tirto.id - Setya Novanto disebut-sebut kembali menjadi tersangka dalam dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Penetapan Setya Novanto sebagai tersangka mencuat setelah beredarnya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang beredar di publik, Senin kemarin.
Kabar tersebut dengan cepat menyeruak di sejumlah laman media daring nasional. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak menampik atau mengiyakan ihwal SPDP tersebut. Menurut Febri, sudah ada surat perintah penyidikan (sprindik) di akhir Oktober untuk kasus KTP elektronik ini.
“Itu sprindik baru dan ada nama tersangkanya," kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (7/11/2017). Namun, Febri sejauh ini masih belum menyebutkan nama yang menjadi tersangka.
Baca juga: KPK Mengklaim Tak Tahu Pembocor Sprindik Setnov yang Baru
Beredarnya SPDP ini mengingatkan kita kepada kasus bocornya surat perintah penyidikan atas nama Anas Urbaningrum. Kala itu, sprindik untuk Anas Urbaningrum terbit di laman Metrotvnews.com dan Harian TEMPO.
Kedua berita itu muncul sekitar Februari 2013. Dalam kedua berita tersebut, Anas disebutkan telah menjadi tersangka. Saat itu, KPK langsung bertindak mengusut bocornya surat dan membentuk Komite Etik.
Dalam perjalanannya, Komite Etik memeriksa sejumlah nama termasuk Ketua KPK saat itu, Abraham Samad. Singkat cerita, KPK akhirnya memutuskan ada pelanggaran etik yang dilakukan Abraham Samad dan Wiwin Suwandi, asistennya.
Komite menilai, Samad lalai lantaran membiarkan Wiwin Suwandi menyebarkan informasi tersebut kepada sejumlah awak media. Saat diperiksa Komite Etik, Wiwin mengatakan dirinya benci kepada koruptor.
"Ada perasaan benci kepada koruptor karena koruptor itu penampilannya seperti tidak punya dosa," kata Anies Baswedan, yang kala itu menjadi Ketua Komite Etik KPK, Rabu (3/4/2013).
Komite Etik memutuskan sanksi berat terhadap Wiwin sebagai pembocor dan memberi sanksi ringan kepada Abraham Samad. Meski Komite Etik sudah memberi putusan, jerat pidana buat Anas Urbaningrum tak lantas batal.
Selang beberapa waktu, KPK akhirnya menetapkan Anas yang sedang menjabat Ketua Umum Partai Demokrat, sebagai tersangka. Penetapan Anas ini mengonfirmasi informasi yang sebelumnya sudah beredar lewat dua kantor berita di atas.
Lantas, bagaimana dengan SPDP Setya Novanto?
Beredarnya SPDP atas nama Setya Novanto tak berbeda jauh dengan kasus bocornya sprindik Anas Urbaningrum. Selain menyebar ke media, SPDP ini berisi perkara hukum yang berkaitan dengan Setya Novanto.
Yang membedakan, KPK tak langsung membuat Komite Etik atau melakukan penyelidikan internal. Ini dianggap masalah oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Menurut Fahri, KPK bertindak sembrono dengan membocorkan sprindik, SPDP, atau rahasia-rahasia penyidikan. Dia menilai, KPK seharusnya lebih berhati-hati.
Bagaimanapun, Fahri bilang, DPR merupakan lembaga yang penting di Indonesia. Sehingga kalau Ketua DPR mau diperiksa pun harus menggunakan etika.
"Standar kami tentang cara kerja lembaga negara ini sudah dirusak KPK. Pakai etika seharusnya,” kata Fahri.
Penilaian Fahri soal kebocoran ini ditanggapi berbeda pegiat antikorupsi, Dahnil Anzar Simanjuntak. Dahnil menilai, kemunculan SPDP di publik, itu tidak masalah. Asalkan, KPK harus secepatnya mengumumkan penetapan tersangka bagi Setya.
“Yang jelas, selama penetapan tersangka segera dilakukan itu enggak jadi masalah,” kata Dahnil kepada Tirto.
Namun, Ketua Pemuda Muhammadiyah tak berani berspekulasi apakah kemunculan SPDP bisa dikualifikasi sebagai kebocoran dokumen atau tidak. Menurutnya, masalah itu menjadi kewenangan Kedeputian Pengawas Internal (PI) KPK. Ia pun sepakat, jika PI mengeluarkan sanksi jika memang terjadi pembocoran dokumen.
“Asalkan fair,” ucap Dahnil.
Sementara itu, Fredrich Yunadi yang merupakan kuasa hukum Setya Novanto, mengaku tak segan memperkarakan kebocoran SPDP ini. Menurut Fredrich, pihaknya akan menjerat KPK dengan Pasal 216, 421 KUHP Jo Pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999, dan Pasal 414 KUHP.
"Intinya, barang siapa melawan penegakan atau pelaksanaan hukum, maka dia akan dipenjara 1 tahun 6 bulan," kata Fredrich.
Tapi, polemik dugaan kebocoran ini tak membuat KPK buru-buru mengambil sikap. Febri Diansyah menyebut, KPK punya kewajiban menyampaikan SPDP kepada pihak terkait. Namun, dia tak tahu jika dalam perjalanannya, SPDP itu bocor ke publik.
"Yang bisa saya sampaikan, prosedur terkait sumber dari mana (SPDP muncul di public) tentu saja kami tidak tahu," kata Febri.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih