tirto.id - Sir Andrew Agnew, anggota parlemen Inggris Raya untuk wilayah Wigtownshire, tak menyangka niatnya untuk mengembalikan hari Minggu sebagai hari Sabat ditolak mentah-mentah. Baginya, Sabat merupakan waktu untuk Tuhan. Semua orang harus sembahyang di gereja lalu diam di rumah dan tidak bekerja ataupun berekreasi. Ide ini kemudian populer dengan istilah Sabbatarianism.
Ia mencoba mengajukan empat Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Sabat. Namun, tak satupun rancangan itu lolos dan disahkan. Belakangan, pada percobaan ketiga Agnew baru menyadari biang keladi utama kegagalannya itu: sebuah pamflet esai berjudul "Sunday Under Three Heads" yang terbit pada 1836.
Esai itu menyerangnya dengan tuduhan fanatisme yang dimotivasi oleh kebencian dan penolakan terhadap kesempatan bagi orang-orang miskin untuk mendapatkan kesenangan dengan rekreasi di hari Minggu. Penulis esai menyebutkan bahwa ada unsur yang tidak adil ketika orang-orang kaya bisa menikmati rekreasi setiap hari tanpa perlu bekerja, sementara kaum miskin hanya punya hari Minggu untuk vakansi.
Lebih jauh, esai itu juga menolak paksaan untuk pergi ke gereja setiap hari Minggu. Satu tahun kemudian, Agnew mundur dari kursi parlemen dan tak sekalipun mencoba mengajukan kembali RUU Sabat. Sementara penulis esai itu, Charles Dickens, hingga kini dikenal sebagai salah satu novelis terbaik dalam sejarah literatur Inggris Raya.
Saat melawan Agnew, Dickens baru berusia 24 tahun. Di usia semuda itu ia sudah menentang apa yang dianggapnya sebagai fanatisme sekaligus menegaskan dukungannya pada golongan pekerja miskin Inggris Raya. Ia tumbuh dewasa di era kekuasaan Ratu Victoria yang dikenal sebagai era puncaknya Revolusi Industri. Oleh karena itu, seperti para penulis lain di masanya, Dickens juga dekat dengan isu-isu kemanusiaan terutama kehidupan kelas pekerja yang relatif miskin.
Latar belakang keluarga Dickens yang kelas menengah biasa, juga memungkinkannya dengan mudah melihat sendiri situasi kehidupan masyarakat miskin. Hal itu tergambar jelas dalam novel A Christmas Carol (1843) yang menggambarkan kehidupan orang miskin di London yang kedinginan dan kelaparan pada malam Natal.
Novel tersebut bukan satu-satunya karya Dickens yang menggambarkan bobroknya etika para penganut Kristen terhadap kelompok miskin kota. Di hampir semua karyanya, ia kerap mengangkat karakter penganut Kristen dari sisi negatif. Tapi Dickens tidak membenci agama. Meski tidak rutin datang ke gereja, keluarganya dikenal sebagai penganut Kristen.
Melawan Dogma di Tengah Kemiskinan
Pada 1820-an keluarga Dickens jatuh miskin. Penyebabnya adalah kegagalan dalam manajemen keuangan. Ayahnya bahkan sempat dipenjara karena terlilit utang. Pada usia 12 tahun, Dickens harus bekerja di sebuah pabrik untuk makan sehari-hari. Baru kemudian ia mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai jurnalis.
Pekerjaan sebagai jurnalis inilah yang di kemudian hari menjadi modal penting dalam karier sastranya. Mula-mula Dickens bekerja sebagai reporter pengadilan sebelum menjadi reporter untuk Mirror of Parliament, terbitan mingguan yang berisi debat-debat di dalam parlemen. Tak lama kemudian ia juga menjadi reporter True Sun, sebelum menyelesaikan cerita pertamanya A Dinner at Popular Walk (1833), yang dipublikasikan oleh Monthly Magazine.
Karier menulisnya makin moncer di ranah cerita pendek yang diterbitkan berbagai majalah. Penerbit Chapman & Hall melihat kesuksesan Dickens dan memintanya untuk menulis novel berjudul The Pickwick Papers yang terbit pada 1837. Tokoh utama novel itu bernama Samuel Pickwick, orang kaya baik hati yang melakukan perjalanan ke kota-kota kecil di luar London. Ia ingin kawan-kawannya di klub Pickwick melakukan hal yang sama dan mengumpulkan semua temuan penting dalam perjalanan mereka.
Novel itu disambut baik oleh publik Inggris Raya dan secara langsung menjadi inspirasi bagi komunitas-komunitas yang lahir dengan simpati yang sama pada berbagai isu kesejahteraan sosial. Dalam The Pickwick Papers tidak muncul karakter religius. Dickens seakan ingin menegaskan kembali sikap anti dogmanya dengan melahirkan etika-etika dasar kemanusiaan tanpa menyinggung ajaran agama.
Dalam buku studi biografisnya tentang Dickens, G.K. Chesterton menuliskan bahwa pandangan Dickens terhadap agama dipenuhi oleh semua prasangka yang umum pada masanya. Chesterton juga menekankan ketidaksukaan Dickens terhadap segala bentuk dogma yang sudah ditentukan namun tidak pernah benar-benar diperiksa kebenarannya.
Tak lama berselang, novel Oliver Twist (1837) terbit secara bertahap di majalah Bentley’s Miscellany. Ia kembali mengangkat tema kemiskinan. Kali ini dari perjalanan hidup seorang anak yatim piatu di London yang harus mengatasi berbagai permasalahan hidup. Oliver Twist juga menyinggung masalah tenaga kerja anak, pencurian di jalan-jalan, dan kelompok kriminal remaja.
Dickens diundang oleh publik Amerika yang antusias menyambut karyanya. Di sana, ia kembali menyampaikan kepedulian sosialnya.
Meski sering menyerang fanatisme agama, bukan berarti Dickens membela kelompok anti-agama. Dalam novel Barnaby Rudge yang terbit pada 1841, ia justru mengkritik mereka yang mendorong gerakan anti-Katolik. Dalam sebuah buku biografi, Jane Smiley mendeskripsikan temuannya mengenai pandangan keagamaan Dickens:
“Dickens mencemooh Evangelikal tanpa henti seperti dalam berbagai karakter ciptaannya seperti Dr. Chadband di Bleak House (1853) dan Mrs. Clenman dalam Little Dorrit (1857). Tapi ia tak pernah berhenti menawarkan keyakinan alternatif. Baginya, sosok Yesus Kristus adalah gambaran keselamatan yang konsisten,” tulis Smiley dalam buku berjudul Charles Dickens (2002:162)
Karl Smith, penulis biografi Dickens yang lain, juga menjelaskan pandangan serupa. Dalam Dickens and the Unreal City: Searching for Spiritual Significance in Nineteenth-Century London (2008), Smith menyinggung soal sikap Dickens yang tidak menyukai keadaan di mana kebebasan individu sangat terancam di wilayah-wilayah yang didominasi oleh agama Katolik. Smith bahkan menyatakan bahwa Dickens menganggap gereja Katolik sebagai kutukan atas dunia.
Dickens meninggal pada 9 Juni 1870, tepat hari ini 152 tahun lalu, setelah mengalami serangan stroke. Ia telah menghasilkan banyak karya penting yang punya pengaruh besar pada perkembangan sastra dunia.
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi