tirto.id - Ebenezer Scrooge adalah antitesis sosok Kristus. Ia seorang kapitalis tulen yang membenci Natal. Pada suatu malam ketika Scrooge didatangi dua laki-laki yang meminta sumbangan untuk disalurkan kepada orang-orang miskin di London, ia menolak.
“Itu bukan urusanku. Kalaupun mereka akan mati, ya lebih baik begitu. Itu akan mengurangi populasi dunia yang sudah terlalu surplus,” dengusnya.
Natal selalu diasosiakan dengan suka cita. Film-film dan novel-novel modern kerap menggambarkannya dengan penuh gegap-gempita: perayaan, hadiah-hadiah, atau makan malam mewah.
Namun, dalam A Christmas Carol, London yang biasanya digambarkan sebagai metropolis megah dan penuh kemakmuran itu menjadi tempat yang sama sekali lain.
A Christmas Carol, yang pertama kali diterbitkan pada 19 Desember 1843, tidak hanya bercerita mengenai pria tua kikir dan tak ramah macam Scrooge yang kemudian berubah menjadi lebih berbahagia setelah dikunjungi tiga hantu dari tiga masa. Charles Dickens, penulis novel tersebut, sebenarnya hendak menyampaikan pesan Natal yang lebih mendalam.
Dickens menggambarkan dengan gamblang bagaimana sebagian besar masyarakat London pada masa itu merayakan Natal dalam kemiskinan dan kedinginan.
Kritik Dickens untuk London
Periode ketika Dickens menulis novel pendek setebal 154 halaman itu dikenal sebagai era Victoria. Pada masa itu Revolusi Industri sedang mencapai puncaknya. London menjelma sebagai ibu kota besar dengan pembangunan pabrik-pabrik dan pertumbuhan populasi yang pesat.
Dikutip dari laman Britain Through Time, pada dekade 1840-an hingga 1860-an London dihuni sekitar 2 sampai 3 juta penduduk. Di saat bersamaan London tumbuh menjadi kota dengan segala permasalahannya: kemiskinan, kriminalitas, pengangguran, eksploitasi pekerja anak, dan polusi.
Hampir tak ada matahari dalam setting yang dibangun Dickens. A Christmas Carol menampilkan London dengan muram dan kelabu. Salju lebat turun sepanjang hari; kota penuh kabut dan asap pabrik.
Dalam artikel bertajuk "How Did A Christmas Carol Come To Be?" yang diterbitkan BBC pada Desember 2017, Lucinda Hawksley menyebut alasan utama Dickens menulis cerita itu adalah untuk menyadarkan masyarakat bahwa jika anak-anak miskin London terus-menerus diabaikan, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang berbahaya dan mewarisi budaya kekerasan.
Pada awal 1843, beberapa bulan sebelum ia menulis A Christmas Carol, Dickens membaca sebuah laporan dari parlemen Inggris mengenai pekerja anak di Britania. Laporan itu membuatnya gelisah. Mengetahui fakta itu saja, menurut Dickens, tidak akan menyelesaikan masalah. Ia kemudian bertekad menulis sesuatu yang dapat menggugah pemikiran orang banyak terkait kondisi London maupun Inggris secara lebih luas.
Karakter Tiny Tim, putra Bob Cratchit, pegawai Scrooge, terinspirasi dari keponakannya, Harry Burnett, yang menyandang disabilitas. Dickens mengunjungi Burnett di Manchester pada Oktober 1843 atau dua bulan sebelum ia menciptakan karakter Scrooge. Cratchit sendiri merupakan gambaran kebanyakan buruh London pada masa itu: kelebihan beban kerja namun tidak mendapat upah yang layak.
Pendeknya, A Christmas Carol merupakan catatan perjalanan Dickens dalam melihat kemiskinan di seluruh penjuru Inggris. Ini sebuah ironi tersendiri mengingat pada era Victoria Inggris tengah mengalami masa kejayaan sebagai imperialis dan meraih kemakmuran yang belum pernah ada presedennya.
Rumah Kerja Tak Layak
Jika merujuk pada salah satu dialog dalam A Christmas Carol, Scrooge sempat menyebut workhouse saat disambangi dua orang pria peminta sumbangan. Konteksnya saat itu ia menolak untuk membantu warga miskin lantaran masih ada workhouse yang sudah disediakan untuk mereka.
Sejak akhir abad ke-18 Inggris dan Wales memiliki kebijakan workhouse atau rumah kerja, yakni sebuah institusi yang menyediakan tempat tinggal dan pekerjaan bagi kelompok miskin dan pengangguran di Britania. Workhouse sebenarnya mulai dikenal sejak 1631.
Namun asal-usulnya dapat ditarik jauh ke belakang pada 1388 saat Poor Law Act disahkan. Undang-undang ini dibuat untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja setelah kematian massal (Black Death) yang menimpa Inggris akibat pandemik pada Juni 1348. Undang-Undang ini membatasi pergerakan buruh dan pengemis untuk berpergian tanpa surat keterangan.
Kendati kebijakan itu terkesan ideal, banyak salah urus dalam pengelolaannya. Pedro Olinto dan kawan-kawan dalam sebuah laporan Bank Dunia bertajuk "The State of the Poor: Where Are The Poor, Where Is Extreme Poverty Harder to End, and What Is the Current Profile of the World’s Poor?" (PDF, 2013) mengutip keterangan Sir Frederick Eden di buku The State of the Poor (1797) tentang workhouse. Eden menggambarkan workhouse sebagai bangunan yang tidak nyaman untuk ditinggali, berjendala kecil dengan kamar-kamar rendah, dan tangga yang gelap. Bangunan itu dikelilingi tembok-tembok tinggi yang membuatnya lebih mirip penjara ketimbang rumah pemberdayaan dan justru menghambat sirkulasi udara.
Situs Londonist.com bahkan menyebut workhouse sebagai “tempat hukuman karena sudah menjadi miskin.” Seiring waktu tempat itu tak lagi hanya ditujukan untuk para pengangguran melainkan para lansia, yatim piatu, dan penyandang disabilitas.
Dickens menyinggungnya semata-mata untuk menyampaikan kritik. Kendati Inggris sudah memiliki ratusan rumah pemberdayaan seperti workhouse, kemiskinan dan pengangguran masih belum juga terselesaikan di zaman Ratu Victoria.
Editor: Ivan Aulia Ahsan