tirto.id - Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di 5,1 peren sampai akhir 2022, atau turun 0,1 persen dari proyeksi sebelumnya. Proyeksi ini pun bahkan masih berada dalam kisaran outlook pemerintah yakni 4,8 persen – 5,5 persen.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang paling resilience," tulis laporan tersebut, dikutip Rabu (8/6/2022).
Dalam laporan Global Economic Prospect June 2022 (GEP), Bank Dunia mengemukakan bahwa perekonomian Indonesia akan mendapat dorongan dari kenaikan harga komoditas.
Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh Bank Dunia terjadi secara luas di berbagai negara, baik kelompok negara maju maupun berkembang. Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022 untuk Zona Eropa sebagai episentrum konflik geopolitik mengalami revisi ke bawah sebanyak 1,7 persen, dari 4,2 persen menjadi 2,5 persen.
Pertumbuhan Rusia diproyeksi akan mengalami kontraksi 8,9 persen atau turun sangat dalam 11,3 persen dari prediksi sebelumnya. Sementara dua perekonomian terbesar dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan Cina, juga turut mengalami penurunan proyeksi pertumbuhan di tahun ini, masing-masing 1,2 persen dan 0,8 persen.
Di kelompok negara berkembang, India, Meksiko, dan Thailand juga mengalami penurunan proyeksi yang cukup signifikan yakni 1,2 persen 1,3 persen, dan 1,0 persen.
Secara keseluruhan, Bank Dunia juga perkirakan ekonomi global akan melambat signifikan dari 5,7 persen di 2021 menjadi hanya 2,9 persen di 2022. Ini akibat eskalasi berbagai risiko. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2022 tersebut turun signifikan sebanyak 1,2 poin dari proyeksi sebelumnya pada Januari.
Langkah ini serupa dengan yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga internasional lain seperti IMF yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global sebanyak 0,8 persen pada April lalu.
Dalam laporannya GEP disebutkan, berbagai risiko global mengalami peningkatan, khususnya pasca terjadinya perang di Ukraina. Konflik geopolitik tersebut telah membuat tekanan inflasi global semakin persisten, terutama didorong oleh lonjakan harga komoditas energi dan pangan serta disrupsi suplai.
Bahkan berbagai negara mengendalikan inflasi melalui pengetatan kebijakan moneter yang lebih cepat dan tajam. Terlebih di negara maju seperti AS, juga berpotensi menciptakan pengetatan likuiditas global dan mendorong kenaikan biaya pinjaman (cost of fund).
“Hal tersebut turut membuat prospek pemulihan ekonomi global ke depan dibayangi oleh tantangan yang besar," tulis laporan tersebut.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz