tirto.id - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Pan-RB) Abdullah Azwar Anas bikin geger. Pada 27 Januari lalu, ia sesumbar soal dana negara yang besarnya nyaris Rp500 triliun tersebar di semua kementerian dan lembaga, tapi tidak sejalan dengan program pengentasan kemiskinan Presiden Joko Widodo karena lebih banyak terserap ke agenda studi banding.
Awalnya, mantan Bupati Banyuwangi dua periode itu datang mengisi kata sambutan dalam sosialisasi Peraturan Menteri (Permen) Pan-RB No 1 tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional. Ia bercerita soal keadaan ekonomi Indonesia yang naik-turun pasca pandemi. Bahkan, katanya, banyak pengusaha bangkrut sampai gadaikan mobil dan jual rumah.
“Tetapi negara dalam kondisi tumbuh atau turun ekonominya, tidak ada pengurangan gaji ASN [aparatur sipil negara],” kata Anas hari itu.
“Itu artinya, bahwa ASN mesti bersyukur dan kita mesti bekerja keras. Dalam kondisi apa pun, fix income. Gaji dan tunjangan enggak berubah,” tambahnya.
Oleh karena itu, ia menekankan kepada ASN kabupaten seluruh Indonesia, bahwa untuk memperbaiki reformasi birokrasi soal kemiskinan dan stunting tak mesti mengundang konsultan hingga rapat di hotel-hotel. Kata Anas, reformasi birokrasi adalah perkara dampak, bukan administrasi maupun tumpukan kertas.
Apalagi, ia mendapat arahan dari Presiden Joko Widodo agar Kepala Kepolisian Resor (Kapolres), Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), Komandan Distrik Militer (Dandim), hingga Bintara Pembina Desa (Babinsa) ikut berkolaborasi atasi stunting.
“Inilah RB [reformasi birokrasi] tematik yang kita buat,” katanya. “Kemarin Bapak Presiden sampaikan ke kami.”
Sampai akhirnya, Anas mengeluh soal anggaran kemiskinan yang nyaris Rp500 triliun tersebar di kementerian dan lembaga selama ini habis kendati tak sejalan dengan prioritas Jokowi. Kata dia, kementerian dan lembaga sibuk dengan urusan masing-masing. Ia mengklaim sudah melapor ke Jokowi.
“Kemarin saya sudah lapor ke Bapak Presiden," katanya. “Yang terjadi adalah akhir tahun sibuk habiskan anggaran meski tidak in-line berdampak dengan target prioritas Bapak Presiden. Tata kelola yang akan kita pelototin, bukan bantuannya."
Anas menambahkan selama ini banyak program kemiskinan dijalankan, namun anggarannya lebih banyak terserap untuk studi banding dan rapat-rapat di hotel. Ia mengklaim bahwa Jokowi tahu soal itu.
“Programnya kemiskinan, tapi banyak terserap ke studi banding tentang kemiskinan. Banyak rapat-rapat tentang kemiskinan. Saya ulangi lagi, menirukan Bapak Presiden, dan banyak untuk program-program yang terkait dengan studi-studi dan dokumentasi tentang kemiskinan sehingga dampaknya kurang,” katanya.
Di depan banyak perwakilan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, ia meminta kejadian tersebut tak terulang. “Harapan saya anggarannya tidak habis untuk perjalanan dinas,” tambahnya.
Pernyataan Anas itulah yang bikin geger dan menjadi pertanyaan publik.
Anas Tak Konsisten
Imbas dari ramai-ramai itu, Anas sampai perlu mengklarifikasi ucapannya sendiri dua hari setelahnya. Namun, dalam ucapannya yang kedua, ia tak lagi menyinggung kementerian atau lembaga, malah menyasar ke level daerah. Kendati masih mempertahankan data angka Rp500 triliun itu.
“Jadi begini, setelah kita pilah, ada sejumlah instansi, terutama di beberapa daerah, yang program kemiskinannya belum sepenuhnya berdampak optimal. Misal ada studi banding soal kemiskinan, ada diseminasi program kemiskinan berulang kali di hotel,” kata dia.
“Faktualnya itu ada, tapi bukan kurang-lebih Rp500 triliun habis untuk studi banding dan rapat. Arahan Bapak Presiden jelas, yaitu anggaran yang ada harus dibelanjakan dengan tepat sasaran untuk program yang berdampak langsung ke warga,” tambahnya.
Dalam klarifikasinya, Anas mengklaim bahwa konteks ucapannya saat itu adalah, “membangun logical framework yang jelas soal reformasi birokrasi tematik pengentasan kemiskinan.”
Saat itu, lagi-lagi menekankan bahwa logical framework pemerintah daerah soal pengentasan kemiskinan harus fokus. Ia tak lagi menyebut kementerian dan lembaga yang disinggungnya dua hari sebelumnya.
“Saat itulah saya sampaikan ada program instansi pemerintah yang belum selaras. Tujuannya mengurangi kemiskinan, tetapi sebagian programnya studi banding dan diseminasi atau rapat sosialisasi program kemiskinan. Jadi bukan semua anggaran untuk studi banding atau rapat, tapi sebagian ada, sehingga belum sepenuhnya selaras dengan tujuan. Ada pula yang inginnya mengurangi stunting, tapi kegiatannya sosialisasi gizi, di sisi lain pembelian makanan untuk bayi malah tidak dialokasikan. Padahal arahan presiden jelas, bahwa di tengah tantangan fiskal yang ada, instansi termasuk di daerah harus cermat membelanjakan dana. Setiap rupiah dampaknya harus optimal dan langsung ke masyarakat,” papar Anas.
Ketika menjelaskan contoh logical framework itulah, klaim Anas, timbul persepsi bahwa anggaran kemiskinan tersedot untuk rapat dan studi banding. “Padahal kami mencontohkan sebagian logical framework yang belum selaras, bukan menyebutkan anggaran habis untuk rapat,” tambahnya.
Belakangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menepis soal itu. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy juga membantah. Secara spesifik ia menyebut anggaran sebesar Rp500 triliun itu bukan untuk penanggulangan kemiskinan, namun anggaran perlindungan sosial.
Kata Muhadjir, anggaran untuk masyarakat miskin hanya Rp72 triliun.
Keluhan Menteri Saja Tak Cukup
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbakhul Hasan, melihat ada inkonsistensi dalam pernyataan pejabat sekelas menteri. Dan hal tersebut rentan bikin bingung masyarakat.
Ia menambahkan, beda data yang diucapkan oleh Anas dan Muhadjir menunjukkan tak ada koordinasi yang jelas antara kementerian dan lembaga—khususnya dalam upaya mengentaskan kemiskinan.
“Ini yang dirugikan pasti masyarakat,” kata Misbah—sapaan akrabnya—saat dihubungi Kamis (2/2/2023) pagi.
Sejalan dengan pernyataan Muhadjir, dalam data yang dicatat oleh FITRA, setidaknya tercatat anggaran perlindungan sosial beberapa tahun terakhir: Rp308 triliun (2019), Rp497 triliun (2020), Rp367 triliun (2021), dan Rp431 triliun (2022).
“Ini dalam rangka pengentasan kemiskinan. Belum lagi anggaran pendataan, penyempurnaan DTKS, ada lagi pengembangan Registrasi Sosial Ekonomi (regsosek), dan lain-lain. Jadi rata-ratanya memang Rp450 sampai Rp500 triliun,” tambah Misbah.
Menurut dia, keluhan Menteri Anas soal banyaknya anggaran kemiskinan yang digunakan untuk rapat-rapat di hotel dan studi banding boleh diapresiasi, kendati itu saja tak cukup.
“Pemerintah saat ini harus transparan dan membuka seluas-luasnya informasi anggaran pengentasan kemiskinan hingga ke level komponen, sehingga masyarakat tahu anggaran tersebut digunakan untuk apa saja,” katanya.
Sejauh pemantauan FITRA, kasus besaran penggunaan anggaran untuk belanja barang dan jasa yang habis dipakai untuk konsumsi perjalanan dinas, dan lain-lain di tingkat pusat dengan daerah hampir sama.
“Dia tersembunyi di balik nama program dan kegiatan yang bagus-bagus untuk pengentasan kemiskinan, tapi penikmat sebenarnya belum tentu orang miskin atau yang masuk kategori miskin ekstrim, seperti perempuan kepala keluarga miskin, penyandang disabilitas, lansia, dan anak-anak yang butuh perlindungan khusus,” tambahnya.
Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan Kementerian Pan-RB, Erwan Agus Purwanto mengaku, pernyataan Anas adalah sebuah ilustrasi dari belum optimalnya dampak dari program atau kegiatan pengentasan kemiskinan yang jumlahnya sekitar Rp500 triliun.
"Bisa jadi karena program dan kegiatan pengentasan kemiskinan, terutama di daerah, tidak didasarkan pada logical framework yang benar," kata Erwan kepada reporter Tirto, Jumat (3/2/2023) pagi.
“Sehingga, dalam bahasa ilustrasi beliau, tujuan programnya adalah pengentasan kemiskinan, namun kegiatannya studi banding atau seminar tentang kemiskinan," tambahnya.
Kata Erwan, tidak berarti semua dana pengentasan kemiskinan yang sekitar Rp500 triliun tersebut, dari pusat dan daerah, habis untuk studi banding dan seminar kemiskinan.
Ia mengambil data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bahwa dana pengentasan kemiskinan pada 2021 sebesar Rp331 triliun yang dikelola oleh 16 kementerian dan lembaga.
“Rp500 triliun tersebut dugaan saya merupakan perkiraan jika dana yang dikelola kementerian dan lembaga tersebut ditambah dana-dana kemiskinan yang dikelola oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten," tambahnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz