tirto.id - Suatu hari, saya sedang berkumpul dengan kawan-kawan di kampus saat mendapati satu di antara kawan saya, Joni, mengirimkan sinyal ketertarikan kepada yang lainnya, Lea. Beberapa waktu sebelumnya, berhembus gosip Joni dan Lea tengah menjalin relasi romantis, tetapi kenyataannya tidak demikian. Tepatnya: belum.
Namun, tanda-tanda ketertarikan Joni dengan mudah terbaca saat kami berbincang bersama, misalnya dengan mengeluarkan seloroh-seloroh yang mengarah ke relasi romantis dengan Lea.
“Kamu malam Minggu mau ke mana? Jadi jalan kan, kita?” buka Joni. Lea masih merasa risi karena Joni mengatakan hal tersebut di depan umum. Satu per satu kawan saya menimpali dengan godaan.
“Kan kita bisa coba dulu ‘jalan’. Anggap saja probation. Kalau tiga bulan sreg, bisa lanjut.” Entah ini seloroh atau serius, yang jelas tawa kami pecah mendengar Joni melontarkan kata-kata tersebut ke Lea. Beberapa saat setelahnya, yang kami tahu, mereka benar-benar resmi menjadi sepasang kekasih.
Aksi Joni bisa dipandang sebagai menggoda atau flirting. Bagi sebagian orang, kata flirting memiliki konotasi negatif, terlebih bila hal ini dilakukan orang yang sudah berpasangan. Ada anggapan bahwa flirting tidak jauh-jauh dari niatan seksual. Padahal, ada beberapa hal lain yang menjadi motif seseorang melakukan flirting.
Motif-motif orang melakukan flirting ini dikemukakan di NIU Today oleh Profesor di Departemen Komunikasi Northern Illinois University, David Henningsen dalam artikel bertajuk “Why We Flirt”. Memang benar, ada motif yang disebut Henningsen adalah membuat kontak seksual, terlebih bagi laki-laki. Namun, ada juga motif lain, yakni untuk membuat hubungan menjadi lebih dekat. Ada kalanya sepasang teman melakukan flirting dengan tujuan menjalin relasi romantis, seperti dalam kasus Joni dan Lea. Flirting dianggap mampu meningkatkan keintiman.
Selanjutnya, flirting dianggap sebagai cara “tes ombak” dan mengeksplorasi sosok yang didekati. Tidak semua orang bernyali dan senang menyatakan rasa suka secara gamblang kepada orang lain. Lewat flirting, ia bisa mengira-ngira apakah yang didekati merespons dengan positif atau tidak.
Dari kacamata evolusi, Steven W. Gangestad, Ph.D., psikolog evolusi dari University of New Mexico, Albuquerque, mengatakan di Psychology Today, “Flirting adalah proses negosiasi yang muncul setelah ada ketertarikan awal… Serta-merta mengatakan ‘saya tertarik kepadamu, apakah kamu tertarik kepada saya’ tidak begitu mujarab untuk menciptakan ikatan bagi dua orang. Akan lebih baik bila mengungkapkan ketertarikan dengan perlahan-lahan.”
Di samping itu, flirting dianggap sebagai cara yang lumrah dilakukan untuk tujuan perkembangbiakan. Dikatakan dalam tulisan di Scientific American, akan menguntungkan bagi laki-laki yang mengirimkan sinyal ketertarikan bila ia mendapat respons dari perempuan yang dituju.
Bila ia menerjemahkan respons si perempuan sebagai hal yang positif, ia tak perlu buang-buang tenaga dan waktu untuk selanjutnya melakukan perkawinan. Namun, bila yang terjadi adalah sebaliknya, si laki-laki salah membaca tanda, dia akan kehilangan kesempatan kawin sehingga berpengaruh terhadap proses penerusan keturunannya.
Lebih lanjut mengenai flirting sebagai cara mengeksplorasi seseorang, Henningsen berpendapat, “Keindahan flirting terletak pada ambiguitasnya. Bila usaha flirting berujung hal yang tidak diharapkan, ambiguitas flirting membuat seseorang mengklaim mereka tidak benar-benar serius melakukannya [mendekati orang lain secara romantis]. Dengan demikian, informasi tentang orang lain bisa diperoleh tanpa harus seseorang kehilangan mukanya.”
Flirting juga dipandang Henningsen sebagai cara bersenang-senang. Selain mendapat kesenangan, flirting dapat pula memompa penilaian diri seseorang dan orang yang didekati. Kerap kali flirting melibatkan sanjungan atau ekspresi kekaguman terhadap orang lain. Di sisi orang yang didekati, hal ini bisa membuatnya merasa lebih berharga karena ada sisi dirinya yang menjadi daya pikat bagi orang lain. Sementara di sisi orang yang melakukan flirting, respons positif dari orang yang didekati juga bisa mendongkrak penilaian diri karena orang lain menganggapnya atraktif.
Jadi Problematis?
Kendati flirting dikatakan memiliki fungsi evolusi dan bisa berdampak positif secara psikologis, tetap ada sisi gelap yang dimilikinya. Salah satunya adalah ketika flirting dilakukan demi kepentingan personal atau bermotif manipulasi.
Henningsen menjelaskan, flirting bisa dilakukan supaya orang mendapat suatu barang, jasa, atau bantuan tertentu. “Tipe semacam ini disebut instrumental flirting, biasanya terjadi di ranah kerja. Salah satu rekan kerja saya selalu berpikir, ada pelayan perempuan yang melakukan flirting kepadanya karena memang benar-benar tertarik pada rekan kerja saya tersebut. Padahal, bisa saja ia hanya menginginkan tip yang lebih besar,” jabarnya.
Problem berikutnya dari flirting adalah saat yang didekati tidak mengharapkan aksi-aksi tersebut. Hal ini bisa dikategorikan sebagai pelecehan saat ada bahasa verbal, gestur, atau sentuhan yang tidak diinginkan terjadi. Kesadaran akan pelecehan—terlebih terhadap perempuan—yang merebak sekarang ini bagi sebagian orang dipandang sebagai suatu kemajuan,tapi ada juga yang justru melihatnya sebagai sesuatu yang negatif dan membuat komunikasi dan hubungan menjadi kaku.
Lebih lanjut, soal pelecehan dalam konteks flirting, filsuf Slovenia Slavoj Zizek pernah menulis, efek samping dari maraknya kesadaran pelecehan seksual di Barat adalah pandangan bahwa perempuan—yang kerap menjadi sasaran flirting—merupakan obyek yang pasif. Padahal, ada kalanya mereka juga melakukan flirting dan secara aktif membuat gestur atau berpenampilan tertentu sebagai wujud ekspresi seksualnya. Perempuan, seperti halnya laki-laki, bisa juga memanipulasi lewat aksi-aksi flirting.
Isu pelecehan seksual yang dibesar-besarkan sebagian pihak juga dipandang Zizek membunuh mood. Flirting yang awalnya bisa dilihat sebagai sesuatu yang menyenangkan berubah mendatangkan kewaspadaan berlebihan yang membuat seseorang tak luwes membangun komunikasi dan relasi.
Indikator-indikator pelecehan seksual yang dibuat beberapa pihak pada akhirnya bisa menjadi bahan penghakiman terhadap seseorang yang sebenarnya menikmati atau tidak keberatan menerima godaan atau perlakuan tertentu dari orang lain.
“Kontrak-kontrak” berperilaku seperti yang disetir orang-orang pendefinisi pelecehan seksual pada akhirnya meredam hasrat seseorang untuk melakukan aksi seksual seremeh apa pun, meski padahal kedua belah pihak tidak bermasalah dengan hal tersebut. Zizek menarik salah satu kesimpulan, bahwa political correctness merupakan reduksi seksualitas ke perkara perjanjian yang saklek semata.
Terakhir, flirting bisa berefek negatif ketika respons negatif didapatkan seseorang. Alih-alih memiliki penilaian diri yang tinggi, hal yang sebaliknya bisa terjadi bila godaan direspons penolakan. Ia pun bisa merasa diri tidak cukup baik atau menarik ketika upaya-upaya mendekati orang lain lewat flirting berulang kali gagal.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani