tirto.id - Krisis iklim menjadi persoalan besar yang dihadapi umat manusia sekarang. Kondisi ini menuntut banyak perubahan, terutama di sektor industri dan bisnis. Sebab sektor industri dan bisnis menjadi salah satu sektor penyumbang gas emisi rumah kaca yang membuat suhu bumi terus meningkat.
Demi menjaga agar kenaikan suhu bumi tidak melesat tinggi, berbagai inisiatif dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya Climate Solutions Partnership (CSP).
CSP merupakan kolaborasi filantropik yang berlangsung sejak 2020, diinisiasi oleh WRI Indonesia, WWF, dan HSBC. Kolaborasi ini fokus membantu industri, terutama di Indonesia, agar bertindak nyata mengurangi emisi karbon dan beralih menjadi industri hijau.
Arief Wijaya, Managing Director WRI Indonesia, menyebut 34 persen emisi gas rumah kaca nasional berasal dari sektor industri. Tingginya angka emisi gas rumah kaca dari sektor industri ini memang sebanding dengan peran mereka sebagai penggerak utama perekonomian nasional.
“Industri manufaktur sendiri berkontribusi sekitar 19 persen terhadap PDB nasional. Jadi, kalau kita lihat kontribusi terhadap PDB itu signifikan, emisinya pun signifikan,” tutur Arief di Jakarta, Kamis (12/6).
Hal ini menjadi tantangan. Sebab, kita tahu bahwa Presiden Prabowo Subianto di era pemerintahannya ini telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen. Di sisi lain, pemerintah juga memasang target Net Zero Emission pada 2060.
Arief menilai kedua hal tersebut bisa diupayakan berbarengan, terutama jika sektor industri memiliki komitmen untuk bersama-sama mengurangi emisi dan melakukan dekarbonisasi.
“Ini bukan hanya soal mengurangi emisi sebenarnya, tetapi juga bagaimana dekarbonisasi industri ini bisa menciptakan lapangan kerja baru dan bisa boosting green economy, ekonomi yang lebih berkelanjutan,” kata Arief.
Arief menambahkan, di level global, permintaan terhadap produk atau jasa yang berkelanjutan, hijau, dan ramah lingkungan peluangnya semakin besar dan terbuka. Dalam konteks itulah CSP memainkan peran, termasuk menghubungkan para stakeholder agar saling terhubung mewujudkan target dekarbonisasi.
“Menurut kami, hal paling penting dari inisiatif Climate Solutions Partnership adalah mendorong kolaborasi lintas sektor,” sambung Arief.
Sebagai contoh, selama lima tahun beroperasi, CSP bekerja sama dengan banyak pelaku industri untuk melakukan dekarbonisasi, termasuk kerja sama dengan Kamar Dagang Indonesia (KADIN), melalui KADIN Net Zero Hub (NZH).
“CSP ini inklusif, bukan hanya perusahaan besar yang dilibatkan, tetapi juga perusahaan kecil dan menengah. Dengan CSP, kami mendapati perusahaan-perusahaan kami real bisa mendapatkan daya saing lebih baik,” ungkap Anthony Utomo, Ketua Harian Kelompok Kerja Transisi Energi KADIN, Kamis (12/6).
Dorong Industri Tinggalkan Batu Bara
Ketua Pengurus Yayasan dan CEO WWF Indonesia, Aditya Bayunanda, menyebut bahwa 80 persen kebutuhan industri adalah untuk panas atau thermal. Untuk itulah CSP mendorong agar industri beralih meninggalkan batu bara dan beralih ke energi terbarukan, salah satu opsinya adalah menggunakan biomassa.
Salah satu pelaku industri yang merasakan kontribusi CSP terhadap transisi energi dari batu bara adalah PT Kahatex Majalaya di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Perusahaan tekstil ini bergabung dengan inisiatif CSP sejak 2021 atas rekomendasi merek global H&M, salah satu mitra mereka.
“H&M merekomendasikan kami untuk mengikuti program CSP yang di dalamnya ada WRI, WWF, dan HSBC,” ungkap Herdi Orlando Sitompul, Energy Compliance PT Kahatex Majalaya, kepada Tirto.id, Kamis (12/6).
Herdi menjelaskan, CSP memberi pengetahuan teknis kepada PT Kahatex Majalaya agar menggunakan biomassa. Saat ini, sumber energi yang digunakan untuk operasional PT Kahatex Majalaya bersumber dari cangkang kelapa sawit.
“Kami sangat terbantu oleh CSP, karena mereka bisa merekomendasikan jenis-jenis biomassa yang bisa kami gunakan untuk pembakaran. Mulai dari wood pallet, briket kayu putih, sekam padi, batok kelapa, dan terakhir cangkang kelapa sawit,” sambung Herdi.
Herdi menyebut transisi energi dari batu bara ke biomassa dilakukan secara bertahap dan melalui mekanisme trial and error.
“Awalnya hanya 10 persen, 20 persen, kemudian 30 persen. Sejak pertengahan 2023, kami sudah sudah 100 persen menggunakan biomassa, yakni cangkang sawit, dan cangkang sawitnya juga tersertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil),” sambung Herdi.
Herdi mengakui, dari segi biaya produksi, menggunakan biomassa lebih mahal ketimbang menggunakan batu bara. Namun persoalan itu bisa dikesampingkan.
“Untuk masa depan dan industri yang berkelanjutan, menggunakan energi bersih saat ini sudah menjadi keharusan,” pungkas Herdi.
Salah satu tantangan dalam mewujudkan transisi energi memang perkara pembiayaan. CSP hadir untuk mengupayakan penyelesaian atas tantangan tersebut, dan oleh karena itu pula HSBC tergabung di dalamnya.
“Risiko lingkungan adalah juga risiko finansial,” ungkap Francois de Maricourt, President Director HSBC Indonesia, “Kamis (12/6).
Francois menerangkan, bagi HSBC, CSP merupakan bagian dari strategi kesejahteraan global untuk mencapai net zero dalam portofolio keuangan mereka tahun 2050. Maka, seiring munculnya target transisi energi di banyak negara, termasuk Indonesia, HSBC berkomitmen memberi dukungan.
“Kami bangga mendukung Climate Solutions Partnership sebagai bagian dari komitmen kami dalam mendorong inovasi dan pembiayaan yang mempercepat adopsi energi terbarukan di sektor industri,” sambung Francois .
Francois meyakini CSP dapat berkontribusi dalam upaya Indonesia menuju target net zero, meskipun masih banyak upaya yang perlu dilakukan ke depan.
“Langkah ini menunjukkan bahwa keberhasilan dapat dicapai jika seluruh pemangku kepentingan memiliki tujuan yang sama,” sambung Francois.
Sebagai upaya kolaborasi, CSP punya kelebihan menggabungkan keahlian HSBC dalam ranah finansial dengan pengetahuan serta pengalaman WRI, WWF, dan jaringan mitra lokal dalam urusan lingkungan. Kolaborasi mereka ditujukan untuk meningkatkan solusi iklim, di samping meningkatkan daya tawar dan peluang para pelaku industri hijau.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis