Menuju konten utama

Bagaimana Rezim Konservatif di Inggris Melahirkan Musik Shoegaze?

Lahir sebagai pelarian anak muda, shoegaze mati karena dianggap membosankan.

Bagaimana Rezim Konservatif di Inggris Melahirkan Musik Shoegaze?
Mark Gardener, vokalis sekaligus gitaris RIDE, sebuah grup musik shoegaze legendaris asal Inggris tampil dalam festival musik di Singapura (29/11/15). tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Saya pernah berdebat bersama seorang kawan tentang topik yang sebetulnya tak terlalu mutu; lebih bagus mana antara album Souvlaki (1993) milik Slowdive atau Loveless (1991) garapan My Bloody Valentine. Kawan saya ini, yang mengaku anak shoegaze paripurna menjawab dengan keyakinan penuh, "Loveless jelas lebih baik. Entah secara teknis maupun dampak keseluruhan untuk kancah musik Inggris."

Loveless memang album legenda. Tapi saya tak bisa memungkiri kata hati yang menyatakan bahwa Souvlaki lebih berkesan. Alasannya sederhana: tak perlu jadi penikmat shoegaze fanatik untuk meresapi tiap lagu di album Souvlaki. Intinya, Souvlaki terdengar lebih ringan tanpa kekurangan bobot musikalitas.

Souvlaki—diambil dari nama makanan cepat saji asal Yunani yang memuat daging dan irisan buah—dirilis tahun 1993 oleh label Creation. Album ini merupakan yang kedua dari Slowdive setelah Just for a Day (1991). Slowdive didirikan di Berkshire, Inggris pada 1989 serta beranggotakan Neil Halstead, Rachel Goswell, Christian Savill, Nick Chaplin, dan Simon Scott.

Proses rekaman Souvlaki diiringi beberapa cerita menarik di belakangnya. Album ini dibuat tak lama selepas hubungan asmara Halstead dan Goswell kandas. Tak hanya itu, demo awal mereka sempat ditolak label rekaman. Brian Eno yang diharapkan duduk di bangku produser, ternyata ogah memproduseri meski akhirnya bersedia membantu di satu-dua lagu.

Walaupun begitu, Slowdive akhirnya sukses menghasilkan 11 nomor klasik seperti “Alison,” “Souvlaki Space Station,” “Sing,” sampai “Here She Comes.” Nomor-nomor tersebut kental dengan efek gitar, distorsi, tempo melambat, ketukan-ketukan ganjil nan memikat, hingga lirik patah hati yang begitu delusional. Kombinasi beberapa faktor ini menghasilkan lanskap melodi yang indah lagi membuai.

Pitchfork dalam ulasannya menyebutSouvlaki adalah album wajib yang musti didengarkan kembali. Lewat Souvlaki, Pitchfork mendefinisikan Slowdive sebagai “kata pertama dan terakhir dari bentuk musik pop.” Sementara Spinmengatakan, Souvlaki lahir seperti narasi yang dibawakan My Bloody Valentine dalam Loveless (1991) tapi terasa lebih elegan akibat campur tangan Brian Eno.

Kesuksesan Souvlaki harus dibayar mahal dengan sederet kemunduran di tahun-tahun setelahnya. Ada semacam beban berat yang Slowdive pikul. Terjebak kesuksesan pola Souvlaki membuat kreasi mereka mandeg. Di album Pygmalion (1995), kualitas mereka menurun dan entah bagaimana melenceng jauh dari karakter Slowdive. Maksud hati ingin berimprovisasi, tapi justru kehilangan roh dengan memasukkan unsur-unsur musik elektronik yang tak jelas juntrungannya.

Apa yang mereka kerjakan di album Pygmalion sontak memperoleh respon tak hangat. Media-media bahkan meminta Slowdive untuk lekas “mengerjakan nisan mereka” karena jatuhnya kualitas musik yang dibawa. Belum lagi ditambah keluarnya penggebuk drum Simon Scott serta hilangnya Halstead yang entah ke mana semakin membuat jalan Slowdive menjadi abu-abu jika tak ingin disebut gelap. Pada 1995, mereka bubar. Perlu waktu hampir dua dekade bagi Slowdine untuk kembali bereuni.

Genre yang Mati Karena Dianggap Membosankan

Musik shoegaze lahir di daratan Britania pada era 1980-an. Jurnalis musik sekaligus pengarang Retromania: Pop Culture’s Addiction to Its Own Past (2010), Simon Reynolds menjelaskan lahirnya shoegaze disebabkan oleh iklim sosial politik di Inggris. Saat itu, pemerintahan konservatif Inggris yang dipimpin oleh Margaret Thatcher memasuki periode ketiga masa jabatan.

Dalam periode ini, Thatcher berada di bawah tekanan besar untuk mundur dari jabatannya akibat serangkaian masalah, antara lain: jatuhnya saham di Wall Street, polemik publik mengenai mengenai masa depan Inggris di European Community (kelak jadi Uni Eropa), sampai pemotongan pajak dan kemudahan kredit yang justru mendorong inflasi.

Belum lagi ditambah isu-isu seperti tingginya tingkat pengangguran, perang Falkland melawan Argentina, ketegangan rasial di sejumlah kota, serta pemogokan para penambang maupun ketidakadilan yang ditimbulkan dari kebijakan pajak turut menambah kuat desakan Thatcher untuk lengser. Dan ia benar-benar lengser pada 1990.

Pengganti Thatcher, John Major juga tak luput dari tekanan dari publik Inggris yang sudah kadung jengah terhadap hal-hal berbau konservatif. Meskipun Major dianggap memiliki catatan bagus dalam pemerintahan seperti mencapai kesepakatan bersama negara-negara Eropa lainnya dalam Perjanjian Maastricht sampai meneken genjatan senjata bersama Tentara Republikan Irlandia (IRA), tapi tuduhan kebobrokan pemerintahan dan perpecahan partai menjadi halangan besar untuk jabatannya.

Walhasil, situasi itu menciptakan keputusasaan bagi populasi muda. Untuk para kaum muda yang idealis pilihannya ada dua; menyalurkan hasratnya pada gitar serta jatuh pada kubangan narkoba. Pertanyaannya ialah mengapa gitar menjadi alat pelarian?

Saat itu, pemain gitar memang jadi idola kaum muda. Mereka terinspirasi oleh permainan liar Jimi Hendrix, Johnny Marr dari The Smiths, dan The Cure dengan eksplorasi post punk, hingga kemarahan grunge dari Amerika. Tak ayal, anak-anak muda yang jengah dengan rezim konservatif Inggris ini lantas mengulik gitar dan menghasilkan genre baru turunan dari rock bernama shoegaze.

Sebetulnya, bukan hanya shoegaze saja yang muncul di tengah kejengahan akan pemerintah konservatif. Stuart Maconie, kritikus musik Inggris menjelaskan, persebaran musik di era Thatcher dan konservatisme pemerintahan cukup marak. "Di London dan daerah selatan, yang notabene merupakan pemukiman orang kaya, muncul musik-musik apolitis. Anda akan mendengar pop yang mulus dan kinclong," jelas Maconie merujuk musik New Wave dengan band seperti Spandau Ballet.

Ia menambahkan, "Sedangkan di utara Inggris di mana kebijakan Thatcher berdampak pada tutupnya pabrik, pertambangan, dan meningkatnya pengangguran, musik dipakai sebagai alat perlawanan dan suara protes." Contoh yang masuk dalam kategori ini salah satunya adalah Morrissey (selepas era The Smiths) dengan single berjudul "Margaret on the Guillotine" dari album debut Viva Hate (1988).

Situs Allmusic mendefinisikan shoegaze sebagai genre musik yang didominasi suara efek gitar, vokal samar-samar, tempo lagu yang lambat dan mengawang-awang, sampai karakter khas di atas panggung (anak-anak shoegaze sebagian besar selalu melihat bawah kala bermain untuk memfokuskan diri pada injakan pedal efek). Terma shoegaze sendiri pertama kali dikenalkan oleh jurnalis Sounds, Andy Hurt usai mengamati tabiat pemain Moose yang sering melihat ke pedal efek di bawah kaki.

Perihal nama shoegaze sendiri, personil Mogwai yang juga fans My Bloody Valentine Stuart Brathwaite pernah melontarkan argumen pedas. “Shoegaze adalah nama bodoh yang dibuat (majalah) idiot NME yang tidak mengerti apa-apa. Plus, ini sangat merendahkan. Jika ada orang menyebut kami 'shoegazer', saya pasti kesal.”

Infografik Shoegaze

Band-band gelombang pertama dari kemunculan shoegaze antara lain The Jesus and Mary Chain, Cocteau Twins, dan My Bloody Valentina. Ketiga band tersebut berupaya menemukan kembali gagasan tentang bagaimana sebuah gitar bisa begitu terdengar keras, mendominasi lanskap lagu dengan bunyi-bunyi yang dihasilkan, serta menghindari gagasan penyanyi sebagai tokoh sentral—atau dalam ini frontman.

Memasuki awal tahun 1990, gagasan shoegaze perlahan mulai menguat tatkala band-band yang kelak dipandang jadi motor penggerak shoegaze seperti Ride, Swervedriver, Chapterhouse, Lush, sampai Slowdive merilis rekaman pertama. Setahun berselang, shoegaze berada di puncak kejayaan.

Album-album seperti Loveless milik My Bloody Valentine nangkring di tangga album hingga penampilan mereka dalam Slough Festival pada Juli 1991 di Upton Park yang didatangi sekitar sepuluh ribu pengunjung adalah bukti sahihnya. Bahkan ada celotehan yang menyebut Slough Festival dengan “Woodstock”-nya shoegaze.

Meski demikian, bulan madu shoegaze di tanah Ratu Elizabeth tak berlangsung lama. Pada tahun 1992, shoegaze disambut dingin oleh publik. Kala Lush melepas Spooky dan Ride merilis album Going Blank Again, koran Melody Maker menulis tajuk “Whatever Happened to Shoegazing?” dengan ilustrasi sampul bergambarkan pemakaman. Setahun berselang, Dave Simpson jurnalis musik (yang juga dari Melody Maker) menyebut “lebih baik tenggelam dalam bak yang penuh bubur ketimbang harus mendengarkannya lagi.” Kata ‘lagi’ di sini merujuk pada album legendaris Slowdive, Souvlaki.

Neil Taylor jurnalis NME dalam kompilasi Still in a Dream a Story of Shoegaze 1988-1995 (2016) menulis, “Menjelang musim gugur 1992, bulan madu shoegaze dengan pers benar-benar berakhir.” Sedangkan Ben Cardew, kontributor Pitchfork dan The Guardian dalam esainya berjudul “25 Years After Its Imperial Phase: Who Killed Shoegaze?” yang dipublikasikan The Quietus, menjelaskan tamatnya riwatnya genre tersebut justru dipicu oleh kebosanan akan shoegaze itu sendiri. Bukansalah media yang angkuh dalam memberi penilaian terhadap band-band shoegaze, melainkan pedal efek yang kerap dipijak musisi-musisi shoegaze sebagai senjata andalan-lah yang jadi benih kehancuran.

Pendapat serupa juga diucapkan Simon Reynolds. Menurutnya, turunnya reputasi shoegaze di kancah musik Inggris pada dekade 1990-an tak bisa dilepaskan dari lahirnya pemberontakan lain dalam wujud Britpop yang disodorkan Oasis, Blur, maupun Suede yang lebih menarik perhatian masyarakat Britania. Ia menegaskan, shoegaze merupakan jenis musik protes yang kurang populer.

"Ketika ada orang yang nyanyi tentang kondisi masyarakat pinggiran kota di Inggris, soal buang-buang duit untuk mesin judi dan kafe, saya lantas berpikir: 'Oh gitu toh maksudnya,'" terang John Harris pengarang The Last Party: Britpop, Blair and the Demise of English Rock (2004) mengenai alasan populernya Britpop sekaligus menjelaskan bagaimana sensibilitas ala Britania dalam Britpop muncul dari suasana yang jauh dari musik-musik Amerika.

Di tengah anggapan skeptis khalayak ramai, vokalis Ride Mark Gardener menyuguhkan pembelaan. “Ini mengingatkanku pada Velvet Underground (band rock lawas asal New York yang dimotori Lou Reed). Anda bisa diam di panggung dan berisik. Tak tidak perlu berjingkrak-jingkrak seperti Bono atau Jim Kerr agar didengar.”

Gardener boleh saja membela musiknya sendiri. Akan tetapi publik sudah mengambil keputusan bulat. Antara 1995 sampai 1998, band-band pionir shoegaze macam Ride, Slowdive, Lush, dan Sweerdriver pun membubarkan diri.

Baca juga artikel terkait MUSISI DUNIA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf