tirto.id - “Lihat peta itu. Semua yang berwarna hijau itu [wilayah] Indonesia. Dan titik merah itu adalah Singapura. Lihatlah.”
Presiden Habibie menyebut Singapura “that red dot” seperti dikutip Wall Street Journal, Agustus 1998, julukan yang sekarang malah dipakai dengan bangga oleh Singapura. Saat memperingati kemerdekaannya yang ke-50, Singapura menggunakan bentuk little red dot yang di dalamnya bertuliskan “SG” dan “50”.
Julukan Habibie untuk Singapura itu bermula dari dongkolnya Habibie pada pendiri negara-kota ini, Lee Kuan Yew. Pada Februari 1998, Lee pernah mengutarakan kekuatiran soal kemungkinan dipilihnya Habibie sebagai wakil presiden. Penyebabnya teknis saja. Lee melihat Habibie terobsesi proyek-proyek boros dan menurutnya itu bisa semakin membahayakan ekonomi Indonesia dan kawasan ASEAN yang sedang dilanda krisis.
Presiden Habibie bertambah baper setelah Singapura tak langsung memberi ucapan selamat kala ia menyambut jabatan presiden dari Soeharto pada 21 Mei 1998. Menurutnya, negara lain memberi selamat sehari setelah pelantikan. Tapi Singapura baru melakukannya pada 25 Mei.
Sudah “hampir Juni, sangat terlambat,” katanya.
“Anda tahu, teman adalah teman yang ada ketika dibutuhkan. Saya tak merasakan itu dengan Singapura. Saya merasakannya dengan Amerika, dengan Jepang, Australia, Cina daratan, Malaysia, dengan Eropa, Jerman. Tapi saya tak merasakannya [dengan Singapura].”
Hubungan Indonesia dengan Singapura memang tak rusak gara-gara curahan hati Habibie itu—yang bersangkutan pun kemudian menyangkal dirinya mengata-ngatai sang tetangga. Lagipula siapa yang hendak gelut di tengah krisis yang benar-benar memukul ekonomi Asia Tenggara?
Meski begitu, bukan berarti relasi Indonesia dengan Singapura selanjutnya selalu baik-baik saja. Ada beberapa hal yang menyebabkan kedua negara ini bersitegang.
Lima tahun setelah kedongkolan Habibie, gantian Singapura gemas terhadap Indonesia. Sebabnya: RI melarang sementara ekspor pasir ke negara imut itu, di saat mereka sedang getol-getolnya melakukan reklamasi supaya wilayahnya sedikit bertambah.
Larangan ekspor pasir menjadi isu selama bertahun-tahun. Pada 2007, larangan itu diberlakukan tersebab kerusakan lingkungan di Riau yang pasirnya diangkuti. The Japan Times menyebut perusahaan-perusahaan konstruksi Jepang di Singapura benar-benar terpukul oleh pelarangan ini. Harga beton dan granit meroket gara-gara minimnya suplai terkait larangan Indonesia mengekspor pasir ke Singapura.
Para pejabat di Singapura juga geger. Salah satu anggota parlemen bernama Sin Boon menanggapi dengan sinis. "Kalau benar Indonesia peduli pada lingkungannya yang rusak akibat penggalian pasir, bisakah kita membuat mereka juga peduli pada isu asap kebakaran hutan?" tanyanya seperti dikutip Tempo.
Asap dari kebakaran hutan memang isu konstan dua negara ini. Tentu ditambah Malaysia dan Brunei Darussalam. Setiap tahun, hutan di Sumatera dan Kalimantan dibakar untuk membuka lahan baru. Pelakunya kebanyakan adalah perusahaan sawit.
Hebatnya, Indonesia merasa tak perlu minta maaf karena telah mencemari udara negara-negara jiran. Ketika Singapura memprotes pencemaran udara ini tahun lalu, administrator Indonesia bergeming.
Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya menimpal protes itu dengan sedikit nada defensif. "Saya harap [Singapura] bisa lebih arif melihatnya karena Indonesia ini kerja keras begitu bukannya diam saja kan. Berapa ribu personel TNI diturunkan pak presiden, berapa ribu personel polisi dan lain-lain.”
Wakil Presiden Jusuf Kalla lebih galak lagi. “Silahkan saja kita terbuka. Singapura bisa ikut lihat sendiri. Singapura, silahkan kalau mau membantu. Jangan hanya bicara," kata Kalla seperti dikutip Antara.
Setahun sebelumnya, Singapura juga mengajukan keberatan soal nama kapal perang yang dinamai KRI Usman-Harun. Soalnya: Usman dan Harun adalah marinir RI yang pada 10 Maret 1965 melakukan pengeboman di MacDonald House, Orchard Road, Singapura. Aksi itu menewaskan tiga orang dan melukai 33 lainnya.
Masa-masa itu, lebih dari 50 tahun lalu, adalah masa paling menegangkan yang terjadi antara negara-negara Melayu ini. Indonesia sedang melakukan konfrontasi Indonesia dengan Malaysia (masih termasuk di dalamnya Singapura). Beberapa bulan kemudian, Singapura memisahkan diri dengan Malaysia. Indonesia pun berganti rezim. Dan kita tahu cerita selanjutnya: Soeharto dan Lee Kuan Yew menjadi dua pemimpin negara yang bersahabat selama 30 tahun.
Tapi demikianlah. Hubungan negara-negara jiran layaknya saudara kandung: kerap diselingi persaingan dan perselisihan meski sebetulnya saling membutuhkan. Setelah “bersahabat” puluhan tahun, pergantian rezim membawa dua negara ini pada friksi-friksi kecil.
Terakhir adalah soal tax amnesty yang digelar pemerintah Indonesia. Perbankan Singapura mulai tahun lalu merespons pemberitahuan Departemen Urusan Komersial Singapura agar pihak bank mendata kliennya yang mengikuti skema amnesti pajak. Alasannya, jika para nasabah itu mengikuti pengampunan pajak, berarti selama ini mereka melakukan tindak pidana pencucian uang.
Menteri keuangan pun harus meyakinkan wajib pajak bahwa berita itu tak benar. Singapura, menurut Sri Mulyani, tak akan menganggap peserta amnesti pajak di Indonesia sebagai kriminal. Meski sudah ada klarifikasi-klarifikasi, situasi kedua negara kini tak bisa dibilang adem, apalagi sekarang sudah memasuki bulan-bulan kebakaran hutan.
Dengan semua tegangan itu, termasuk yang paling mutakhir terkait amnesti pajak, apakah hubungan Indonesia-Singapura akan memburuk? Tampaknya tidak. Jika selama ini narasi-narasi di dalam negeri selalu menampakkan Singapura sebagai pengeruk keuntungan dari Indonesia, sesungguhnya madu hubungan bilateral dirasakan kedua pihak.
Singapura selalu masuk 10 besar negara tujuan ekspor utama Indonesia, seperti halnya Indonesia menjadi salah satu dari 10 besar partner dagangan utama Singapura. Belum lagi dalam hal pariwisata. Wisatawan asal Indonesia merupakan yang terbesar di Singapura, dan wisatawan dari Singapura adalah wisatawan mancanegara terbanyak di Indonesia.
Indonesia ternyata membutuhkan negara sebesar titik merah kecil yang disebut Habibie tak setia kawan itu.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Suhendra