tirto.id - Mahdalena kesal saat ditanya soal tarif listrik. Sepulang belanja dari warung, wajahnya masam dan mulutnya merepet bak petasan. Bukan tanpa sebab. Sejak pemerintah mengurangi subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA awal tahun ini, Lena bilang tagihan listriknya membengkak hingga lebih dari 100 persen.
Saat listrik masih disubsidi, Lena hanya membayar sekira Rp70 ribu sampai Rp80 ribu per bulan untuk melunasi tagihan listrik. Tapi kini ia harus mengeluarkan paling sedikit Rp200 ribu per bulan. Bagi istri guru honor dengan gaji Rp1.5 juta per bulan dan dua orang anak, uang seperak dua perak sangat besar. Apalagi di tengah tinggi harga-harga sembako sekarang ini.
“Pemerintah terlalu!” kata warga Jagakarsa Jakarta Selatan ini.
Keberatan senada disampaikan Arka. Ibu rumah tangga yang tinggal di Depok, Jawa Barat, ini bilang tagihan listriknya berlipat hingga lebih 100 persen. Dari biasanya sekitar Rp85 ribu per bulan menjadi kini Rp175 ribu. “Sangat memberatkan,” ujar ibu satu anak ini.
Arka tidak paham dengan mekanisme penentuan tarif listrik berdasarkan nilai tukar dolar Amerika Serikat yang ditetapkan pemerintah. Yang dia tahu, tagihan listrik terus naik meski nilai tukar dolar atas rupiah kadang melemah. “Informasinya kalau tarif turun enggak jelas,” kata Arka.
Sakitnya disengat listrik nonsubsidi tak cuma dirasakan kaum ibu. Igun, misalnya, seorang buruh serabutan, tak habis mengerti mengapa pemerintah terus menerus mencabut subsidi. Padahal di saat yang sama harga sembako semakin mahal dan pendapat masyarakat relatif tetap.
“Kenaikan tarif listrik meresahkan. Bensin sudah tidak subsidi. Sembako mahal. Pendapatan tetap, saya semakin tidak sanggup membayar semua ini,” rintih warga Srengseng Sawah, Jakarta Selatan ini.
Meski kondisi ekonominya kian sulit, Igun tidak punya pilihan. Janji pemerintah mempertahankan subsidi listrik 900 VA untuk rumah tangga kurang mampu juga tak pernah ia rasakan. “Sampai sekarang belum ada yang ke rumah saya,” ujarnya seraya berharap subisidi listrik dan BBM kembali diadakan.
Alasan Mencabut Subsidi
Kebijakan pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencabut subsidi listrik bagi sebagian besar pelanggan 900 VA telah disetujui Komisi Energi (VII) DPR sejak September tahun lalu. Namun, eksekusi pelaksanaannya baru dilakukan awal tahun ini.
Pemerintah beralasan, subsidi listrik bagi pelanggan 900 VA tidak tepat sasaran. Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang digunakan PLN pada Januari 2016 menyebut, dari sekitar 23,04 juta rumah tangga berdaya 900 VA, hanya sekitar 4,15 juta rumah tangga yang layak diberikan subsidi.
Selain rumah tangga golongan 900 VA itu, pemerintah masih mensubsidi golongan 450 VA. Data konsumen PLN per Oktober 2016, golongan 450 VA berjumlah 23,14 juta. Bila ditotal, kedua golongan ini mewakili mayoritas masyarakat Indonesia yang menikmati listrik. Jumlahnya 73 persen dari total 63,25 juta konsumen PLN.
Pelanggan 900 VA yang subsidinya dicabut akan dikenakan tarif penyesuaian berdasarkan fluktuasi harga minyak mentah (ICP), dan perubahan nilai tukar rupiah terhadap kurs dolar Amerika Serikat, dan tingkat inflasi bulanan. Ini seperti yang berlaku bagi pelanggan golongan 1.300 VA serta 11 golongan nonsubsidi lain.
Kementerian ESDM telah menghitung perkiraan pengeluaran pelanggan 900 VA nonsubsidi. Menurutnya, rata-rata pelanggan 900 VA mengonsumsi listrik sebesar 126 kWh (kilowatt-jam) per bulan. Dengan harga subsidi Rp586/kWh berarti pelanggan mesti membayar Rp74 ribu/bulan. Namun, dengan adanya penerapan subsidi tepat sasaran, tarif disesuaikan menjadi Rp1.352/kWh. Sehingga tagihan listrik menjadi Rp170 ribu/bulan atau naik lebih dari 100 persen.
Supaya tidak tidak memberatkan masyarakat, pemerintah melakukan penyesuaian tarif dasar listrik itu dalam 3 tahap: Januari, Maret, dan Mei. Rencana pemerintah, mulai Juli tahun ini, rumah tangga dengan golongan 900 VA yang dianggap mampu akan dicabut subsidi hingga seterusnya.
Sepanjang 2016, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi listrik sebesar Rp58 triliun. ESDM memperkirakan, penerapan subsidi tepat sasaran bagi masyarakat mampu golongan 900 VA bisa menghemat sekitar Rp13 triliun. Sehingga, pada 2017, pemerintah bisa menekan alokasi subsidi listrik menjadi Rp45 triliun.
Teori pemerintah, penghematan subsidi berguna untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dalam negeri. Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi menyebut penghematan Rp13 triliun akan digunakan untuk mempercepat penyediaan tenaga listrik bagi 7 juta rumah tangga tanpa listrik di daerah perbatasan, tertinggal, dan terpencil.
“Dengan demikian, diharapkan akhir tahun 2019 sedikitnya rasio elektrifikasi dapat dicapai sebesar 97,35 persen, atau dengan kondisi optimistis, rasio elektrifikasi dapat dicapai hampir 99 persen,” ujarnya.
Dampak Subsidi
Siasat pemerintah mencabut subsidi bagi pelanggan 900 VA secara bertahap cukup cerdik. Sejak Januari hingga Maret 2017, tarif listrik sudah dinaikkan 30 persen selama dua kali, dari Rp605/kWh menjadi Rp791/kWh lalu Rp1.034/kWh. Yang terakhir saat 1 Me1 lalu, bertepatan peringatan hari buruh internasional, tarif dasar listrik kembali dinaikkan menjadi Rp1.352/kWh.
Pengamat Energi dari Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan pencabutan subsidi di sektor energi, terutama listrik dan BBM, tidak lepas dari ambisi pemerintah membangun infrastruktur tetapi terkendala dana. Menurutnya, subsidi energi menjadi salah satu penyumbang terbesar terkurasnya dana APBN.
“Periode (pemerintahan) sebelumnya, belanja subsidi energi, baik listrik maupun BBM, setahun menghabiskan hampir 20 persen hingga 25 persen APBN,” ujar Fabby.
Fabby mengakui pencabutan subsidi 900 VA secara bertahap efektif menekan dampak inflasi. Hal ini karena masyarakat tidak merasakan dampak kenaikan tarif sekaligus. Sumbangan inflasi yang kecil juga karena kenaikan tarif listrik hanya menyasar rumah tangga mampu, bukan kelompok industri atau bisnis yang menjadikan listrik sebagai salah satu komponen produksi. “Efek ekonominya tidak terlalu besar,” kata Fabby.
Kendati begitu, Fabby mengingatkan pencabutan subsidi secara menyeluruh bisa berdampak terhadap menurunnya daya beli masyarakat. Terutama masyarakat golongan menengah ke bawah yang tidak mengalami peningkatan pendapatan. Untuk itu, Fabby meminta pemerintah memastikan jumlah pelanggan PLN yang berhak menerima subsidi dan yang tidak.
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto menyebut, laju inflasi Februari 2017 sebesar 0,23 persen secara bulanan atau month-to-month sebesar 3,83 persen secara tahunan. Ia mengatakan kenaikan tarif listrik memberi andil sebesar 0,11 persen terhadap inflasi.
“Penyebab inflasi karena penyesuaian subsidi listrik bagi rumah tangga dengan daya 900 VA, yang membayar dengan pasca-bayar,” kata Suhariyanto, dikutip Antara.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PT PLN I Made Suprateka mengakui pihaknya masih terus mencocokkan data pelanggan mampu dan kurang mampu di golongan 900 VA. Menurut Made, warga kurang mampu yang tidak mendapat subsidi bisa melakukan pengaduan untuk diverifikasi dan didata ulang. Sehingga mereka bisa tetap membayar sesuai tarif Rp605/kWh.
Mekanisme pengaduan yang bisa ditempuh masyarakat adalah dengan mengisi formulir perseta subsidi listrik di kelurahan, kantor desa, atau mengunduhnya melalui lewat lama subsidi.djk.esdm.go.id. Selanjutnya, pengaduan akan diteruskan ke kecamatan untuk diverifikasi oleh tim pengentasan kemiskinan (TNP2K) dari Kementerian Sosial. Persoalannya, tidak ada penjelasan kapan pengaduan itu akan mendapat tanggapan.
Sularsi dari Divisi Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sepakat jika subsidi listrik bagi masyarakat mampu dialihkan untuk membangun infrastruktur listrik di daerah yang belum diterangi listrik. Menurutnya, konsumsi listrik di Jawa, khususnya Jakarta, sangat timpang dari daerah-daerah di luar Jawa.
“Jakarta itu tidak solider dengan saudara di daerah. Kita (orang Jakarta) di pohon aja ada lampunya. Sementara di daerah, daya saja tidak ada,” kata Sularsi.
Kendati begitu, bukan berarti PLN nihil kritik. Sularsi mengatakan, pengaduan konsumen terhadap PLN melalui YLKI semakin menurun. Tapi ini bukan lantaran kinerja PLN lebih baik, melainkan masyarakat bosan dengan pengaduan yang cenderung tanpa respons.
Dalam sejumlah kasus, kata Sularsi, masyarakat sedikit pilihan saat menghadapi buruknya layanan maupun kebijakan PLN. “Pengaduan PLN menurun karena tidak ada solusi. PLN memonopoli (kebutuhan listrik rakyat). Suka tidak suka, masyarakat harus terima,” katanya.
Sejumlah keluhan konsumen terhadap PLN misalnya mengenai pelanggan 450 VA yang tidak boleh menaikkan daya menjadi 900 VA. Sularsi mengatakan, hanya pelanggan 450 VA dengan rumah semipermanen yang boleh menaikkan daya menjadi 900 VA. Di luar itu, pelanggan 450 VA hanya boleh menaikkan daya menjadi 1.300 VA. Padahal, kata Sularsi, tidak semua pemilik rumah permanen mampu membayar tarif sebesar Rp1.467/kWh untuk golongan 1.300 VA.
“Ini tidak fair,” ujarnya.
Sularsi berharap PLN bersungguh-sungguh memperbaiki mutu pelayanannya dalam bentuk pemberian kompensasi atas kerugian yang dihadapi konsumen. Terutama bagi para pelanggan di luar pulau Jawa yang sering menjadi korban pemadaman.
“Misalnya jika terjadi tiga kali pemadaman, masyarakat diberi kebebasan dari membayar tagihan,” katanya.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Fahri Salam