tirto.id - Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam 3 hari di awal pekan ini menjaring dua kepala daerah: Bupati Indramayu Supendi dan Wali Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin.
Bupati Indramayu Supendi terjaring dalam OTT yang dilaksanakan KPK pada Senin hingga Selasa dini hari (15/10/2019). Supendi ditangkap bersama tujuh orang lainnya.
Pada Selasa malam, KPK telah merilis penetapan Supendi sebagai tersangka suap terkait sejumlah proyek infrastruktur di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
KPK juga menetapkan 3 bawahan Supendi sebagai tersangka di kasus yang sama. Mereka adalah Kepala Dinas (Kadis) PUPR Kabupaten Indramayu Omarsyah (OMS), Kepala Bidang Jalan di Dinas PUPR Indramayu Wempy Triyono (WT) dan Carsa AS (CAS).
Supendi, Omarsyah dan Wempy Triyono ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan Carsa AS diduga merupakan pemberi suap.
Sementara Wali Kota Medan Dzulmi Eldin terjaring di OTT yang digelar KPK pada Selasa malam hingga Rabu dini hari (16/10/2019). Politikus Golkar itu ditangkap bersama 4 orang lainnya.
Empat orang itu adalah Kepala Dinas PUPR Kota Medan Isa Ansyari, Kepala Sub Bagian Protokoler Kota Medan Syamsul Fitri Siregar serta dua ajudan Wali Kota Medan, yakni APP dan SSO.
KPK mengumumkan penetapan Dzulmi, Syamsul dan Isa Ansyari sebagai tersangka kasus suap pada Rabu malam kemarin. Di kasus ini, Dzulmi dan Syamsul adalah tersangka penerima suap. Adapun Isa diduga sebagai pemberi suap.
Meskipun korupsi dua kepala daerah itu sama-sama melibatkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pola kasusnya berbeda. Hal ini terlihat dari konstruksi perkara 2 kasus korupsi kepala daerah tersebut. Berikut ini konstruksi perkara kasus korupsi yang menjerat Dzulmi Eldin dan Supendi.
Konstruksi Perkara Korupsi Walikota Medan Dzulmi Eldin
Dzulmi Eldin merupakan Wali Kota Medan periode 2016-2021. Sebelumnya ia menjabat Wali Kota Medan pada 2014-2016 untuk menggantikan Rahudman Harahap yang juga terjerat kasus korupsi.
Berdasarkan keterangan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Dzulmi diduga meminta uang kepada para bawahannya, termasuk Kepala Dinas PUPR Kota Medan Isa Ansyari. Isa menuruti permintaan itu karena ia menjabat kepala dinas berkat keputusan Dzulmi.
"Pada 6 Februari 2019, TDE [Dzulmi] mengangkat IAN [Isa] sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan," kata Saut di Gedung KPK, Rabu malam (16/10/2019).
Saut menerangkan, Isa diduga menyetor uang Rp20 juta kepada Dzulmi pada setiap bulan selama Maret hingga Juni 2019. Selain itu, pada 18 September 2019, Isa kembali menyerahkan duit Rp50 juta kepada Dzulmi. Pemberian Isa lainnya terkait biaya perjalanan dinas Dzulmi ke Jepang.
Dzulmi bersama sejumlah bawahannya melakukan perjalanan dinas ke Jepang dalam rangka kerja sama sister city antara Medan dengan Ichikawa, pada Juli 2019. Namun, terdapat biaya perjalanan dinas yang tidak bisa ditutupi dengan dana APBD.
Sebab, menurut Saut, dalam perjalanan dinas itu, Dzulmi mengajak istri, 2 anaknya dan beberapa orang lain yang tidak berkepentingan. Dzulmi bahkan memperpanjang waktu tinggalnya di Jepang selama 3 hari di luar waktu resmi perjalanan dinas.
Saut menambahkan, karena ada kebutuhan menutup biaya perjalanan dinas non-budget, Dzulmi meminta Kasubag Protokoler Pemkot Medan Syamsul Fitri mengumpulkan dana Rp800 juta. Duit itu untuk menutupi tunggakan biaya perjalanan dinas yang harus dibayar ke perusahaan travel.
Syamsul lalu menyampaikan adanya kebutuhan dana senilai Rp800-900 juta kepada ajudan Wali Kota Medan, APP. "SFI [Syamsul] membuat daftar target kepala-kepala dinas yang akan dimintai dana, termasuk kepala dinas yang ikut ke Jepang, dan IAN [Isa Ansyari] meski tak ikut berangkat ke Jepang," ujar Saut.
Pada 14 Oktober 2019, Syamsul meminta Isa Ansyari mentransfer uang Rp250 juta ke rekening milik kerabat APP. Sehari kemudian, Isa mengirim uang Rp200 juta ke rekening itu. APP kemudian meminta kerabatnya menyerahkan uang itu ke ajudan Wali Kota Medan lainnya. Duit Rp200 juta itu, kata Saut, lalu disimpan di ruang Bagian Protokoler Pemkot Medan.
Ajudan Wali Kota Medan lainnya, yaitu AND, kemudian menanyakan kepada Isa soal kekurangan dana Rp50 juta. Isa meminta AND mengambil uang itu di rumahnya. Setelah AND mengambil uang Rp50 juta dari rumah Isa itulah, petugas KPK menghentikan mobilnya.
"[Namun] AND malah memundurkan mobilnya dengan cepat sehingga hampir menabrak petugas KPK, yang harus melompat untuk menyelamatkan diri. AND kabur bersama uang Rp50 juta itu dan belum diketahui keberadaannya hingga saat ini," kata Saut.
Oleh karena itu, Saut meminta AND segera menyerahkan diri kepada KPK.
Konstruksi Perkara Korupsi Bupati Indramayu Supendi
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menjelaskan Bupati Indramayu Supendi diduga sudah beberapa kali meminta uang kepada Carsa AS. Adapun Carsa merupakan kontraktor pelaksana proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Indramayu.
"SP [Supendi] diduga mulai meminta uang kepada CAS sejak Mei 2019," ujar Basaria di Gedung KPK, Jakarta, Selasa malam lalu (15/10/2019).
Menurut Basaria, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Indramayu Omarsyah dan Kepala Bidang Jalan di Dinas PUPR Kabupaten Indramayu Wempy Triyono dan Staf Bidang Jalan Dinas PUPR Indramayu Ferry Mulyono juga diduga menerima sejumlah uang dari Carsa.
"Pemberian uang tersebut diduga terkait dengan pemberian proyek-proyek Dinas PUPR Kabupaten Indramayu kepada CAS [Carsa]. CAS tercatat mendapatkan tujuh proyek pekerjaan di Dinas PUPR Kabupaten Indramayu dengan nilai proyek, total kurang lebih Rp15 miliar yang berasal dari APBD Murni," kata Basaria.
Tujuh proyek itu dikerjakan oleh CV Agung Resik Pratama dan beberapa perusahaan lain. Proyek-proyek itu adalah pembangunan Jalan Rancajawad, Jalan Gadel, Jalan Rancasari, Jalan Pule, Jalan Lemah Ayu, Jalan Bondan-Kedungdongkal, dan Jalan Sukra Wetan-Cilandak.
Pemberian uang dari Carsa kepada Supendi dan pejabat Dinas PUPR Indramayu itu diduga adalah bagian dari commitment fee sebesar 5 sampai 7 persen dari nilai proyek.
"SP diduga menerima total Rp200 juta, [rinciannya] yaitu [pada] Mei 2019 sejumlah Rp100 juta yang digunakan untuk THR, [pada] 14 Oktober 2019 sejumlah Rp100 juta yang digunakan untuk pembayaran dalang acara wayang kulit, dan pembayaran gadai sawah," kata Basaria.
Sementara Omarsyah diduga menerima duit Rp350 juta dan sepeda merek NEO dengan harga sekitar Rp20 juta. Pemberian itu dilakukan pada Juli dan September 2019.
"WT [Wempy Triyono] diduga menerima Rp560 juta selama 5 kali pada Agustus dan Oktober 2019," tambah Basaria.
Editor: Agung DH