tirto.id - Kapal Sri Kumala milik pedagang peranakan Cina itu sedang apes saat melintasi perairan Bali. Tanggal 27 Mei 1904, kapal niaga berbendera Belanda tersebut terdampar di kawasan Pantai Sanur yang termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Badung. Sang saudagar pun mengadu bahwa kapal beserta isinya telah dirampas oleh rakyat yang tinggal di pesisir pantai itu.
Warga Sanur sebenarnya tidak salah. Mereka hanya menjalankan adat tawan karang yang memang sudah berlaku sejak dahulu kala. Hanya saja, saat itu Kerajaan Badung terlanjur menyepakati perjanjian dengan Belanda untuk menghapus penerapan hukum adat tersebut pada 28 November 1842.
Laporan saudagar Cina itu pun dimanfaatkan betul oleh Belanda untuk menyerang karena beranggapan Badung telah melanggar perjanjian. Akhirnya, pecahlah perang besar yang melegenda dengan sebutan Puputan Badung. I Gusti Ngurah Made Agung, sang Raja Badung, turun langsung ke gelanggang tempur.
Sayang, pada 22 September 1906, sang raja tewas dalam peperangan tersebut. Usianya baru 30 tahun saat itu. I Gusti Ngurah Made Agung berjiwa ksatria, rela mati muda demi membela martabat dan kepentingan rakyatnya. Gelar kehormatan “Ida Betara Tjokorda Mantuk Ring Rana” pun disematkan, artinya: “Raja yang Gugur di Medan Laga.”
Tentang Hukum Tawan Karang
Badung adalah salah satu dari beberapa kerajaan yang pernah eksis di Bali. Kerajaan ini memiliki istana di Denpasar dengan raja yang menguasai seluruh daerah yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Badung. Sejak awal didirikan oleh I Gusti Ngurah Made Pemecutan sebagai raja pertama (1788-1813), Kerajaan Badung pun memulai masa jayanya pada awal abad ke-19 itu (A.A. Gde Putra Agung, dkk., Sejarah Kota Denpasar, 1986:106).
Namun, kedatangan Belanda ke Pulau Dewata membuat kerukunan raja-raja di Bali terganggu, bahkan sempat terlibat konflik satu sama lain. Salah satu penyebabnya adalah keinginan Belanda yang memaksakan agar hukum tawan karang dihapuskan.
(Baca juga: Arung Palakka di antara Gelar Pahlawan dan Pengkhianat)
Kehendak bangsa penjajah ini tidak serta-merta disepakati oleh seluruh pemimpin wilayah atau raja-raja di Bali. Ada yang pasrah karena menyadari kurang kekuatan, tapi ada pula yang sempat melawan kendati kemudian akhirnya menyerah juga. Parahnya lagi, selain menginginkan tawan karang dihapus, Belanda juga mendesak raja-raja Bali untuk takluk dan mengakui kekuasaannya (Bambang Budi Utomo, Warisan Bahari Indonesia, 2017:43).
Hukum tawan karang sejatinya telah diterapkan sejak masa Bali Kuno. Prasasti Bebetin yang berangka tahun 896 Masehi dan Prasasti Sembiran dengan angka tahun 923 Masehi telah menyebutkan aturan terkait hukum tawan karang tersebut (Goris, R., Prasasti Bali I, 1954:55).
Inti dari adat tawan karang adalah, raja-raja di Bali berhak menyita kapal atau perahu yang terdampar di wilayah kekuasaan mereka, sekaligus merampas seluruh muatannya. Namun, jika kapal atau perahu tersebut sengaja berlabuh, maka tidak disita, hanya harus memberi persembahan.
Adat yang Terpaksa Dihapuskan
Hukum tawan karang dirasa merugikan Belanda karena mereka berkepentingan dengan keamanan pelayaran dan perdagangan di perairan Bali (Made Sutaba, dkk., Sejarah Perlawanan Imperialisme dan Kolonialisme di Bali, 1983:28). Maka tidak heran jika Belanda ngotot membujuk raja-raja Bali untuk menghapus hukum adat tersebut dengan perjanjian yang sebenarnya lebih menguntungkan pihaknya.
Badung menjadi kerajaan Bali pertama yang terpaksa menyepakati penghapusan tawan karang, yakni pada 28 November 1842. Saat itu, Badung dipimpin oleh I Gusti Gede Ngurah Pemecutan selaku raja yang berkuasa. Kesepakatan itu terjadi setelah kapal Overrijseel milik Belanda dikenakan tawan karang lantaran kandas di pesisir Kuta yang termasuk wilayah Kerajaan Badung (Sanggra & Atmaja, Kiwa-Tengen dalam Budaya Bali, 1993:112). Kejadian itu membuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hendrik Merkus Baron de Kock, murka.
(Baca juga: Kejayaan dan Kejatuhan Si Pengadu Domba Cornelis Speelman)
Apa yang dilakukan oleh Kerajaan Badung lantas diikuti oleh kerajaan-kerajaan Bali lainnya, juga dengan terpaksa tentunya, termasuk Karangasem, Klungkung, Tabanan, kemudian Bangli, Jembrana, dan Gianyar yang menyusul beberapa tahun berselang.
