tirto.id - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI pastikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan tidak terbukti melakukan pelanggaran kampanye saat menghadiri acara Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, Oktober lalu.
Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo mengatakan kesimpulan itu dimiliki lembaganya usai menjalani pemeriksaan semua pihak terkait kasus dugaan pelanggaran kampanye Luhut dan Sri Mulyani. Pemeriksaan mencakup permintaan klarifikasi terhadap Luhut dan Sri Mulyani, Jumat (2/11/2018).
"Karena kan yang dilaporkan itu soal gestur. Gestur itu yang bisa menjelaskan orang yang melakukan itu. Kami tak bisa menafsir karena hanya orang itu yang bisa jelaskan," ujar Ratna di kantornya, Selasa (6/11/2018).
Ratna mengatakan Sri Mulyani mengaku tak berniat melakukan kampanye saat menjelaskan maksud pengangkatan satu dan dua jari kepada Direktur IMF Christine Lagarde di acara Pertemuan Tahunan. Menurut Sri, dirinya justru ingin mencegah politisasi acara IMF dan Bank Dunia itu.
"[Kata Sri Mulyani] 'Justru saya ingin mencegah jangan sampai kegiatan itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Makanya saya katakan jangan pakai 2 karena simbol jari sekarang itu di Indonesia ada maknanya. Jari 1 Jokowi dan 2 Prabowo'. Itu yang beliau jelaskan," kata Ratna.
Menurut Ratna, penjelasan serupa juga diberikan Luhut. Eks Kepala KSP itu mengaku hanya menyebut Indonesia sebagai satu negara kesatuan dengan menunjukkan 1 jarinya.
"Jadi kami menyatakan laporan tidak memenuhi unsur pidana pemilu dan bukan merupakan pelanggaran kampanye. Tidak terbukti melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon," kata Ratna.
Luhut dan Sri dilaporkan seorang bernama Dahlan Pidou dan Advokat Nusantara. Berdasarkan rekaman video yang beredar di media sosial, terlihat ajakan Luhut dan Sri Mulyani agar Lagarde serta Jim Yong Kim tak mengangkat dua jari ketika berfoto. Alasannya, angka 2 identik dengan nomor urut Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019.
Menurut Dahlan, tindakan Luhut dan Sri Mulyani melanggar Pasal 282 dan 283 UU Pemilu. Kedua pasal itu mengatur larangan bagi pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN) dan kepala desa bertindak menguntungkan salah satu kandidat pemilu 2019. Larangan itu termasuk batasan bagi mereka membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan kandidat.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Maya Saputri