tirto.id - Puputan Jagaraga atau Perang Bali III menjadi salah satu pertempuran terbesar di Pulau Dewata pada era penjajahan Belanda. Belanda sempat kerepotan menghadapi pasukan Kerajaan Buleleng yang dipimpin I Gusti Ketut Jelantik. Akhirnya, mereka menemukan cara menaklukkan Bali. Ambisi Belanda pun terwujud pada 1849.
Belanda mengerahkan ribuan serdadu yang sebagian besar prajuritnya berasal dari kalangan pribumi sendiri. Namun, I Gusti Ketut Jelantik menerapkan strategi pertahanan yang amat ampuh, ditambah serangan-serangan sporadis yang membuat Belanda kewalahan.
Seperti yang sering diterapkan di tempat-tempat lain di Nusantara, Belanda memakai taktik adu domba atau devide et impera. Karena kabar bohong yang disebarkannya, Bali terpecah-belah dan pasukan Kerajaan Buleleng lengah.
Belanda Menyerbu Bali
Belanda sudah lama ingin menduduki Bali. Namun, keinginan itu terhalang oleh hukum tawan karang yang berlaku di pulau tersebut. Setiap kapal asing yang terdampar di perairan Bali harus disita dan isinya dirampas beserta awak kapalnya.
Akibat penerapan hukum tawan karang, Belanda beberapa kali merugi. Salah satunya adalah pada 1844, ketika kapal mereka terdampar di Pantai Sangsit yang termasuk wilayah Kerajaan Buleleng. Kapal itu disita. Isi dan muatannya dirampas, para awak kapalnya pun menjadi tawanan. Belanda tidak bisa menerima hal itu.
Dituliskan oleh Bambang Budi Utomo dalam buku Warisan Bahari Indonesia (2017), Belanda mengirimkan Asisten Residen Banyuwangi bernama Ravia de Lignij ke Bali (hlm. 43). Ia ditugaskan menjalin negosiasi dengan pihak Kerajaan Buleleng, termasuk berusaha menghapuskan hukum tawan karang.
Insiden di perairan Buleleng menjadi puncak kekesalan Belanda. De Lignij yang semula berpura-pura baik agar bisa menarik hati Raja Buleleng pada akhirnya tidak tahan lagi. Ia bahkan memaksa Kerajaan Buleleng untuk mengakui kekuasaan Belanda.
Tentu saja keinginan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Kerajaan Buleleng yang saat itu dipimpin seorang raja bernama I Gusti Ngurah Made dan didampingi oleh I Gusti Ketut Jelantik sebagai patihnya.
De Lignij kemudian melapor kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Maka, diputuskan bahwa Belanda akan mengirimkan armada tempurnya untuk menggempur Kerajaan Buleleng sekaligus mengusung misi penaklukan Bali.
Armada perang Belanda datang ke Buleleng pada pertengahan 1846. Dikutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia (1984) yang disusun Marwati Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan, armada perang ini merupakan pasukan gabungan dari Batavia dan Surabaya, terdiri dari 1.700 prajurit dan hanya 400 tentara saja yang berasal dari Eropa (hlm. 232).
Pasukan besar ini dipimpin Komandan Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Laksamana E.B. van den Bosch, didampingi Kapten J. Entile selaku ajudan utama. Untuk misi pendaratan, sebagai komandan adalah Kapten A.J. de Smith van den Broeke. Letnan Kolonel J. Bakker memimpin pasukan angkatan darat.
Sebelum menyerang, Belanda masih berupaya melakukan usaha diplomasi terakhir. Bagaimanapun juga, perang akan berpotensi menimbulkan kerugian besar. Belanda menuntut Buleleng meminta maaf, juga meminta ganti rugi atas pemberlakuan hukum tawan karang, serta beberapa tuntutan lainnya.
Hal ini tak pelak membuat I Gusti Ketut Jelantik marah dan menghardik utusan Belanda. Begitu pula dengan Raja I Gusti Ngurah Made yang tidak sudi tunduk. Tidak ada jalan lain, perang harus terjadi.
Patih Jelantik memimpin pembangunan benteng pertahanan. Prajurit kerajaan dan rakyat bahu-membahu menggali parit di sepanjang pantai dan diberi pagar bambu. Di belakangnya, dibangunlah benteng-benteng tinggi, juga disiapkan sejumlah meriam meskipun berukuran kecil.
Akhirnya, hari itu tiba. Tanggal 25 Mei 1846, seperti dikutip dari buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali(1983) karya Made Sutaba dan kawan-kawan, Belanda mulai melancarkan serangan dari laut maupun darat (hlm. 32).
Dari laut, kapal-kapal Belanda menghujani tembakan meriam. Sementara itu, mereka juga mengerahkan ratusan serdadu dari angkatan darat. Pasukan dan rakyat Buleleng tetap bertahan di dalam area benteng.
Belanda rupanya kewalahan menghadapi serangan balik pasukan Kerajaan Buleleng yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik. Pada 26 Mei 1846, didatangkan bantuan dari Batavia dan Madura.
Patih Jelantik menerapkan taktik bertahan, namun bisa mendadak berbalik menyerang. Tembok dari tanah liat, bambu berduri, hingga batang pohon kelapa digunakan untuk memperkuat tembok pertahanan.
Namun, tentara Belanda yang datang tampaknya tidak habis-habis bahkan terus bertambah. Kondisi ini membuat pertahanan Buleleng tergerus. Patih Jelantik terus menggelorakan spirit pasukannya sembari menjaga keamanan Raja Buleleng.
Pasukan darat Belanda semakin merangsek menuju pusat istana. I Gusti Ketut Jelantik terpaksa mundur demi keselamatan raja. Tanggal 27 Mei 1846 pagi, ibukota Buleleng jatuh ke tangan Belanda.
Patih Jelantik, Raja Ngurah Made, serta sejumlah petinggi kerajaan dan sekutu Buleleng mengamankan diri ke sebuah tempat bernama Jagaraga. Namun, Raja Buleleng terpaksa menandatangani perjanjian yang disodorkan Belanda.
Ini sebenarnya hanya taktik agar Patih Jelantik bisa menyusun kekuatan kembali. Wilayah Jagaraga memang ideal untuk berperang gerilya: masih banyak hutan, sungai, sawah, serta perbukitan yang menyulitkan lawan. Pasukan Belanda tidak terbiasa bertempur di medan seperti itu.
Berkat kemahiran diplomasi Patih Jelantik, bantuan pun mengalir. Hampir semua kerajaan di Bali mengirimkan laskarnya. Ribuan prajurit bantuan bergabung dengan pasukan Buleleng di Jagaraga.
Takluknya Pulau Dewata
Peran Patih Jelantik sangat vital. Selain bertindak sebagai panglima perang tertinggi, ia juga ikut menjalankan pemerintahan sebagai pendamping utama Raja Buleleng.
Selain itu, Patih Jelantik juga langsung terjun ke lapangan untuk mengurusi pasukan-pasukan bantuan, melatih mereka, serta menyusun strategi. Ia adalah seorang juru taktik yang cerdik.
Patih Jelantik menyadari bahwa Belanda lebih unggul dalam persenjataan dan logistik. Maka, sang patih kemudian menyusun strategi bertahan dengan model makara wyuha atau supit udang (Made Sutaba, dkk., 1983: 37).
Raja yang dikawal Patih Jelantik menempati bagian kepala udang, diapit perlindungan dari dua sisi capit yang dihuni oleh panglima-panglima tangguh. Begitu pula di bagian badan serta ekor yang menopang posisi utama di kepala. Dengan demikian, raja terlindungi dari segala sisi.
Istri I Gusti Ketut Jelantik yang bernama Jero Jempiring juga ikut ambil bagian dalam pertempuran besar itu. Bersama pasukan wanita pemberani, ia bertugas untuk mempertahankan tempat-tempat suci.
Awal tahun 1848, Patih Jelantik mulai menggerakkan pasukan untuk mengusik Belanda secara gerilya. Pos-pos dan kapal-kapal Belanda menjadi sasarannya. Belanda membalas, tapi selalu gagal berkat siasat jitu yang diterapkan Patih Jelantik. Sepanjang tahun 1848 itu, Buleleng berkali-kali meraih kemenangan.
Namun, memasuki tahun 1849, Belanda memakai taktik adu domba, mereka menyusupkan utusan untuk menghasut dan memecah-belah kerajaan-kerajaan lokal di Bali yang kala itu cukup solid dalam upaya menghadang ambisi kaum penjajah.
Selain itu, Belanda juga menebar rumor bahwa sebagian kerajaan di Bali sudah ditaklukkan (Ide Anak Agung Gde Agung, Bali pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908, 1989: 323). Kabar bohong alias hoaks ini membuat Buleleng cemas, juga barisan sekutunya.
Pasukan gabungan Buleleng pun tak fokus lantaran khawatir, bahkan tidak sedikit yang meninggalkan benteng pertahanan di Jagaraga. Hal ini memicu kepanikan di kalangan rakyat Buleleng dan Bali pada umumnya.
Belanda memanfaatkan betul situasi ini. Pagi-pagi buta tanggal 15 April 1849, Jagaraga digempur dari dua sisi, depan dan belakang. Pihak Buleleng tidak siap menerima serangan besar ini. Korban tewas berjatuhan, ribuan warga ditawan.
D. Surya dalam buku berjudul Bali (2012) mengungkapkan, Patih Jelantik terpaksa mundur lagi, kali ini ke Gunung Batur (hlm. 62). Namun, di perjalanan dan dalam kondisi terluka serta dikejar-kejar pasukan Belanda, sang patih tak mampu bertahan dan akhirnya menghembuskan nafas penghabisan.
Wafatnya I Gusti Ketut Jelantik membuat Buleleng limbung sehingga jatuh sepenuhnya ke tangan Belanda, demikian pula Pulau Dewata. Tahun 1993, pemerintah RI menetapkan Mahapatih Kerajaan Buleleng ini sebagai pahlawan nasional.
Sebenarnya, Belanda sudah memegang kuasa di wilayah ini sejak raja-raja Bali, termasuk Raja Buleleng, meneken perjanjian pada 9 Juli 1846. Namun, Patih Jelantik tetap mengobarkan perlawanan semampu-mampunya, yang dituntaskan lewat Puputan Jagaraga.
Pantang bagi I Gusti Ketut Jelantik menyerah kepada bangsa penjajah, seperti sumpah yang pernah diucapkannya: “Selama aku hidup, aku tidak akan mengakui kekuasaan Belanda di negeri ini.”
Editor: Maulida Sri Handayani