Tapi, kesepakatan tersebut tidak selalu ditaati oleh rakyat yang tetap memegang teguh adat warisan leluhur. Beberapa kali terjadi perampasan kapal yang terdampar oleh penduduk setempat, seperti yang dialami oleh kapal Sri Kumala pada Mei 1904 itu.
Insiden Sri Kulama terjadi pada era pemerintahan I Gusti Ngurah Made Agung yang bertahta di Kerajaan Badung sejak 1902. Raja muda kelahiran Denpasar tanggal 5 April 1876 ini pada dasarnya memang tidak menyukai Belanda meskipun ia terpaksa harus mematuhi bermacam perjanjian yang telah diteken oleh para pendahulunya.
Perlawanan Sang Raja Muda
Semula, I Gusti Ngurah Made Agung tidak secara frontal melawan Belanda. Rasa ketidaksukaan sang raja terhadap penjajah dilampiaskan lewat berbagai karya sastra yang dibuatnya, semisal puisi, geguritan, atau semacamnya, sebut saja Geguritan Dharma Sasana, Geguritan Niti Raja Sasana, Geguritan Nengah Jimbaran, Kidung Loda, Kakawin Atlas, dan Geguritan Hredaya Sastra.
Sang raja menyisipkan pesan moral sebagai pengingat agar rakyat bersiap jika sewaktu-waktu memang harus mengangkat senjata melawan penjajah. Di masa itu, karya sastra memang menjadi dasar dan cermin tindakan raja untuk mengayomi rakyat dalam melaksanakan kebijaksanaan politik kerajaan dan segala tindakan penting lainnya (I Made Purna, dkk., Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, 1994:174).
Tentang perlawanan raja Nusantara lainnya, baca: Sultan Baabullah Sang Penakluk.
Hingga akhirnya, tibalah saat yang memang sudah diperkirakan bakal terjadi itu. Insiden kapal Sri Kumala dijadikan kesempatan oleh Belanda untuk benar-benar menaklukkan Badung. Pagi-pagi buta tanggal 20 September 1906, bom-bom yang terlontar dari kapal perang Belanda berjatuhan dari langit Denpasar. Istana, puri-puri, juga rumah-rumah warga pun terbakar.
Pertempuran Habis-habisan
Raja I Gusti Ngurah Made Agung mencoba bertahan dari serangan brutal Belanda itu dan sedapat mungkin meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Namun, setelah dua hari dan tentara Belanda mulai memasuki wilayah kerajaan, raja berkesimpulan bahwa untuk terus bertahan sudah tidak mungkin lagi dilakukan.
Saat itulah, I Gusti Ngurah Made Agung mengumpulkan para panglima, laskar, dan seluruh rakyat Badung untuk bersiap menghadapi pasukan Belanda dengan melakukan “puputan” atau berperang habis-habisan sampai tetes darah terakhir untuk menghadapi Belanda yang mengerahkan 3 batalyon infantri dan 2 batalyon pasukan artileri.
Sang raja beserta keluarga, termasuk permaisuri, para pangeran dan putri-putri, bahkan para pelayan, para pendeta, dan seluruh warga kerajaan memakai pakaian serba putih yang dilengkapi keris sebagai senjata. Usai memerintahkan istana dibakar dan merusak semua barang berharga, I Gusti Ngurah Made Agung menemui rakyat untuk bersiap berangkat ke medan laga.
Pertempuran bakal berlangsung di Taensiat yang terletak di sebelah utara pusat kerajaan. Sebelumnya, raja telah memerintahkan sebagian pasukan kerajaan di bawah pimpinan Cokorda Ngurah Gede untuk menahan Belanda sebisa mungkin (Made Sutaba, 1983:103).
Kekuatan memang tidak berimbang. Belanda punya senjata api bahkan meriam, sedangkan prajurit Badung hanya bersenjatakan keris, pedang, dan tombak. Namun, titah “puputan” sudah terucap. Raja beserta pasukan dan rakyat Badung melawan Belanda dengan gagah-berani. Mereka lebih baik mati sebagai ksatria daripada hidup sebagai taklukan (M. Nasruddin Anshoriy Ch., Bangsa Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan, 2008:94).
Raja muda nan perkasa itu pun gugur di tengah medan pertempuran. Prajurit dan rakyat Badung yang masih tersisa terus berperang dengan penuh keberanian, termasuk perempuan, ibu-ibu yang melawan sembari menggendong anaknya, bahkan anak-anak kecil. Mereka bertumbangan terkena berondongan peluru pasukan Belanda.
Akhirnya, perang pun usai. Belanda memang menang, namun kisah nyata perang Puputan Badung akan selalu dikenang. Medan tempurnya kini diabadikan sebagai area monumen di Denpasar. Pada 15 November 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas nama pemerintah Republik Indonesia menganugerahi Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung dengan gelar pahlawan nasional.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti