memonopoli bisnis jaringan multimedia yang bernilai triliunan rupiah. Sementara pemain kecil di bawah asosiasi tempatnya bergabung sulit memasuki bisnis ini.
"Yang diandalkan pengusaha multinasional adalah kekuatan modal, sehingga mengaburkan aturan," ujar Umar.
Umar berkata Asosiasi Pengusaha TV Kabel Indonesia menjalankan bisnisnya di Jakarta bekerjasama dengan ICON+, demi mengurangi tiang dan kabel yang semrawut. Kerja sama ini sudah berjalan sejak 2008. Sementara perusahaan berskala multinasional memasang kabel dan tiang masing-masing seperti MNC Play (milik pengusaha-cum-politikus Hary Tanoesoedibjo), iForte (kelompok usaha Djarum), atau Biznet.
Melanggar Perda?
Sebelum menjamur bisnis jaringan telekomunikasi, pemerintahan DKI Jakarta pada masa Gubernur Sutiyoso melarang pemasangan kabel di atas tanah lewat peraturan daerah Nomor 8 tahun 1999, kecuali untuk jalan dan jembatan layang serta jalan lintas bawah tanah.
Agus Indroyono dari Suku Dinas Bina Marga Jakarta Selatan mengatakan pemerintah Jakarta sudah melarang perusahaan swasta menggunakan jaringan kabel di atas tanah dan izin memasang tiang di Jakarta sudah tak diterbitkan sejak Perda tersebut. Meski demikian, ia mengakui masih ada "perusahaan swasta nakal" yang memasang tiang dan kabel di atas tanah.
Yang menjadi persoalan, menurutnya, keputusan Gubernur Fauzi Bowo pada 2010 tidak membahas soal larangan dalam Perda tahun 1999 itu. Sehingga, kata Indroyono, perusahan-perusahaan swasta telematika ini "bermain di wilayah abu-abu." Ia menyebut bahwa saat ini ada sedikitnya 70 perusahaan jasa internet di Jakarta.
Karena langit Jakarta tambah semrawut oleh kabel-kabel dan tiang-tiang listrik dan internet ini, pada Oktober lalu, Gubernur Anies Bawesdan bersama Manajer Umum PLN Distribusi Jakarta Raya Ikhsan Asaad melakukan blusukan ke Senen dan Kemang. Dari hasil sidak itu, PLN menyatakan "siap mendukung" Pemprov Jakarta memperindah jalur-jalur hijau sekitar Tugu Tani hingga Senen yang akan dibuat taman bermain. PLN juga mendukung upaya Pemprov Jakarta merapihkan kabel telematika yang menumpang kabel listrik PLN di seputar Kemang dan Kota Tua.
Rencana itu dibenarkan oleh Arief Faizal, Kepala Seksi Pengendali Utilitas dari Dinas Bina Marga DKI Jakarta. Ia berkata Pemprov Jakarta akan menghilangkan tiang dari Jalan Kemang Selatan hingga Bangka Raya, yang ditargetkan rampung pada Februari 2019.
"Oktober lalu kami sudah kirimkan surat pemberitahuan penurunan kabel di tiang ke provider dan PLN. Tapi khusus gas dan PDAM tidak," katanya kepada Tirto.
Andi Umar dari Asosiasi Pengusaha TV Kabel Indonesia mendukung kebijakan tersebut. Siapa pun perusahaannya, baik multinasional, lokal dan BUMN (ICON+ dan Telkom) harus tunduk pada aturan Pemda DKI, ujarnya.
Alasannya, jika pemasangan kabel telematika tak ditata sekarang, "jaringan utilitas akan tambah semrawut."
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam