Menuju konten utama

Seberapa Buruk Kondisi Keuangan PLN?

Kondisi keuangan PLN merupakan salah satu sumber risiko fiskal keuangan pemerintah sehingga menjadi perhatian menteri keuangan.

Seberapa Buruk Kondisi Keuangan PLN?
Petugas PLN Area Bulungan Distribusi Jakarta Raya melakukan penyambungan penambahan daya pelanggan 1300 VA menjadi 2200 VA di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (20/6). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - “Awam kaget, tapi kami tidak.”

Dengan wajah tenang, Sofyan Basir mengulang ucapannya di akhir-akhir sesi diskusi di sebuah restoran kawasan Senopati Kamis malam (28/9). Dirut PT PLN ini sempat memecah suasana obrolan lebih cair dengan bercerita pengalamannya yang pernah memimpin perusahaan sebagai pemberi kredit terbesar, dan harus menjadi nakhoda PLN yang nasibnya justru sebagai perusahaan dengan utang terbesar.

Pekan lalu memang jadi hari-hari yang bikin sibuk sang mantan bos BRI ini untuk menjelaskan ke media soal bocornya surat Menteri Keuangan Sri Mulyani Nomor‎ S-781/MK.08/2017 yang berisi peringatan “risiko keuangan negara atas penugasan infrastruktur ketenagalistrikan” tertanggal 19 September lalu.

“Menteri keuangan menyampaikan hal itu biasa, surat itu kalau sampai ke kami suatu yang normal.”

Sofyan mengaku surat itu lebih dahulu bocor ke publik sebelum PLN menerima secara resmi, dari surat yang juga ditembuskan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Ia juga menegaskan pihak-pihak seperti bank yang selama ini menjadi kreditur PLN tak mempertanyakan persoalan ini. Namun, perlu diingat, utang PLN bukan hanya kepada bank saja, tapi juga pemegang obligasi atau bond holder di pasar global.

Sofyan tetap percaya diri soal kondisi keuangan PLN terkini yang menurutnya masih punya likuiditas Rp63 triliun, plafon pinjaman untuk modal kerja di perbankan Rp38 triliun. Selain itu, ekuitas PLN mencapai Rp900 triliun, dan aset PLN hingga Rp1.300 triliun, diklaimnya jadi yang terbesar di Indonesia.

“Kita masih bisa pinjam Rp2.000 triliun," kata Sofyan.

Namun, persoalan utang pula yang membuat Sri Mulyani mengirim “surat peringatan” kepada PLN. Performa keuangan PLN dalam tiga tahun terakhir ini terus mengalami penurunan sejak mendapatkan tugas dari pemerintah untuk mendukung program listrik 35.000 MW. Sorotan Sri Mulyani terkait nilai kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman PLN yang terus membesar, tapi tidak didukung oleh pertumbuhan kas bersih operasi.

Gara-gara hal tersebut, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus mengajukan keringanan syarat (waiver) kepada pemberi kredit (lender) PLN dalam tiga tahun terakhir ini. Hal itu bertujuan agar pinjaman korporasi yang dijamin pemerintah itu tidak gagal bayar atau cross default. Kreditur PLN seperti Bank Dunia memberikan perjanjian atau covenant soal debt service coverage ratio (DSCR) minimal 1,5 kali.

“Jadi, kami yang punya kewajiban cicilan sama bunga, tapi harus didukung oleh 1,5 kali revenue," katanya.

Saat ini, DSCR PLN berada di bawah covenant yang disepakati, tapi bisa ditingkatkan sampai akhir tahun dengan berbagai upaya termasuk efisiensi selama empat bulan ke depan. Namun, walaupun masih di bawah syarat pemberi kredit, Sofyan menegaskan bukan berarti PLN tak bisa memenuhi terhadap kewajiban utang.

Infografik PLN

Utang PLN dan Revisi Program 35.000 MW

PLN memang mau tak mau harus melakukan efisiensi di tengah keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik semua golongan hingga akhir tahun ini. Dari sisi pendapatan tidak meningkat, sementara dari sisi pengeluaran terus bertambah. Salah satu risiko adalah dari kenaikan harga batu bara. Di sisi lain, pertumbuhan volume penjualan listrik hanya mengalami kenaikan 1,17 persen jadi 108,4 Terra Watt hour (TWh) pada semester I-2017. Kondisi ini berarti ada perlambatan dibandingkan tahun lalu yang sempat tumbuh 7,8 persen.

“Jadi karena tarif listrik tidak naik dan batu bara naik, lalu beliau (Sri Mulyani) mengingatkan,” kata Sofyan.

Baca juga: Disengat Tarif Listrik Nonsubsidi

Peringatan Sri Mulyani memang sangat beralasan. Bila ditelaah lebih lanjut, profil jatuh tempo pinjaman PLN, kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman PLN masih akan meningkat lagi hingga beberapa tahun mendatang.

Berdasarkan laporan keuangan PLN pada semester I-2017, jumlah liabilitas atau kewajiban PLN tercatat sebesar Rp420,5 triliun, naik 6,79 persen dari periode yang sama tahun lalu. Dari total liabilitas itu, liabilitas jangka panjang PLN tercatat Rp299,36 triliun atau naik 10 persen. Sisanya kewajiban jangka pendek sekitar Rp121 triliun.

Dari sisi pendapatan, PLN memang mencatatkan pertumbuhan sekitar 13 persen atau meraup Rp122,47 triliun. Sayangnya, laba perseroan hanya tercatat sebesar Rp2,25 triliun, turun 72 persen. Penurunan laba disebabkan beban usaha yang mencapai Rp128,86 triliun, naik 7 persen ditambah beban keuangan Rp10,2 triliun, naik 3,13 persen. Lalu, beban pajak Rp2,73 triliun naik 20 kali lipat, dan beban lain-lain Rp2,8 triliun.

Analis Recapital Sekuritas Kiswoyo Adi Joe mengatakan laporan keuangan PLN pada paruh pertama tahun ini menunjukkan kinerja yang kurang sehat. Keuntungan PLN masih bertumpu dari subsidi pemerintah. Tahun ini, PLN mengandalkan subsidi tagihan tahun tertunda ada sekitar Rp18 triliun dan alokasi subsidi listrik 2017 sebesar Rp51 triliun

“Kalau enggak ada subsidi, pendapatan PLN itu lebih kecil dari beban usaha atau rugi usaha. Tapi memang mau bagaimana lagi, ini dilema kita. Untuk menghubungkan listrik hingga ke pelosok daerah itu berat ongkosnya,” katanya kepada Tirto.

Kiswoyo menambahkan bahwa PLN perlu segera mendapatkan solusi dari pemerintah guna memperbaiki kinerja keuangannya. Apalagi, utang PLN saat ini, baik jangka pendek maupun jangka panjang juga lebih besar dari nilai aset lancar.

Baca juga: Gurita Anak dan Cicit Usaha PLN

Pemenuhan kewajiban pinjaman oleh PLN bakal sulit kalau hanya mengandalkan aset lancar. Dengan kata lain, PLN bakal terus melakukan pembayaran utang dengan pinjaman baru alias refinancing, selama aset lancar masih lebih kecil dari utang.

Dengan kondisi keuangan PLN seperti itu, maka peringatan menteri keuangan memang sangat wajar. Untuk mengantisipasi risiko gagal bayar itu, Sri Mulyani meminta Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN dapat mengeluarkan kebijakan penurunan biaya produksi tenaga listrik, sekaligus mendorong PLN untuk melakukan efisiensi biaya, khususnya energi primer. Ia juga meminta target penyelesaian investasi PLN dalam program 35.000 MW dapat disesuaikan. Hal ini juga bertujuan untuk menjaga keberlanjutan fiskal APBN pada tahun-tahun berikutnya.

Sementara, Menteri BUMN Rini Soemarno menilai surat dari menteri keuangan kepada Kementerian BUMN merupakan hal yang normal. Sebagai menteri keuangan, sudah menjadi kewajibannya untuk mengingatkan, terutama yang menyangkut fiskal APBN.

“Saya kira ini natural bagi menteri keuangan untuk memberikan peringatan ke kita. Menteri keuangan memang lebih khawatir ketimbang saya. Namun, kami tahu dengan pasti apa yang sedang kami lakukan,” tuturnya kepada Tirto.

Menteri BUMN menegaskan porsi pembangunan pembangkit listrik sebesar 9.700 MW masih akan tetap dikerjakan PLN, termasuk transmisi dan gardu induk. Untuk merealisasikan itu, PLN masih akan tetap menggunakan utang. Selain itu kepemilikan utang atau leverage di PLN harus dijaga. Begitu juga dengan rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio. Selain itu, PLN juga harus bisa memastikan bahwa aset yang diinvestasikan harus berharga.

“Umpamanya itu powerplant. Ya itu harus bisa jalan, bisa memproduksi listrik dengan harga yang efisien dan memadai, sehingga kalau perlu aset itu kami jual, ditawarkan ke swasta. Enggak masalah,” ujarnya.

Di lain pihak, Kementerian ESDM dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman sepakat bahwa target penyelesaian pengadaan 35.000 MW perlu direvisi karena saat ditetapkan menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi 6-7 persen. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan target penyediaan listrik hingga 35.000 MW pada 2019 perlu disesuaikan mengingat pertumbuhan ekonomi saat ini hanya sekitar 5-6 persen.

Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, jumlah pembangkit listrik yang bisa dibangun hingga 2019 hanya mencapai 20.000-20.000 MW. Dengan kata lain, target penambahan 35.000 MW pada 2019 bisa dibilang tidak terwujud dengan dalih kebutuhan yang diproyeksikan akan lebih rendah. Bagi PLN ini tentu jadi ruang napas untuk menata kembali keuangan PLN.

Baca juga artikel terkait LISTRIK atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra