tirto.id - Ketika ditanya wartawan senior ABC News Diane Sawyer soal apakah ada kemungkinan rekonsiliasi sains dan agama, Stephen Hawking—lewat alat bantu bicara di atas kursi rodanya yang ikonik itu—menjawab:
“Ada perbedaan mendasar antara agama, yang berlandaskan otoritas, dan sains, yang berdasarkan observasi dan nalar. Sains akan menang karena ia terbukti bekerja.”
Jawaban itu dilontarkan Hawking pada medio 2010 dalam wawancara eksklusif dengan ABC News. Hawking ditemani anak perempuannya, Lucy, yang kadang-kadang menceritakan kelucuan-kelucuan bapaknya.
Itu bukan pernyataan pertama Hawking yang meragukan otoritas agama. Sebelumnya, baik lewat buku-buku maupun ceramah-ceramah, Hawking banyak melontarkan pendapat tentang betapa sains dan agama bukanlah dua bidang yang bisa disatukan.
Lain waktu, jurnalis El Mundo Pablo Jauregui bertanya kepada Hawking soal posisi Tuhan dan sains. Pertanyaan itu dilontarkan karena Pablo Jauregui menemukan ambiguitas pada dua buku Hawking. Dalam A Brief History of Time (1988), Hawking menyatakan bahwa penemuan “theory of everything”—seperangkat prinsip saintifik yang sampai hari ini masih belum terpecahkan—bisa mendorong para ilmuwan untuk mengetahui “alam pikir Tuhan”. Sementara di buku yang lain, The Grand Design (2010), Hawking bilang perkembangan ilmu pengetahuan membuat misteri asal-usul alam semesta bisa diungkap para saintis, dan karena itu “Tuhan tak diperlukan lagi”.
Untuk ambiguitas itu, Hawking menjawab dengan tandas:
“Sebelum kita memahami sains, wajar saja percaya bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Tapi sekarang sains menawarkan penjelasan yang lebih meyakinkan.”
Lahir dalam Generasi yang Melawan Kemapanan
Hawking memang terkenal dengan aneka pernyataan yang menafikan agama. Saintis kelahiran Oxford, 8 Januari 1942 ini tumbuh besar pada masa ketika keraguan-keraguan para akademisi dan ilmuwan terhadap agama sedang mencapai puncaknya.
Dasawarsa 1960-an, ketika Hawking menjadi mahasiswa doktoral di Universitas Cambridge, adalah era kelahiran sebuah generasi yang mengklaim diri mereka sebagai “generasi bunga”. Ciri umum generasi ini, di antaranya, adalah ketidakpercayaan terhadap institusi agama dan melawan kemapanan.
Dalam salah satu tulisannya dari era 1960-an berjudul “The Intellectuals: Role, Function and Paradox” yang terdapat di buku Fractured Times: Culture and Society in the 20th Century (2013), sejarawan Eric Hobsbawm melukiskan era itu sebagai puncak ketidakpercayaan kaum muda terhadap borjuasi yang terbentuk sejak abad ke-19. Termasuk di dalamnya adalah borjuasi yang berlandaskan agama.
Ketidakpercayaan Hawking terhadap agama berasal dari zeitgeist (jiwa zaman) era 1960-an dan latar belakang keluarganya yang tidak begitu menaruh peduli kepada agama. Barangkali, ia memang ateis sejak remaja.
Catherine Giordano, kolumnis sains populer, mengisahkan bahwa Hawking kerap berdebat dengan teman sekolahnya soal Kristianitas. Di masa kuliah, keateisan Hawking sudah amat terkenal di antara kawan-kawan seangkatannya.
Ateisme dan Rasionalisme Fisikawan
Sikap emoh-agama Hawking didorong pula oleh rasionalismenya sebagai fisikawan. Sebagian besar rekan-rekan fisikawan dan matematikawan di Cambridge juga ateis.
Disertasinya di Cambridge University, Properties of Expanding Universes, yang ia selesaikan pada 1966, memuat satu bab tentang pembentukan alam semesta. Ia menyangkal bahwa alam semesta tercipta begitu saja oleh satu subjek adikodrati—seperti diyakini umat beragama—dan bersifat statis, melainkan mengembang (expanding). Pendapat inilah yang menjadi dasar Teori Big Bang soal pembentukan alam semesta.
Kalimat-kalimat pertama dalam disertasinya langsung menghunjam ke inti masalah dan membantah ilmuwan senior Albert Einstein:
“Gagasan tentang alam semesta mengembang muncul baru-baru ini. Semua pendapat terdahulu pada intinya menyatakan bahwa alam semesta bersifat statis. Bahkan Einstein, yang teori relativitas-nya menjadi dasar bagi hampir semua pengembangan modern dalam kosmologi, melihat model alam semesta statis adalah gagasan alamiah. Bagaimanapun juga, terdapat kesulitan yang sangat berarti berkaitan dengan model alam semesta statis ala Einstein ini.”
Setelah Hawking berhasil menggondol gelar doktor, ia menjadi pengajar di Cambridge University dan langsung mencuri perhatian kalangan fisikawan di seluruh dunia. Pendapat Hawking dalam disertasinya kemudian menjadi landasan teoretik bagi terciptanya gagasan-gagasan baru soal alam semesta. Hawking pun mulai diundang berceramah di berbagai negara untuk memperkenalkan gagasannya itu.
Karier akademik Hawking juga terus menanjak. Pada 1979, ia diangkat sebagai Lucasian Professor of Mathematics. Jabatan profesor ini dianggap sebagai posisi akademik paling bergengsi di muka bumi dan pernah diemban para ilmuwan besar macam Isaac Newton, Charles Babbage, dan Paul Dirac. Hawking menduduki jabatan ini selama 30 tahun.
Di masa inilah ia mulai menapaki jalan hidup sebagai ahli kosmologi global, yang pendapat-pendapatnya banyak diikuti dan menjadi acuan para ilmuwan lain. Hawking juga menulis beberapa buku kosmologi populer yang kini dianggap sebagai karya klasik dalam fisika modern. A Brief History of Time dan The Grand Design adalah dua mahakaryanya yang termasyhur.
Pada masa ini pula, ia membangun reputasi sebagai ilmuwan ateis yang banyak mempertanyakan dogma-dogma agama. Hawking juga kerap memberi komentar tentang persoalan sosial-politik yang sebenarnya berada di luar jangkauannya sebagai fisikawan.
Suatu kali, Hawking pernah mengungkapkan, “Kita cuma perkembangbiakan lebih lanjut dari spesies monyet di sebuah planet kecil di galaksi yang tak berarti. Tapi kita bisa memahami alam semesta. Itulah yang membuat kita istimewa.”
Barangkali pernyataan itu adalah cerminan dari apa yang diwariskan Hawking bagi kita semua setelah ia meninggal hari ini: pemahaman tentang alam semesta. Dari situlah, seperti yang ditunjukkan sejarah, peradaban umat manusia bermula.
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Nuran Wibisono