tirto.id - Medio Juni 2011, sewaktu ada di Turin, Italia, saya secara acak memotret sebuah bangunan tua bergaya barok. Tampak indah, terutama karena ia dilintasi lima jalan sekaligus. Pak Tua yang menjaga kios koran tempat saya berdiri berceletuk dengan Bahasa Inggris patah-patah.
“Sayang kabelnya bikin jelek fotomu, ya.”
Yang dia maksud adalah kabel-kabel yang lewat centang perenang di atas bangunan itu. Dari depan bangunan tua, baik dari dekat atau kejauhan, kabel itu memang bikin keseluruhan jalanan khas Mediterania itu terlihat buruk dipandang. Lalu Pak Tua itu menyebutkan jenis-jenis kabel itu dengan gerutuan yang susah didengar kuping.
Tapi apa yang ada di Turin itu tentu tak seberapa jika dibandingkan di sebuah ruas jalan di Hanoi, Vietnam. Pada Desember 2016, sebuah situs berita di Hanoi menurunkan berita tentang buruknya instalasi kabel di ibu kota Vietnam itu.
“Salah satu titik keruwetan kabel hitam di Hanoi dinobatkan sebagai salah satu sistem kabel listrik terburuk di dunia oleh sebuah media kelistrikan di Inggris,” tulisnya dalam paragraf pembuka.
Yang dimaksud media Inggris itu adalah E&T, majalah teknik dan teknologi berbasis di Inggris. Majalah ini mengawali survei dengan menepuk dada lebih dulu, khas kebanggaan orang Inggris: mereka sudah punya “Rules and Regulations for the Prevention of Fire Risk Arising from Electrical Lighting” sejak 1882.
“Tapi apakah standar kelistrikan di seluruh dunia sama seperti standar kami?” tanyanya.
Untuk mencari jawaban itu, pada 2016, E&T mensurvei 138.000 ahli kelistrikan untuk mencari tahu contoh sistem kelistrikan mana yang paling buruk sekaligus paling berbahaya di dunia. Dari pilihan-pilihan para tukang listrik dari 500 tempat, diambil 12 yang terbaik; maksudnya jelas yang terburuk.
Peringkat pertama ternyata jauh dari keruwetan yang dibayangkan: sebuah instalasi listrik di sebuah gedung di Madras, India. Tak ada kabel yang saling membelit satu sama lain. Hanya sebuah kotak kayu kecil dengan bekas terbakar karena korslet, kotak meteran listrik, dan belasan kabel warna-warni yang dipasang seadanya. Tapi justru itu memperlihatkan tak ada standar dalam hal kelistrikan di sana, juga betapa tak peduli warga terhadap keamanan, klaim para tukang listrik itu.
“Meteran itu adalah sumber utama listrik yang dibajak oleh kabel-kabel enggak jelas, kemungkinan datang dari gerai-gerai yang berupaya mencuri listrik,” tulisnya.
India dan Vietnam tak sendiri dalam perkara kekacauan dan ketidakamanan instalasi kabel ini. Indonesia, sebagai negara yang punya banyak bentuk keruwetan lain, dikenal punya titik lintasan kabel yang ruwet. Apalagi di Jakarta yang padat. Kekacauan kabel di udara kerap memakan korban.
Pada September 2017, di tengah hujan yang mengguyur kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, seorang perempuan yang berjalan dengan anaknya meninggal kesetrum karena tersengat kabel yang pembungkusnya terkelupas.
Tirto pernah melakukan penelusuran singkat tentang korban yang meninggal karena kesetrum. Setidaknya dalam lima tahun terakhir, terjadi satu kasus. Ada yang meninggal karena kabel listrik putus dan menempel pada genangan air. Ada yang meregang nyawa karena kesetrum kabel PLN yang menjuntai di tanah. Ada pula yang tewas karena menyentuh antena televisi: kabel listrik di atap rumah korban mengelupas dan menyentuh atap rumah.
Kejadian kabel ruwet ini terjadi di mana saja, tak hanya di negara dunia ketiga. Di Amerika Serikat, misalnya, sampai-sampai ada biro pengacara yang khusus menangani kasus-kasus yang melibatkan electrocution alias kesetrum. Dalam laporan The National Institute for Occupational Safety and Health, kasus kesetrum di AS menewaskan lebih dari 300 orang tiap tahun dan melukai 4.000 orang lain. Kesetrum adalah penyebab kematian tertinggi keenam di AS.
