Menuju konten utama

Beda dengan KPK, Polri & Kejagung Tunda Proses Hukum Calon Pilkada

KPK menetapkan tersangka beberapa calon kepala daerah di kasus korupsi. Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) ingin menunggu hingga Pilkada selesai bila ada kasus pidana yang melibatkan cakada.

Beda dengan KPK, Polri & Kejagung Tunda Proses Hukum Calon Pilkada
Pekerja membersihkan kaca Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (5/8). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo tidak peduli dengan imbauan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto agar menunda penetapan tersangka calon kepala daerah (cakada) di Pemilu 2018. Ia menandatangani surat perintah penyidikan (sprindik) untuk menjadikan cakada sebagai tersangka kasus korupsi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengapresiasi langkah ini. Peneliti ICW, Lalola Easter mengatakan kalau apa yang dilakukan Agus sudah sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"KPK adalah lembaga negara independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari intervensi kekuasaan manapun. Pemerintah tidak dapat meminta untuk mempercepat, menunda atau bahkan menghentikan proses hukum yang dilakukan KPK," kata Lalola kepada Tirto, Kamis (15/3/2018).

Apa yang jadi usulan Wiranto sebagai bukti pemerintah ingin mencampurkan antara proses politik dan proses hukum. Idealnya urusan soal Pilkada sebagai proses politik harus menyampingkan proses hukum.

Kepala Divisi Kebijakan Hukum Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Andreas Marbun juga mengaspresiasi sikap KPK dalam menyikapi kasus-kasus korupsi yang melibatkan para cakada. KPK harus keluar dari anggapan bahwa lembaga ini tak punya kepentingan politik praktis.

"Saya sepakat untuk tetap diproses. Cuma itu saja: pastikan alat bukti yang dimiliki itu kuat, firm," kata Andreas kepada Tirto.

Bukti kuat yang dimiliki KPK jadi hal yang mendasar. Tujuannya agar tidak bisa disanggah dalam pra peradilan apabila seorang tersangka menempuh jalur itu.

"Tapi kalau belum [kuat], misalnya belum ada alat bukti tapi mau buru-buru terbitkan sprindik gara-gara mau Pemilu, itu jangan," kata Andreas.

Berdasarkan data yang dihimpun tim riset Tirto, ada 208 petahana dari 171 wilayah yang tahun ini menyelenggarakan Pilkada. Agus Rahardjo dan Kabiro Humas KPK Febri Diansyah ketika dikonfirmasi pada kesempatan lain enggan menyebut berapa banyak cakada yang bakal menerima sprindik. KPK juga belum memastikan kapan waktu pengumuman. Agus hanya mengatakan kalau pasca sprindik ditandatangani, nama tersangka mestinya bisa segera diumumkan.

Sejauh ini sudah ada empat cakada yang mengenakan "rompi oranye". Mereka adalah Marianus Sae (Bupati Ngada/Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur), Imas Aryumningsih (Bupati Subang/Calon Bupati Subang periode kedua), Nyono Suharli Wihandoko (Bupati Jombang/Calon Bupati Jombang periode kedua), dan Mustafa (Bupati Lampung Tengah/Calon Gubernur Lampung).

Harus Ikuti Langkah KPK

Sikap KPK tidak sejalan dengan rencana Polri. Di kompleks parlemen, Rabu (14/3), Kapolri Jenderal Tito Karnavian justru memerintahkan polisi di seluruh Indonesia untuk tidak memproses terlebih dulu perkara yang bersinggungan dengan cakada. Proses hukum baru akan dilanjutkan setelah Pilkada selesai. Argumen Tito, agar para kandidat dan partai politik menjalani proses politik Pilkada.

"Fair-nya kenapa? Partai paham, ada yang terlibat kasus pidana sebagai tersangka atau ditahan. Sehingga mereka punya alternatif sudah mempersiapkan calon lain. Tapi kalau sudah ditetapkan sebagai calon oleh KPUD, yang kasihan 'kan partainya, kasihan pendukungnya, karena tidak punya alternatif yang lain," kata Tito usai rapat dengan Komisi III DPR.

Sikap Tito sudah tercantum dalam peraturan tertulis, Surat Edaran Peraturan Kapolri No. SE/7/VI/2014, yang dirilis pada masa Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Aturan tersebut menyatakan polisi menunda segala proses hukum terhadap kandidat.

Aturan itu sempat jadi acuan polisi menunda pengusutan kasus mantan Gubernur DKI Jakarta sekaligus kandidat Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pilkada 2017—meski akhirnya dilanggar.

Tito sadar penetapan tersangka cakada dalam proses Pilkada bisa menghindari masyarakat memilih orang yang tidak tepat. Namun, menurutnya itu bisa dikorbankan karena akan merugikan partai, pendukung, dan dapat dimanfaatkan lawan politik untuk kampanye negatif.

Sikap Tito sama dengan Jaksa Agung HM Prasetyo. Ia menyandarkan argumennya pada "kemanfaatan bagi orang banyak," dan manfaat itu didapat dengan menghentikan sementara pengusutan perkara.

Lalola Easter mengatakan sebaiknya Polri dan Kejagung mengikuti sikap KPK yang tak menunda langkah hukum terhadap cakada bila terkena kasus pidana. Sikap Tito dan Prasetyo yang berseberangan dengan KPK punya potensi citra negatif di mata masyarakat.

Jalan tengahnya, Polri dan Kejagung tetap menangani perkara hukum bila terjadi pada cakada terkait tindak pidana khusus dan tindak pidana lain yang ancaman pidananya lima tahun ke atas. Selama ini Polri dan kejagung punya wewenang mengusut tindak pidana umum, berbeda dengan KPK yang hanya pada pidana korupsi.

"Kalau mereka masih mau dianggap kompeten untuk mengurusi perkara pidana korupsi ya seharusnya mereka ikuti langkah KPK," kata Andreas Marbun.

Andreas mengatakan Polri dan Kejagung seharusnya mengusut seluruh perkara pidana umum tanpa pengecualian, meski paham ada konsekuensi politik.

"Siapapun dia orangnya, kalau salah, ya proses saja. Semakin berlindung di balik kepentingan hukum, itu artinya hukum kita diinjak-injak oleh kepentingan politik," tegas Andreas.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino