tirto.id - "Pembentukan anak perusahaan ini (PLN Geothermal) merupakan bagian dari pengembangan organisasi," kata Dirut PLN Fahmi Mochtar periode 2008-2009.
Perseroan PLN hampir satu dekade lalu membentuk anak perusahaan yang bergerak di bidang pembangkit panas bumi, yakni PT PLN Geothermal. Belakangan ini PT PLN Geothermal diwacanakan akan diubah menjadi PLN EBT, khusus mengelola pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT).
Apa yang terjadi dengan PT PLN Geothermal hanya contoh kecil bahwa tubuh organisasi PLN makin membesar dengan hadirnya anak-anak hingga cucu usaha. Pembentukan anak usaha ini awalnya berfokus pada sektor hulu, khususnya di industri pembangkitan yang makin berkembang.
Belakangan anak-anak usaha PLN tak cuma di bidang pembangkit listrik, melainkan pada penyediaan tenaga listrik, perdagangan batu bara, jasa engineering, pengadaan serta konstruksi, lembaga keuangan, pengamanan layanan operasi dan pemeliharaan transmisi, hingga telekomunikasi.
Laman resmi PLN mencatat ada 11 anak usaha PLN antara lain PT Indonesia Power (IP), PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB), PT Pelayanan Listrik Nasional Batam (PT PLN Batam), PT Indonesia Comnets Plus (PT ICON +), PT PLN Tarakan, PT PLN Batubara, PT PLN Geothermal, PT Geo Dipa Energi (PT GDE), PT Prima Layanan Nasional Enjiniring (PLN-E), Majapahit Holding BV, dan PT Haleyora Power.
Ini belum menghitung usaha turunan dari masing-masing anak atau cucu usaha PLN. Indonesia Power, misalnya, punya anak usaha PT Artha Daya Coalindo, bergerak di antaranya di bidang pembongkaran dan pengangkutan batu bara. PLN juga sempat berencana membentuk beberapa perusahaan patungan dengan entitas bisnis baru.
Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja PLN Eko Sumantri mengatakan tahun 1995 anak perusahaan PLN bidang pembangkit dibentuk. Pada awalnya bernama PT PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa-Bali I (PT PLN PJB I). Namun, lima tahun kemudian, PT PLN PJB I berubah nama menjadi PT Indonesia Power (IP).
"Tahun 1990 ke atas, (anak perusahaan) dipersiapkan (mencari) keuntungan," kata Eko saat dihubungi Tirto, kemarin.
Pelbagai produk dan layanan IP sebagai anak usaha PLN juga terus berkembang. Dari penyediaan tenaga listrik, jasa survei, investigasi, desain, konstruksi/pemasangan instalasi, operasi dan pemeliharaan, penyewaan peralatan pembangkitan, serta pendidikan dan pelatihan. Usaha ini terus meluas hingga menyasar pengolahan, pengangkutan dan perdagangan batu bara, gambut, biomas, dan gas alam.
Semua kegiatan itu ditampung oleh anak perusahaan IP yang sekaligus sebagai cucu usaha dari PLN, antara lain PT Cogindo Daya Bersama, PT Artha Daya Coalindo, PT Indo Ridlatama Power, PT Tangkuban Parahu Geothermal Power, dan PT Putra Indotenaga.
Selain itu ada perusahaan asosiasi, yaitu PT Indo Pusaka Berau, PT Perta Daya Gas (usaha patungan), dan dua cucu dari IP atau cicit PLN: PT Rajamandala Elektrika Power dan PT GCL Indotenaga.
PLN juga memiliki anak perusahaan PT PJB. Semula PJB hanya menjalankan bisnis pembangkit energi listrik dari enam Unit Pembangkitan (UP): UP Gresik (2.219 MW), UP Paiton (800 MW), UP Muara Karang (908 MW), UP Muara Tawar (920 MW), UP Cirata (1.008 MW), dan UP Brantas (281 MW).
Kini PJB terus mengembangkan usaha secara berkelanjutan dengan menggeluti bisnis terkait pembangkit tenaga listrik. Kegiatan pengembangan usaha ini meliputi penambahan pembangkit baru, perluasan pasar jasa O&M dan jasa implementasi manajemen aset pembangkit, pembangunan pembangkit baru, dan penyedia material cadang pembangkit FTP-1 se-Indonesia
Dengan segudang pelayanan dan jasa ini, PJB membekukan laba bersih untuk tahun 2015 sebesar Rp3,2 triliun, meningkat dua kali lipat dari tahun 2014 sebesar Rp1,4 triliun. Sedangkan total aset PJB tahun 2015 sebesar Rp195 triliun.
"Pembangkit Jawa Bali merupakan lahan subur. Siapa pun mau (mengelola dan membangun) karena pelanggannya jelas, yakni pabrik-pabrik. Kalau Sumatera, misalnya Palembang, bayar tunggakan banyak. Kalau Jawa-Bali jelas lahan segar," kata Eko Sumantri, Sekjen Serikat Pekerja PLN.
Pesatnya pertumbuhan energi membuat PJB membentuk empat anak perusahaan, antara lain PT PJB Services. PJB Servis membentuk dua anak perusahaan lagi, PT. Mitra Karya Prima dan PT Kompetensi Power Plant.
Anak usaha PJB lain adalah PT Navigat Innovative Indonesia, PT Rekadaya Elektrik (RE), dan PT PJB Investasi. Khusus PT RE, perusahaan ini membentuk anak perusahaan afiliasi, yaitu PT. Rekayasa Industri dan PT Rekind Daya Mamuju. PJB memiliki empat perusahaan afiliasi di bidang ketenagalistrikan, yaitu PT Bajra Daya Sentra Nusa, PT Sumber Energi Sakti Prima, PT Bukit Pembangkit Innovative, dan PT Komipo Pembangkitan Jawa-Bali.
Pelbagai anak usaha PLN lain yaitu PT PLN Batam. Perusahaan ini sebagai Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Umum (PIUKU) dengan wilayah kerja Batam, Rempang, dan Galang. PLN juga punya anak usaha bernama PT ICON+ yang berfokus pada penyediaan jaringan, jasa, dan konten telekomunikasi, khusus untuk mendukung teknologi dan sistem informasi PT PLN dan publik.
Motivasi pembentukan anak dan cucu hingga cicit usaha PLN ini untuk mendukung organisasi PLN. Selain demi efisiensi dan sumber pemasukan PLN di tengah kebutuhan dana untuk terus ekspansi. Persoalan efisiensi ini menjadi momok PLN di tengah tanggung jawab mengelola penyediaan listrik yang sangat kompleks.
Namun, semakin banyak organisasi yang dibentuk, justru tak mudah untuk melakukan pengawasan terhadap gurita bisnis PLN.
BPK pada 2015 lalu mengeluarkan laporan soal kinerja anak-anak usaha BUMN. Anggota III BPK Achsanul Qosasi pernah mengatakan bahwa BPK memberikan catatan kepada Kementerian BUMN bahwa pendirian anak usaha di BUMN cenderung menjadi tempat transaksi yang digunakan untuk kepentingan tertentu. Tentu saja, ini malah jauh dari upaya efisiensi di tubuh BUMN pada umumnya. Di sisi lain, DPR dianggap belum optimal dalam melakukan pengawasan terhadap sekitar 600 anak usaha BUMN.
"Anak usaha BUMN perlu mendapat perhatian khusus agar lebih transparan. Ini bukan intervensi tetapi lebih bagaimana melakukan pembenahan secara menyeluruh," kata Achsanul Qosasi.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Suhendra