Masalah kelistrikan di AS berbeda. Secara instalasi bisa dibilang jauh lebih tertib dan aman. Sudah jauh melewati masa kelam keruwetan kabel yang tumpang tindih macam di Indonesia. Namun, kabel listrik seringkali putus jika ada badai atau kena pohon tumbang. Ini membuat ribuan rumah tak dialiri listrik.
Pada 2012, The Washington Post menurunkan laporan tentang lebih dari sejuta rumah di Washington yang tak punya aliran listrik selama berhari-hari usai badai Derecho menghajar beberapa titik pusat kelistrikan, juga membuat beberapa tiang listrik tumbang. Setelah badai diikuti mati listrik dalam waktu lama, orang-orang Washington mulai menelepon Pepco selaku suplier listrik. Tuntutannya nyaris sama: pendam kabelmu di dalam tanah agar tak gampang putus bila ada badai.
Solusi: Pendam Kabel di Dalam Tanah?
Ini bukan tuntutan yang sama sekali baru. Dalam laporan Out of Sight, Out of Mind (PDF, 2012) yang dirilis Edison Electric Institute, sudah sejak lama ada ide tentang pemendaman kabel ke bawah tanah. Dulu alasan utamanya estetika. Seperti yang dibilang Pak Tua di Turin: “Kabel yang ruwet bikin pemandangan indah jadi buruk.”
Kemudian isu itu bergeser jadi keamanan dan kenyamanan. Kabel yang dipendam dalam tanah dianggap lebih aman. Selain itu, seiring manusia yang makin bergantung pada listrik, kabel bawah tanah dianggap lebih aman dari gangguan cuaca. Beberapa negara memilih sistem ini.
Di Jerman, sekitar 73 persen kabel tegangan sedang dan 87 persen kabel tegangan rendah ada di bawah tanah. Sistem seperti ini membuat Jerman punya tingkat SAIDI (System Average Interruption Duration Index) tinggi alias jarang mati listrik. Jumlah rata-rata tanpa listrik di Jerman sekitar 20 menit per tahun, melampaui Belanda (30 menit) dan Inggris (70 menit).
Namun sistem kabel bawah tanah bukan tanpa cela. Ketika ada gangguan, akan sangat sulit memperbaikinya dalam waktu cepat. Selain itu, kabel bawah tanah dianggap tidak cocok untuk semua daerah, misalkan untuk daerah rawan gempa bumi seperti Indonesia. Gempa di Christchurch, Selandia Baru, pada 2011 menyebabkan kerusakan sekitar 330 kilometer kabel bawah tanah (PDF).
Masalah utama lain: pemasangan kabel bawah tanah amat mahal.
Kajian Edison Electric Institute pada 2006 menyebutkan biaya pemasangan kabel bawah tanah bisa mencapai 1 juta dolar per 1 mil (1,6 kilometer). Ini 10 kali lebih mahal ketimbang instalasi listrik di udara (overhead). Perusahaan listrik Entergy juga menyebut hal serupa: instalasi listrik bawah tanah jauh lebih berat dan mahal.
Di Jakarta, isu kabel bawah tanah belum jadi isu perbincangan utama perihal kelistrikan. Permasalahan kabel di Jakarta bahkan masih berada dalam taraf kondisi kabel dan standar pemasangan serta perawatan. Juga tiang-tiang kabel ilegal dari perusahaan-perusahaan telematika swasta.
Dalam wawancara dengan Tirto, dosen Teknik Tenaga Listrik Institut Teknologi Bandung Syarif Hidayat mengatakan banyak tiang dan kabel listrik yang tidak memenuhi standar dalam Pedoman Umum Instalasi Listrik (PUIL) dan Standar PLN (SPLN).
Syarif merujuk pada data Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta yang menyebut 58 persen kasus kebakaran di Jakarta disebabkan hubungan arus singkat listrik. Dari kualitas kabel yang jelek, kualitas stop kontak non standar, dan praktik penumpukan kabel.
“Di tempat umum, banyak kasus standar keselamatan yang tidak dipenuhi. PLN juga kekurangan tenaga pengawasan keselamatan,” kata dosen dan peneliti jaringan kabel listrik bawah laut itu.
Editor: Fahri Salam