tirto.id - Sebuah selendang coklat terlilit di leher Sudiro Andi Wiguno. Wakil Bendahara Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini ditemukan tewas oleh pembantunya pada pagi buta di kediamannya di Menteng Residence, Pondok Ranji, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Rabu, 23 Januari 2013.
Sudiro merupakan Direktur Utama PT Dayaindo Resources Tbk yang bergerak di bisnis batu bara. Saat itu, bisnis batu bara memang sedang berdarah-darah, tak sedikit perusahaan batu bara menangguk utang dalam jumlah besar, tak terkecuali perusahaan yang dipimpin Sudiro. PT Dayaindo terbelit utang hingga ratusan miliar rupiah hingga sempat digugat pailit.
Kasus bunuh diri akibat bisnis batu bara kembali berulang. Belum lama ini, seorang warga negara asing bernama Jae Won Huh (38) tewas setelah lompat dari Lantai 29 Apartemen SCBD Suites, Jakarta Selatan. Pihak kepolisian menduga Jae Won bunuh diri juga karena terlilit utang miliaran rupiah terkait bisnis batu baranya.
Lain lagi kisah Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada di bawah naungan Cipaganti Group yang juga sempat bermasalah. Dana kelolaan yang diputar di investasi pertambangan batu bara mandek pada 2014, dan akhirnya belum lama ini dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Jatuhnya harga batu bara sudah menelan banyak korban. Padahal di masa jayanya, banyak investor yang menangguk untung cukup besar. Itu terjadi pada periode emas 2010-2011 ketika harga batu bara mencapai titik puncaknya. Kini, harga batu bara sudah turun hingga 50 persen. Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) pada 2009 harga batu bara masih 70,7 dolar per ton, lalu puncaknya terjadi pada 2011 menembus 118,4 dolar per ton, titik terendah pada tahun lalu mencapai 60,1 dolar per ton.
Rontoknya harga memicu keruntuhan bisnis batu bara yang menyisakan rongsokan masalah beban utang perusahaan batu bara kepada perbankan maupun kreditur lainnya. Utang yang tak bisa dikelola dengan baik akhirnya melahirkan kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) di sektor perbankan. Inilah yang kini sedang diwaspadai oleh para pemangku kepentingan, agar tidak menimbulkan efek domino.
Kredit Bermasalah Batu Bara
Kredit bermasalah sektor batu bara termasuk yang naik pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dari total kredit yang disalurkan perbankan per September 2016 sebesar Rp 4.243,803 triliun, ada kredit bermasalah Rp7,412 triliun dari sektor pertambangan dan penggalian. Ini setara dengan NPL 6,69 persen di sektor tersebut.
Persentase kredit macet ini sudah hampir naik dua kali lipat dibandingkan 2013 yang masih 3,80 persen. Bandingkan dengan NPL sektor pertambangan pada September 2009 yang hanya 1,75 persen. Saat itu, bisnis batu bara sedang mencapai puncaknya. Pertumbuhan NPL tertinggi terjadi tiga tahun setelah masa kejayaan batu bara berakhir, pada 2014 pertumbuhan NPL pertambangan per September tahun berjalan (y-o-y) naik 155,09 persen.
Torehan buruk ini, membuat sektor pertambangan termasuk batu bara menjadi masuk “tanda merah” untuk mendapat kredit perbankan, seperti yang terjadi di kawasan produksi batu bara di Kalimantan Timur.
"Harus waspada karena sekarang tingkat Non-Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah sektor pertambangan dan penggalian di Provinsi Kaltim berdasarkan catatan kami sudah lebih dari 20 persen," ujar Deputi Kepala Bank Indonesia Kpw Provinsi Kaltim Harry Aginta pada Mei lalu, dikutip dari Antara.
Kredit macet yang terus naik dan harga batu bara yang sudah terpangkas setengahnya beriringan dengan melorotnya produksi batu bara. Berdasarkan data Pusdatin Kementerian ESDM dari 50 produsen batu bara swasta dan BUMN, produksi batu bara 2011 sempat mencapai 255 juta ton, setelah itu mengalami penurunan hingga 241 juta ton pada 2014. Produksi batu bara yang turun, dan harga yang jatuh hingga nyaris 50 persen, berimbas pada pendapatan dan keuntungan perusahaan batu bara yang terkoreksi cukup dalam.
Berdasarkan riset tirto.id, pada 2015 dari 11 perusahaan batu bara seperti Adaro, Atlas Resource, Baramulti Suksessarana, Bayan Resource, Darma Henwa, Delta Dunia Makmur, Harum Energy, Indo Tambangraya, Resource Alam Indonesia, Toba Bara Sejahtera, dan Petrosea semuanya mengalami penurunan pendapatan dalam rentang 2 persen hingga 51 persen. Empat dari sebelas perusahaan, tercatat mengalami kerugian pada tahun yang sama.
Ini tentunya berdampak pada jumlah utang bagi perusahaan yang bersangkutan. Atlas Resources misalnya, mengalami kerugian pada 2015 hingga 17 juta dolar AS, pada tahun yang sama utangnya naik 26 persen jadi 270 juta dolar AS. Rata-rata perusahaan-perusahaan tersebut mengantongi utang cukup besar, Resource Alam Indonesia memiliki utang 20 juta dolar, sementara itu Adaro tercatat punya utang terbanyak hingga 2,6 miliar dolar AS.
Tahun lalu Presiden Jokowi sudah mengingatkan bahwa ekonomi Indonesia sudah tak bisa lagi mengandalkan sektor komoditas yang rawan terhadap goncangan, dan ini harus menjadi pegangan para pengusaha batu bara sejak dini yang selama ini hanya bermodal mengeruk kulit bumi.
"Ekonomi Indonesia sekarang ini masih dalam proses transisi yang fundamental dari ekonomi yang terlalu mengandalkan ekspor komoditas mentah, dan akan kita alihkan kepada perekonomian yang lebih menciptakan nilai tambah," kata Presiden Jokowi Maret tahun lalu.
Para pebisnis batu bara sepertinya harus mulai berpikir ulang untuk mendiversifikasi usahanya.