tirto.id - "PLN itu sebagai korporasi harus untung agar dapat menjalankan kewajibannya melistriki seluruh wilayah Indonesia," kata Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Juli 2016.
Menurut orang nomor satu di BUMN tersebut, pembangunan infrastruktur kelistrikan seperti pembangkit listrik, jaringan transmisi, jaringan distribusi, gardu induk dan sebagainya membutuhkan dana besar sehingga tidak hanya mengandalkan pemerintah, tetapi mencari investor.
I Made Suprateka, Kepala Satuan Unit Komunikasi Korporat PLN, mengatakan pihaknya membutuhkan biaya agar perusahaan pelat merah tumbuh dan bisa membiayai operasional PLN di seluruh Indonesia. Akan tetapi, pihaknya tetap membuat sebagian kebijakan untuk kewajiban pelayanan publik (PSO) dan sebagian lagi untuk mencari untung.
"Kalau enggak untung gimana bangun listrik lainnya?" kata Suprateka saat ditemui di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Jumat pekan lalu.
Selain itu, PLN menggunakan sejumlah anak perusahaannya untuk mendapatkan kue manis di bidang ketenagalistrikan di Indonesia, salah satunya lewat PT Indonesia Power. Perusahaan yang berdiri pada 1995 ini memiliki bisnis utama pengoperasian pembangkit listrik di Jawa dan Bali seperti PLTU Suralaya unit 1-4 (4x400 MW).
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, PLN memiliki prioritas utama menyediakan listrik kepada masyarakat, meski dibuka juga peluang bagi pemain swasta.
Berdasarkan laporan statistik Ketenagalistrikan tahun 2015, pembangkit tenaga listrik yang sudah terpasang di Indonesia mencapai 55.528,10 MW. Ia terdiri pembangkit PLN sebesar 38.314,23 MW dan non-PLN sebesar 17.213,87 MW.
Masih dalam laporan yang sama, jumlah pelanggan tahun 2015 mencapai 61.167.980. Dibandingkan 2014, angka ini naik 3.674.746 atau 6,39 persen. Dari total konsumen PLN, kelompok rumah tangga ialah pelanggan terbesar, yakni 56.605.260 atau 92,54 persen. Penambahan jumlah pelanggan ini membuat rasio elektrifikasi secara nasional menjadi 88,3%, naik dari posisi 84,3% pada 2014.
Subsidi Silang
PLN menyediakan listrik kepada pelanggan dari Sabang sampai Merauke. Namun, setiap daerah memiliki biaya pokok produksi listrik yang berbeda. Contohnya Jawa Barat dengan biaya pokok produksi listrik terendah, yakni Rp866/kWh. Sebaliknya, Fak Fak, Papua Barat, adalah yang termahal, sebesar Rp2.332/kWh.
Subsidi pemerintah buat rumah tangga 450 volt ampere (VA) sebesar Rp1.043/kWh. Untuk golongan 900 VA, yang secara bertahap dicabut subsidinya sejak awal tahun ini, pemerintah mengalokasikan subsidi Rp875/kWh.
Dari biaya pokok yang berbeda itu PLN menerapkan apa yang disebut "subsidi silang." Di Jakarta, misalnya, biaya pokok produksi listriknya sebesar Rp867/kWh. Dengan tarif Rp1.460/kWh, PLN bisa ambl untung sebesar Rp593/kWh. Dengan jumlah penduduk Jakarta dan akses listrik yang lebih besar ketimbang Papua, laba PLN dari selisih antara tarif dan biaya produksi ini bisa menutupi kerugian operasional mereka di daerah lain.
"Secara bisnis, PLN memiliki subisidi silang. Bisnis di daerah terpencil memiliki beban (kerugian), tetapi memiliki keuntungan di sektor industri. Keuntungan itu digunakan untuk menutup subsidi wilayah yang lain," kata Made.
Rencananya, laba itu akan dipakai PLN untuk mengaliri penerangan di 10.613 desa seluruh Indonesia yang belum mendapatkan pasokan daya listrik. Rencana ini akan dilakukan secara bertahap selama selama tiga tahun ke depan.
Menurut Iwa Garniwa dari Universitas Indonesia, masalah klasik PLN adalah biaya pokok produksi lebih tinggi dibanding harga jual kepada pelanggan. Untuk Papua, misalnya, pembangunan listrik lebih mahal dan menggunakan diesel. Sementara untuk Jawa, biaya produksi lebih murah karena menggunakan bahan bakar batu bara.
Sebagai gambaran, harga produksi per kWh tahun 2016 untuk batu bara sebesar Rp333, panas bumi Rp716, gas alam Rp897, tenaga air Rp23, dan yang tertinggi adalah bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp1.424. Mayoritas pembangkit listrik masih mengandalkan sumber batu bara, salah satu bahan bakar yang paling tidak ramah lingkungan.
(Baca: Menanti Akhir dari Binis Batu Bara)
Meski mayoritas bahan bakar pembangkit lebih murah, lanjut Iwa, PLN selalu mengklaim rugi padahal tidak demikian. Pasalnya, PLN mendapatkan subsidi oleh pemerintah setiap tahun. Data Kementerian ESDM menyebutkan, subsidi pemerintah kepada PLN tahun 2014 mencapai Rp99,3 triliun, Rp56,55 triliun pada 2015, Rp59,23 triliun pada 2016, dan Rp44,98 triliun pada 2017.
"Jadi kalau sekarang rugi, sebenarnya enggak rugi. Karena sudah ada namanya subsidi dari pemerintah. Setiap tahun ada anggaran yang dikasih pemerintah," kata Iwa.
Baca periksa data Tirto mengenai sumber utama energi pembangkit listrik PLN yang masih rendah mengandalkan energi baru dan terbarukan
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam