tirto.id - Telegram Nomor KS/BP-211/XII/2016/DIVPROPAM Polri tertanggal 14 Desember 2016 tentang imbauan kepada pada Kapolda, yaitu kewajiban para penegak hukum antara lain KPK, Kejaksaan, dan bahkan Pengadilan untuk memperoleh izin dari Kapolri untuk memanggil anggota Polri, melakukan penggeledahan, penyitaan, dan memasuki lingkungan Markas Komando Polri (Mako Polri), dinilai Indonesia Corruption Watch akan menimbulkan ketegangan baru antar penegak hukum--sebagaimana terjadi dalam kasus "cicak vs buaya" pada 2012 lalu.
Peneliti Hukum ICW, Laloa Easter menilai surat telegra tersebut membuat kesan Polri berada di atas aparat penegak hukum lain. "Jadi jangan sampai telegram ini memicu ketegangan lagi di antara aparat penegak hukum karena kalau yang kami tangkap sendiri dari telegram ini memosisikan seolah-seolah Polri itu berada levelnya di atas aparat penegak hukum lain," kata Laloa saat konferensi pers di kantor ICW, Jakarta, sebagaimana dikutip Antara, Senin (19/12/2016).
Padahal, kata dia, dalam konteks penegakan hukum terdapat sifat koordinatif antara para penegak hukum dan mengamsuikan levelnya setara dan tidak ada yang lebih tinggi dari Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.
Laloa mencontohkan saat anggota Polri terkena perkara hukum, terutama perkara korupsi patut diduga bahwa perkara tersebut menyangkut perorangan dan bukan kelembagaan Polri sehingga kewajiban untuk memperoleh izin Kapolri dalam melakukan pemeriksaan terhadap anggota Polri patut dipertanyakan motivasinya.
"Jadi, ketika ada peraturan yang dikeluarkan kepolisian atau Kapolri yang mengatur bahwa lembaga-lembaga penegak hukum harus minta izin kepada Kapolri, ini mengandaikan suatu hubungan yang sub-ordinat seolah-olah polisi dalam hal ini berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan aparat penegak hukum lain," ucap Laloa.
Selain itu, kata dia, beredarnya surat telegram itu akan berdampak pada turunnya citra Polri di mata publik yang beberapa waktu lalu sempat meningkat setelah berhasil menindaklanjuti dugaan korupsi yang dilakukan oleh salah satu anggota Polri, AKBP Brotoseno.
Sementara itu, pada Ahad (18/12), Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan telegram terbaru mengenai keharusan untuk meminta izin Kapolri dalam memeriksa maupun menggeledah personel Polri yang terlibat masalah hukum, merupakan urusan internal Kepolisian.
"KPK belum terima telegramnya, kami belum bisa berkomentar karena belum yakin apakah telegram tersebut asli atau tidak, tapi biasanya itu aturan internal Polri," kata Laode.
Telegram dengan nomor KS/BP-211/XII/2016/Divpropam tertanggal 14 Desember 2016 yang ditandatangani oleh Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Irjen Pol Idham Azis itu ditujukan kepada para Kapolda.
Isi telegram adalah terkait pemanggilan terhadap anggota Polri oleh penegak hukum yaitu KPK, kejaksaan dan pengadilan serta mengenai tindakan hukum yaitu sita, geledah, dan memasuki Markas Komando Polri oleh penegak hukum yaitu KPK, Kejaksaan dan Pengadilan harus diketahui oleh pimpinan Polri
"Apabila ada tindakan hukum geledah, sita, dan masuk ruangan di dalam Mako Polri oleh penegak hukum, KPK, Kejaksaan, pengadilan agar melalui izin Kapolri UP Kadivpropam Polri di tingkat mabes Polri dan Kapolda UP Kabidpropam tingkat Polda. Ulangi agar melalui izin Kapolri UP Kadiv Propram Polri dan Kapolda UP Kadibidpropam," demikian bunyi telegram tersebut.
Telegram itu juga bersifat arahan dan rujukan untuk dipedomani dalam melaksanakan tugas
Menurut Kadiv Propam Irjen Pol Idham Azis, Polri memang mengeluarkan telegram tersebut. "(Telegram) itu benar, itu bagian dari pengamanan internal Polri. Bukan edaran melainkan telegram arahan kepada seluruh jajaran dan hanya untuk teknis saja," kata Idham kepada Antara.
Selama ini, menurut Idham, juga sudah berjalan seperti itu, baik KPK, Kejaksaan atau pun instansi lain selalu kita lakukan koordinasi demikian, juga Polri pasti melakukan koordinasi.
"Telegram ini hanya arahan internal, makanya kita selalu koordinasikan dan selama ini tidak ada masalah," ungkap Idham.
Terdapat sejumlah masalah saat KPK berupaya untuk mendatangkan personel Polri untuk menjadi saksi dalam kasus yang ditangani, antara lain adalah memeriksa empat orang personel Polri yang merupakan ajudan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
Untuk diketahui, KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan mengikuti KUHAP dan aturan yang bersifat khusus atau lex specialis di UU KPK dan UU Tindak Pidana Korupsi, dalam hubungan dengan Polri dan Kejaksaan adalah melakukan koordinasi dan supervisi
Dalam pasal 11 UU No 3 tahun 2002 tentang KPK menyatakan: "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara."